”1’59 Project”, Panggung bagi Semua Orang
Project 1\'59 memberi ruang bagi siapa saja yang ingin mengeksplorasi kemampuannya di bidang seni tari. Sebanyak 60 peserta dari Indonesia dengan rentang usia 14-62 tahun terpilih mengikuti program ini.
Semua orang membutuhkan ruang yang aman untuk mengekspresikan diri tanpa merasa dihakimi. Melalui 1’59 Project atau Proyek 1’59, puluhan insan dari beragam latar belakang berani tampil menari. Energi mereka bersatu untuk menciptakan karya seni yang saling menguatkan di tengah pandemi ini.
Kezia Alyssa Sandy (28) dengan lepas melompat ke kiri dan ke kanan di rumahnya di Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (3/10/2020). Ia sibuk mengikuti instruksi dalam kelas virtual Run and Jump bersama koreografer ternama asal Korea Selatan, Ahn Eun-me, sebuah rangkaian dari Proyek 1’59.
Lewat kelas itu, Kezia menari dengan sesuka hati tanpa memikirkan makna gerakan yang terlalu dalam. Sebuah metode yang sangat bertolak belakang dengan profesinya sebagai guru balet anak. Kezia semakin memercayai kemampuan tubuhnya sendiri.
”Perjalanan hidupku selama pandemi ini naik turun. Proyek 1’59 ini menjadi semacam katarsis di tengah pandemi Covid-19 yang sedang melanda secara global,” ujar Kezia saat dihubungi.
Kezia juga mendapat energi baru dengan menonton peserta lainnya yang ikut menari. Meskipun kebanyakan adalah penari amatir, mereka mampu memaknai gerakan mereka. Ia merasa semua orang membawa semangat yang selaras sehingga saling menguatkan.
Sama halnya dengan Milda Yanuvianti (51), dosen Fakultas Psikologi di Universitas Islam Bandung, Jawa Barat. Sebagai penari amatir, dia ikut mengasah kreativitas dan mempelajari perspektif baru lewat Proyek 1’59.
Salah satunya adalah ketika seorang peserta yang menaruh bola di atas sebuah piring keramik ketika tampil. Bola itu merepresentasikan hasrat yang dinamis dan piring adalah realitas. ”Pemikiran mereka out of the box karena bisa memberikan perumpamaan lewat obyek,” tuturnya,
Pengalaman-pengalaman baru itu membuatnya berpikir bahwa kegiatan menari dengan bebas itu dapat menjadi salah satu bentuk platform terapi seni. Ini karena Milda turut mengeksplorasi kemampuan diri dengan membuat gerakan dengan atau tanpa musik. Ia juga belajar membuat gerakan mengikuti bentuk obyek atau perasaan tertentu.
”Kita menjadi lebih happy dan ekspresif sehingga itu menjadi sesuatu yang lebih melegakan. Di kelas Melanie Lane, koreografer Australia, kami mempelajari tentang keterikatan manusia dengan obyek, bahkan ketika obyek itu tidak ada. Dalam psikologi, saya juga belajar memori peristiwa dan asosiasinya terhadap benda yang memicu trauma,” kata Milda.
Kesempatan bereksperimen
Asyidah Kharisma Widiyastuti (17), siswa SMK Negeri 8 Surakarta, Jawa Tengah, berpendapat, pementasan secara virtual merupakan pengalaman yang menarik. Gerak-gerik narasumber dan peserta bisa langsung terlihat di depan layar komputer atau ponsel. Tidak jarang, mereka saling meledek apabila ada yang bertingkah konyol.
Meskipun tidak bertatap muka langsung, Kharisma tetap mendapat kesempatan untuk memperkaya wawasan terkait dunia seni tari. Kharisma telah menggeluti dunia tari sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga sekarang mengambil jurusan Penataan Tari.
”Aku belajar memahami karakter satu sama lain, mengekspresikan diri, mengeksplorasi gerak, dan memperhatikan pola ruang. Kami juga dibagi menjadi beberapa kelompok dan kemudian disuruh membuat suatu gerakan untuk digabungkan. Itu sangat mengesankan, apalagi dibuat dalam bentuk daring,” tuturnya.
Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Harry Nuriman menjelaskan, penggunaan teknologi digital selama pandemi merupakan salah satu cara bagi para seniman tari untuk bertahan. Untuk itu, penari perlu beradaptasi dalam memanfaatkan platform pertemuan virtual, seperti Zoom.
Penyesuaian yang perlu diperhatikan mencakup berbagai aspek. Penari, misalnya, bisa menentukan lokasi pertunjukan sendiri dan merencanakan adegan dengan mempertimbangkan sudut jangkauan kamera.
Apabila tidak ditayangkan langsung, video tarian dapat ditambahkan filter sehingga menciptakan kesan tertentu. ”Ini sebetulnya adalah ranah baru di dunia pertunjukan, tetapi membuka inovasi,” ujar Harry, yang juga peserta Proyek 1’59.
Dalam sesi dalam sesi Watch Party setelah kelas Ahn Eun-me, Harry menunjukkan kreativitas lewat tariannya sebagai manusia serigala Jawa selama 2 menit. Ia menaruh kamera bawah sehingga penonton melihatnya dari kaki ke atas. Ia juga menaruh kamera di atas sebuah alat berputar.
Harry juga memanfaatkan keterbatasan jangkauan kamera. Setelah tampil selama selama 1 menit, dirinya menghilang dari layar sebagai manusia dan kembali muncul dengan topeng. Di akhir penampilan, dia memberikan efek kejutan ke penonton dengan menendang kamera.
Dengan kata lain, Harry menyebutkan, pertunjukan secara langsung atau virtual masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. ”Tidak perlu khawatir apakah pesan tarian kita tersampaikan ke penonton atau tidak karena bergerak sesuai nurani itu saja sudah menjadi kepuasan sendiri,” ujar Harry.
Semua kalangan
Inisiator Proyek 1’59, Ahn Eun-me, mengatakan, proyek ini bertujuan membantu orang-orang biasa dari berbagai latar belakang untuk menampilkan bakat seni mereka di atas panggung. Indonesia, di luar Korea Selatan, menjadi negara pertama di Asia yang menggelar Proyek 1’59 pada tahun ini. Pandemi Covid-19 membuat proyek ini terpaksa berlangsung secara virtual.
”Kami memberi mereka kenangan khusus mengenai hal-hal penting. Mereka juga membuat komunitas baru serta memahami seni kontemporer, ide seni, budaya, dan ekspresi diri,” kata Ahn, dalam wawancara eksklusif lewat Zoom.
Berlangsung sejak 2014 di berbagai negara, proyek ini terinspirasi dari istilah almarhum seniman Amerika Serikat Andy Warhol mengenai 15 minutes of fame (15 menit ketenaran). Rentang waktu 1’59 adalah adalah rata-rata waktu rentang perhatian seseorang untuk menonton satu video di platform internet sebelum beralih ke video berikutnya.
Sebanyak 60 peserta dari Indonesia dengan rentang usia 14-62 tahun terpilih mengikuti program ini. Ada yang bekerja sebagai psikolog, guru, pelajar, pemain teater, dan dokter gigi. Tempat tinggal mereka tersebar mulai dari Jakarta, Banten, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, hingga Maluku.
Mereka mengikuti kelas seni bersama koreografer kelas dunia setiap hari Sabtu selama satu bulan lebih sejak 19 September. Beberapa di antaranya Melanie Lane (Australia), Clint Lutes (Amerika Serikat/Perancis), Ahn Eun-me, Monica Gillette (AS/Jerman), serta Ismail Basbeth dan Maria Tri Sulistyani (Indonesia).
”Hal menarik yang terlihat dari peserta adalah kemerdekaan. Mereka memiliki ide kuat untuk berkreasi ketika menari dan menyanyi. Ada energi yang muncul dari setiap proyek yang berlangsung. Selama 2 menit, kita bisa melihat bagaimana kehidupan orang lain berjalan dan memikirkan rasa sakit atau ketakutan mereka,” tutur Ahn.
Program Manager Indonesian Dance Festival (IDF) Ratri Anindyajati menambahkan, karya kolaborasi Ahn Eun-me bersama para partisipan itu dibuat dalam bentuk video. Menurut rencana, video itu akan diluncurkan dalam pembukaan Indonesian Dance Festival 2020 dengan tema IDF2020.zip Daya: Cari Cara, selama 7-14 November.
Baca juga: Prestasi Seni Anak Muda di Tengah Pandemi Covid-19
”Kami memilih proyek ini karena karya Ahn Eun-me memberdayakan orang lain untuk berkreasi, sangat menyentuh publik, dan engage the community. Melihat antusiasme peserta, kami terharu karena itu sangat membantu di saat seperti ini,” ujar Ratri.
Ratri berharap penyelenggaraan IDF di tengah pandemi pada tahun ini dapat menjadi salah satu upaya untuk memberdayakan masyarakat agar tetap tangguh. Tidak menutup kemungkinan program serupa yang menstimulasi kreativitas akan kembali digelar di masa depan.