Endang Sutisna Memuliakan Bumi Ciletuh
Dengan mendirikan Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi) bersama dua sahabatnya, Endang Sutisna (51) berupaya mendengungkan upaya-upaya konservasi untuk menjaga bumi Ciletuh, yang kini telah menjadi ”geopark” global.
Kunci kesejahteraan masyarakat adalah memuliakan Bumi. Itulah yang diyakini Endang Sutisna. Bagi dia, sudah saatnya warga mengubah pandangan dan cara untuk memanfaatkan sumber daya alam. Bukan lagi dengan mengeksploitasi, melainkan menjaga dan merawatnya.
Tahun 2013, Endang Sutisna (51) mendapatkan tawaran untuk menjadi panitia pelaksana pencetakan sawah di Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Menurut rencana, akan ada pembukaan sawah seluas 24 hektar di sana oleh sebuah perusahaan sebagai ganti lahan persawahan yang telah dipakai untuk memperluas areal perusahaan.
Sekilas, kabar itu terdengar menggembirakan. Akan tetapi, ironis bagi warga setempat. ”Kata saya waktu itu, ngapain juga bikin sawah banyak-banyak, airnya juga kering,” ujar Endang di Museum Konservasi sekaligus Sekretariat Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi), Minggu (6/9/2020).
Kala itu, kemarau panjang melanda Ciemas. Untuk pertama kalinya air Sungai Ciletuh ikut mengering. Padahal, sungai tersebut merupakan satu-satunya sumber pengairan di lumbung padi Sukabumi pada musim kering.
Baca juga : Tambang Emas Ilegal Mengepung Ciletuh
Alih-alih menyeriusi program pencetakan sawah, Endang dan dua kawannya, Asep Ganjar (44) dan Edem Rosadi (50), justru mencari akar masalah kekeringan. Dari situ, mereka mengetahui bahwa pembalakan hutan telah terjadi secara masif di hulu sungai.
Meski berbeda profesi, Asep dan Edem dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Tamanjaya, Ciemas, sedangkan Endang merupakan pemilik perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI), ketiganya sepakat untuk menyelesaikan masalah bersama. Mereka berinisiatif menanami kembali bagian hutan yang gundul guna mengembalikan debit air sungai untuk mengairi sawah.
”Saat itu kami tidak berpikir untuk membuat kelompok yang bergerak di bidang konservasi. Kami hanya berpikir, mari kita hijaukan hutan kembali. Itu saja,” kata Endang.
Inisiatif putra asli Ciemas itu terbangun menjadi identitas. Ketiganya dikenal sebagai kelompok pegiat konservasi alam. Kegiatan mereka menarik minat PT Bio Farma (Persero) untuk menyalurkan tanggung jawab sosial masyarakat (CSR)-nya.
Pendekatan yang ditempuh Bio Farma ke masyarakat cukup unik. Menurut Endang, Presiden Direktur PT Bio Farma 2013 Iskandar menemui mereka secara langsung, tetapi tidak menyebutkan identitas dan profesinya. Iskandar yang juga lahir di Sukabumi menawarkan Endang untuk membentuk organisasi kemasyarakatan pemerhati lingkungan yang diikuti setidaknya 20 orang. Tawaran itu juga disertai dengan pembelian rumah dan lahan untuk sekretariat.
Karena sudah kadung cinta menanam, Endang menerima tawaran tersebut. ”Setelah mengumpulkan 20 orang, kami dipertemukan dengan beberapa akademisi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Mereka menjelaskan, kawasan ini sudah diteliti sejak 2005 dan berpotensi untuk diajukan menjadi geopark (taman bumi),” tutur Endang.
Suatu kawasan berpotensi menjadi taman bumi yang diakui UNESCO jika memiliki kekayaan geologi, biologi, dan budaya yang diakui secara internasional. Saat itu, hasil penelitian para akademisi menunjukkan bahwa di kawasan yang berada di sekitar Sungai Ciletuh, terutama Kecamatan Ciemas, terkandung bebatuan yang menjadi bukti tumbukan lempeng Benua Eurasia dengan Samudra Hindia-Australia pada zaman kapur atau sekitar 50 juta tahun lalu. Bebatuan itu juga menjadi bukti wilayah Ciletuh sebagai dataran tertua di Jawa Barat.
Proses geologi lainnya juga membentuk amfiteater alam di Teluk Ciletuh. Jika dilihat dari ketinggian, teluk menyerupai panggung teater yang berbentuk tapal kuda.
Di hutannya, tumbuh berbagai tanaman endemik serta tanaman pembentuk fosil. Budaya yang lahir dari kehidupan masyarakat setempat yang bercorak agraris juga masih lestari dalam berbagai bentuk.
Kendati memiliki bekal menjadi geopark, pengajuan kawasan sebagai taman bumi tidak bisa berjalan tanpa ada masyarakat yang menggerakkan konservasi lingkungan. Di titik itu, keberadaan komunitas yang didirikan Endang menemui relevansi dengan niat sejumlah akademisi dan badan usaha mengajukan kawasan Ciletuh sebagai taman bumi. Pada 31 Agustus 2013, kumpulan itu diresmikan sebagai organisasi yang diberi nama Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi).
Semula, Endang dan kawan-kawan sama sekali tidak mengerti konsep taman bumi. Tidak pula satu pun dari mereka pernah mempelajari soal geologi di sekolah. Namun, hasrat untuk memperbaiki lingkungan mendorong mereka mengikuti beragam pelatihan yang diselenggarakan Bio Farma. ”Setiap ada peneliti yang ke sini, kami juga turun langsung mendampingi mereka sehingga kami paham betul apa yang sedang mereka kerjakan. Sampai sekarang, ada 200-300 peneliti yang pernah kami dampingi,” ujarnya.
Taman bumi UNESCO
Sambil meningkatkan pengetahuan dan terus menanam pohon, pada 2014 Papsi mulai menyampaikan ide pengajuan kawasan Ciletuh sebagai taman bumi ke Pemerintah Kabupaten Sukabumi. Akan tetapi, ide itu ditolak. Pemerintah beralasan tidak memiliki pos anggaran untuk program tersebut.
Beruntung sikap berbeda ditunjukkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ide mengenai taman bumi diterima dan dibiayai mulai 2015. Pada tahun yang sama, kawasan Ciletuh resmi berstatus taman bumi nasional dan terus dipersiapkan untuk mengajukan diri ke tingkat dunia.
Menurut Endang, persiapan pengajuan taman bumi UNESCO membutuhkan koordinasi yang intens. Setiap pekan, ia harus mengikuti rapat di kantor Gubernur Jawa Barat yang berjarak sekitar 200 kilometer dari Ciemas. ”Saya sering berangkat itu enggak punya uang. Sering juga menumpang tidur di Masjid Pusdai, Bandung,” kata Ketua Papsi itu sambil tertawa.
Selama proses berlangsung, ia juga menjadi pendamping para penilai dari UNESCO. Tidak jarang mereka harus membuka jalur hutan dan menyeberangi laut untuk mendatangi situs-situs geologi yang tersebar.
Di ranah pariwisata, Endang mengedukasi masyarakat dengan membuat konsep paket wisata. Di dalamnya terdiri dari layanan penginapan, konsumsi, dan jasa pemandu wisata. Terkait penginapan, dibuat pula homestay percontohan yang sistem kerjanya bisa dipelajari warga setempat. Sampai saat ini, sudah ada sekitar 200 homestay di Ciemas.
Di bidang edukasi, Endang dan Papsi mengelola Museum Konservasi. Museum itu mengoleksi sejumlah batuan langka yang ada di kawasan Ciletuh, hasil penelitian para ahli. Selain itu, reboisasi juga terus dilakukan. Tercatat, ada 6.000 pohon endemik, yaitu jenis pohon beurih, kepuh, dan bungur, yang telah ditanam di hutan.
Proses pengajuan taman bumi yang berlangsung selama bertahun-tahun menuntut Endang untuk fokus. Pemilik PJTKI di Jakarta itu akhirnya meninggalkan pekerjaan yang sudah mapan demi membawa kampung halamannya ke kancah dunia. Menurut dia, meski menghasilkan banyak uang, pekerjaan sebelumnya kerap membuat hidup gusar dan jauh dari keluarga. ”Memang saya sering tidak punya uang karena menggarap (konservasi) ini, tetapi ketenangan, kesejukan, hari ini yang didapat,” ujarnya.
Upaya dan pengorbanan Endang rupanya berbuah manis. Pada 2018 kawasan Ciletuh-Palabuhanratu resmi masuk dalam jejaring taman bumi UNESCO (UNESCO Global Geopark Network). Kawasan yang dimaksud luasnya mencapai 126.000 hektar yang membentang di 8 kecamatan dan 74 desa. Setidaknya ada 62 situs geologi yang masuk dalam kelompok pemandangan eksotis, pulau berbatuan langka, air terjun, goa laut, pantai, batuan langka dan fosil, pantai, serta mata air panas.
Prestasi membawa kawasan Sukabumi Selatan ke kancah dunia tidak mungkin terwujud hanya dengan kerja pribadi Endang. Lulusan SMPN 1 Ciemas itu mampu menyebarkan gagasan dan mengorganisasikan kepedulian warga. Strateginya dimulai dari jejaring lulusan SMPN 1 Ciemas yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar (SD).
Gagasan untuk memuliakan Bumi Ciletuh mudah diterima karena sejalan dengan visi hidup para guru. Hal itu kemudian menyebar secara cepat, baik kepada siswa maupun sesama guru. Mereka secara sukarela menggerakkan program konservasi di wilayah masing-masing.
Guru-guru juga berkomitmen untuk memanjangkan napas konservasi dengan bergabung di organisasi. Hingga saat ini, tercatat profesi ini mendominasi keanggotaan Papsi. Dari total 40 anggota, delapan orang adalah guru.
Endang mengatakan, tidak pernah ada paksaan atau iming-iming uang bagi siapa pun untuk berkegiatan di Papsi. Kalaupun ada uang tambahan, itu didapat dari kerja pribadi para anggota, misalnya menjadi pemandu wisata atau mendirikan homestay. ”Kalau nuraninya sama ingin menyelamatkan alam, dengan sendirinya mereka datang untuk bergabung di Papsi,” ujarnya.
Ancaman konservasi
Tidak dimungkiri aktivitas konservasi dan keberadaan taman bumi membukakan pintu kesejahteraan untuk masyarakat. Pemerintah Provinsi Jawa Barat, misalnya, membangun jalan raya sepanjang 37 kilometer dari Puncak Darma sampai Pantai Loji untuk memudahkan akses aktivitas ekonomi di sana. Seiring dengan nama yang kian mencuat, wisatawan domestik dan asing pun berdatangan.
Baca juga : Jalan Terjal Menggaungkan Konservasi di Ciletuh
Merujuk catatan Badan Pengelola Ciletuh-Palabuhanratu UNESCO Global Geopark, pada 2018 kontribusi pariwisata terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Sukabumi mencapai 2,54 persen, atau nilai kontribusi tertinggi sejak 2014. Hal itu seiring dengan adanya peningkatan pertumbuhan lapangan usaha di bidang penyediaan makan dan minum menjadi 8 persen. Kunjungan wisatawan pada tahun tersebut juga mencapai 1,17 juta orang.
Bagi Endang, kabar itu tidak sepenuhnya baik dan membuat tantangan baginya makin berat. Keramaian pariwisata di tengah perspektif warga untuk mengonservasi lingkungan yang belum merata justru mengancam kelestarian Bumi Ciletuh. Diam-diam, warga pun mulai kembali menebangi hutan demi sekadar terlihat indah di hadapan wisatawan. ”Setiap tahun Papsi wajib menanam, menghijaukan hutan. Kalau sudah kami tanam lalu hilang, biar saja. Siapa yang lebih kuat, yang menanam atau menebang?” katanya.
Menurut Endang, derajat Ciletuh yang kerap disebut sebagai ”surga geologi” itu bisa lebih terangkat, yaitu dengan mengonsentrasikannya pada ranah akademis. Dengan begitu, kunjungan ke kawasan ini tidak hanya memberikan pengalaman berwisata, tetapi juga jadi titik awal untuk terus mengembangkan penelitian terkait.
Ia yakin, dengan konsep tersebut, keuntungan finansial yang diterima masyarakat akan lebih besar. Dan melampaui itu, Bumi dengan segala kemuliaannya bisa berlangsung lebih lama. ”Beda ya, ramai dengan terangkat. Kami sebenarnya tidak suka dengan keramaian orang, lebih ingin daerah kami ini bisa terselamatkan,” kata Endang. (NIA/IRE/ILO)
Endang Sutisna
Lahir: Sukabumi, 5 April 1969
Istri: Jamilah
Pendidikan:
- SMAN 2 Sukabumi
- Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Widyapuri Mandiri Sukabumi
Organisasi: Paguyuban Alam Pakidulan Sukabumi (Papsi)