Pasca-pengesahan RUU Cipta Kerja, aksi demo merebak. Polri pun turun, menangkap aktivis yang dianggap melanggar aturan. Penangkapan aktivis KAMI dinilai sebagai cara untuk menyebarkan ketakutan bagi mereka yang kritis.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penangkapan sejumlah aktivis termasuk aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI dinilai sebagai cara untuk menyebarkan ketakutan bagi mereka yang kritis terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. KAMI mengatakan, hal ini jadi risiko perjuangan dan masyarakat sipil harus terus berusaha menegakkan demokrasi.
”Di sisi lain, penangkapan ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di negara ini sedang terancam dan bisa dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Selasa (13/10/2020).
Usman menilai, penangkapan terhadap para aktivis ini, tiga di antaranya pimpinan KAMI, yaitu Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan Syahganda Nainggolan, sangat mengkhawatirkan karena ketiganya ditangkap dengan dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). ”Negara harus menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap mereka yang mengkritik dan memastikan penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia bagi siapa saja, termasuk pihak oposisi,” kata Usman.
Usman menilai, justru dengan langkah ini, Presiden Joko Widodo telah melanggar janjinya sendiri untuk melindungi hak asasi manusia. Menurut dia, pihak berwenang harus segera membebaskan ketiganya, yang dijerat hanya karena mempraktikkan kebebasan berbicara dengan tanpa syarat. Amnesty International Indonesia mencatat, 49 kasus dugaan intimidasi dan peretasan digital terhadap mereka yang aktif mengkritik pemerintah, sejak Februari.
Penangkapan ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi di negara ini sedang terancam dan bisa dilihat sebagai upaya untuk mengintimidasi oposisi dan mereka yang mengkritik rezim yang sedang berkuasa.
Sebelumnya, polisi menangkap ketiganya karena diduga melanggar UU ITE melalui unggahan media sosial, yang isinya dinilai bisa mendorong aksi anarki dan ujaran kebencian.
Pada Senin lalu, Polda Sumut juga menangkap empat anggota KAMI terkait aksi protes terhadap RUU Cipta Kerja. KAMI sendiri mendeklarasikan diri pada bulan Agustus, awalnya didirikan untuk menanggapi apa yang mereka sebut sebagai kegagalan pemerintahan menangani pandemi Covid-19.
Salah seorang anggota Komite Eksekutif KAMI, Adhie M Massardi, mengatakan, pihaknya menilai bahwa penggunaan UU ITE memang cara paling mudah untuk menjerat aktivis. Akan tetapi, pada prosesnya sering tak terbukti di pengadilan. ”Tapi, KAMI sudah siap dengan risiko kriminalisasi semacam itu. Tidak masalah. Ini konsekuensi logis bagi dunia pergerakan. Tinggal kalangan civil society berjuang lagi menegakkan demokrasi,” kata Adhie.
Adhie yang juga mantan Juru Bicara Presiden Abdurrahman Wahid ini mengatakan, kehadiran KAMI membangkitkan kembali harapan rakyat akan adanya perbaikan tata kehidupan bangsa. Selama ini, masyarakat mengalami apatisime melihat hampir semua parpol dan kelompok kritis tampak terkooptasi oleh kekuasaan.
Hal ini membuat KAMI dianggap menjadi duri baru dalam daging kekuasaan sehingga muncul berbagai gagasan untuk meredam pengaruhnya di masyarakat. ”Ada memobilisasi sejumlah orang untuk mendemo KAMI dengan stigma kehadiran KAMI ditolak masyarakat,” kata Adhie.
Bagusnya dibuka ruang dialog yang lebih sesuai dengan ciri bangsa kita.
Adhie mengatakan, KAMI belum melakukan gerakan apa pun kecuali menyampaikan maklumat yang di dalamnya berisi delapan tuntutan yang pada prinsipnya ”mengingatkan semua penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif agar menjalankan perintah konstitusi. ”Kami jalankan langkah yang konstitusional, damai, dan anti-kekerasan,” kata Adhie.
Hendri Satrio, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina, mengatakan, ia menyayangkan penangkapan para aktivis itu. Penangkapan ini malah menjadikan KAMI pembicaraan publik dan menempatkan para aktivis KAMI sebagai oposisi. ”Bagusnya dibuka ruang dialog yang lebih sesuai dengan ciri bangsa kita, jangan main tangkap,” katanya.