Dua Bongkah Besar Sampah Antariksa Nyaris Bertabrakan
›
Dua Bongkah Besar Sampah...
Iklan
Dua Bongkah Besar Sampah Antariksa Nyaris Bertabrakan
Dua bongkah sampah antariksa berupa satelit telekomunikasi Uni Soviet yang sudah tidak berfungsi Cosmos 2004 dan bekas roket China CZ-4C R/B, Jumat (16/10/2020), nyaris bertabrakan di atas Samudra Atlantik.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Dua bongkah sampah antariksa berupa satelit telekomunikasi Uni Soviet yang sudah tidak berfungsi Cosmos 2004 dan bekas roket China CZ-4C R/B, Jumat (16/10/2020), nyaris bertabrakan di atas Samudra Atlantik bagian selatan. Kekhawatiran sejumlah pihak akibat papasan kedua benda tersebut akhirnya tidak terbukti hingga menghindarkan orbit rendah Bumi dari lonjakan jumlah sampah antariksa.
Pertemuan kedua sampah antariksa itu sudah diprediksi sejak beberapa hari sebelumnya oleh tim perusahaan penjejak luar angkasa LeoLabs yang bermarkas di California, Amerika Serikat. Pada Selasa (13/10), LeoLabs memprediksi pertemuan kedua sampah antariksa yang memiliki massa gabungan sebesar 2.800 kilogram atau 2,8 ton itu akan terjadi pada Jumat (16/10/2020) pukul 07.56 waktu indonesia bagian barat.
Papasan itu akan terjadi saat keduanya berada pada ketinggian 991 kilometer di atas Samudra Atlantik bagian selatan, selepas Antartika. Baik satelit mati Uni Soviet maupun bekas roket China itu akan bergerak dengan kecepatan 52.950 kilometer per jam atau 14,7 kilometer per detik. Saat berpapasan tersebut, keduanya akan terpisah jarak sejauh 25 meter saja dengan galat kurang lebih 18 meter. Peluang terjadinya tabrakan diprediksi LeoLabs mencapai lebih dari 10 persen.
Namun, dari pantauan menggunakan radar luar angkasa Kiwi milik LeoLabs yang dipasang di Selandia Baru pada 10 menit setelah waktu prediksi terjadinya pertemuan tersebut, tabrakan kedua sampah antariksa berukuran besar itu sepertinya tidak terjadi.
”Tidak ada indikasi tabrakan. CZ-4C R/B (kode untuk sampah roket bekas China) melewati radar luar angkasa Kiwi pada 10 menit setelah waktu papasan kedua obyek. Pantauan kami menunjukkan hanya ada satu obyek yang teramati, tanpa ada tanda-tanda terjadinya serpihan,” ungkap LeoLabs dalam Twitter-nya.
Meski demikian, LeoLabs masih akan memantau kedua obyek tersebut lebih dalam selama beberapa hari ke depan, termasuk penilaian risiko yang lebih lengkap.
Ancaman nyata
Kekhawatiran dan kewaspadaan akan terjadinya tabrakan di antara kedua sampah antariksa itu sebenarnya tidak berlebihan. Kalaupun tabrakan itu terjadi, kemungkinan serpihan atau puing yang dihasilkan memang sangat kecil peluangnya membahayakan kehidupan manusia di bawahnya. Namun, tabrakan itu akan menghasilkan ”awan” puing yang sangat besar.
”Sebuah tabrakan obyek luar angkasa berpeluang untuk meningkatkan jumlah puing-puing di orbit rendah Bumi secara signifikan, antara 10-20 persen,” kata astronom dan pelacak satelit dari Pusat Astrofisika Harvard-Smithsonian, AS, Jonathan McDowell, seperti dikutip dari space.com,Jumat.
Tambahan puing-puing itu akan membuat angkasa luar kita makin dipenuhi sampah antariksa yang membahayakan satelit-satelit aktif. Rusaknya satelit tersebut bisa berakibat fatal bagi kehidupan manusia di muka Bumi mengingat saat ini kebutuhan akan layanan telekomunikasi satelit, khususnya berbasis internet, sangat besar. Sebagian besar perangkat yang digunakan manusia saat ini membutuhkan internet untuk pengoperasiannya.
Badan Antariksa Eropa (ESA) menyebut ada sekitar 34.000 obyek dengan ukuran lebih dari 10 sentimeter yang saat ini sedang mengelilingi Bumi. Semakin kecil ukurannya, jumlahnya meningkat berkali-kali lipat. Setidaknya ada lebih dari 900.000 puing dengan ukuran antara 1-10 sentimeter dan 128 juta serpihan berukuran 1 milimeter hingga 1 sentimeter mengorbit Bumi.
Di permukaan Bumi, puing ukuran kecil tersebut mungkin tidak terlalu berbahaya. Namun, di luar angkasa, risiko bahayanya menjadi sangat besar karena mereka bergerak dengan kecepatan sangat tinggi. Bahkan, cat wahana antariksa yang terkelupas saja bisa menyebabkan kerusakan besar pada satelit aktif.
Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS), selama 2020 ini saja, sudah harus bermanuver tiga kali guna menghindari tumbukan dengan sampah antariksa. ISS beroperasi pada ketinggian sekitar 400 kilometer dari permukaan Bumi. Pada ketinggian tersebut, puing antariksa bisa bergerak dengan kecepatan hingga 28.160 kilometer per jam atau 7,8 kilometer per detik.
Tabrakan sampah antariksa bukanlah cerita fiksi semata seperti yang digambarkan dalam film fiksi ilmiah Gravity (2013) yang dibintangi Sandra Bullock dan George Clooney. Peristiwa ini benar-benar nyata dan sudah beberapa kali terjadi.
Dalam Jonathan\'s Space Report Nomor 606, 15 Februari 2009, yang dibuat oleh Jonathan McDowell, satelit komunikasi mati milik Kementerian Pertahanan Rusia bernama Kosmos 2251 (Strela-2M) menabrak satelit komunikasi aktif Iridium 33 milik perusahaan AS, Iridium Communications.
Ini adalah tabrakan satelit besar bermuatan pertama yang tercatat. Iridium 33 punya bobot 560 kilogram dan Kosmos 2251 memiliki berat sekitar 800 kilogram. Keduanya bertabrakan saat bergerak dengan kecepatan 11,7 kilometer per detik atau 42.000 kilometer per jam pada ketinggian 776 kilometer di atas Semenanjung Taymir, Siberia, Rusia.
Tabrakan itu menghasilkan lebih dari 1.800 puing yang bisa dilacak keberadaannya pada bulan-bulan berikutnya. Namun, jumlah serpihan yang lebih kecil diyakini jauh lebih banyak lagi, tetapi terlalu kecil untuk dipantau.
Perbuatan manusia
Di luar puing-puing antariksa yang dihasilkan akibat kecelakaan antarsatelit, sejumlah tindakan manusia justru memperparah terbentuknya sampah antariksa. Pada 2007, militer China melakukan uji destruktif teknologi antisatelit dengan menembak satelit cuaca bekas miliknya menggunakan proyektil kinetik. Hasilnya, ribuan sampah antariksa dihasilkan.
Hal serupa dilakukan India pada 2019 terhadap satelit mikro dengan tujuan sama, yaitu menguji senjata antisatelit miliknya. Hasilnya, ”awan” puing antariksa pun tercipta dan menambah makin banyak sampah yang bertebaran di luar angkasa.
Ke depan, persoalan sampah antariksa akan menjadi persoalan yang makin serius akibat makin banyak satelit yang diluncurkan ke luar angkasa. Peluncuran satelit akan makin meningkat seiring makin besarnya kebutuhan dan terus turunnya biaya pembuatan dan peluncuran satelit.
Selain itu, saat ini tren dunia satelit adalah mengirimkan banyak satelit kecil, bisa mencapai puluhan, ke orbit rendah Bumi dari pada mengirim satelit tunggal dan besar ke orbit geosinkron Bumi yang lebih tinggi. Dengan demikian, tanpa ada tubrukan pun, jumlah sampah antariksa dipastikan akan makin banyak ke depan.
Karena itu, saat ini beberapa ahli dan lembaga antariksa sedang mengembangkan sejumlah sistem untuk membersihkan sampah antariksa tersebut. Jika tidak segera tertangani, eksplorasi antariksa dan penerbangan ke luar angkasa akan menjadi taruhannya.