Juragan Sapi
Dua hari kemudian, Juragan Mardi datang ke rumahnya. Burhan menemuinya. Istrinya tengah berada di kebun tetangga, membantu memanen tomat.
Terdengar keluh ayahnya yang ditanggapi ibunya. Keluhan yang acap didengar dari kedua orangtuanya, selepas isya menjelang pukul sembilan malam. Di ruang tamu yang merangkap ruang serbaguna. Di atas kursi lama yang sedikit reyot. Mereka acap mengeluhkan kesulitan perekonomian keluarga.
”Bagaimana utang kita pada Juragan Mardi?” sang istri melirik suaminya.
”Sudah beberapa kali Akang bicara jika kita belum bisa menunaikan kewajiban, dan sudah berulang kali pula Juragan Mardi memberi keringanan,” jelas suaminya. Kepalanya sedikit tengadah, menatap langit-langit dengan bilahan-bilahan mengelupas lantaran terhantam air hujan.
”Untungnya, majikan kita orang baik dan pengertian,” ucap istrinya sembari menekan kata ’baik’ dan ’pengertian’. Semua orang di kampung tahu, Juragan Mardi itu orang yang sangat ditakuti warga lantaran ucapan dan sikapnya yang merasa menjadi orang terkaya. Pemilik puluhan sapi. Laki-laki paruh baya yang tak suka berbagi rezeki meski seujung kuku. Jika ada warga yang wajib ditolong, hatinya tak akan tersentuh. Pekerjanya ada beberapa orang termasuk Burhan, ayah Ratih. Sebenarnya, Burhan pun sudah berpikir bolak-balik sebelumnya, mempertimbangkan dengan sangat matang. Namun ketika Ratih menyelesaikan pendidikan di sekolah lanjutan atas, lalu tagihan demi tagihan dari sekolahnya yang membuat mentalnya menurun lantaran malu dengan olok-olok teman-teman sekelasnya, Burhan memberanikan diri meminjam uang pada majikan.
Awalnya majikan tak menanggapi, Burhan pulang dengan tangan hampa. Tetiba esok pagi, majikan memanggil dan memberikan pinjaman. Bulan demi bulan, utang itu belum terbayar. Bahkan bertambah.
”Seandainya Juragan Mardi membebaskan utang kita,” istrinya sedikit bergumam.
”Tidak usah banyak berharap, masih untung kita pernah diberi pinjaman. Dia tak juga menagih. Akang sendiri yang bilang padanya agar ditangguhkan lagi. Pada orang lain, mana mau dia ngasih pinjeman. Dan jika pun berkenan, pasti akan terus menagih dan tak akan memberi penangguhan.”
”Mengapa Juragan Mardi memperlakukan kita beda dengan pada yang lain?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ia menghela napas dulu. Kepalanya masih tengadah menatap langit-langit rumah. Ia sebenarnya tak berani mengungkapkan pada istrinya. Namun tak mungkin disembunyikan. Lalu dengan hati-hati, ia mulai menceritakan perbincangannya tempo hari dengan Juragan Mardi di kandang sapi.
Ratih yang masih berdiri di balik tirai kamarnya, merasakan dadanya yang tetiba sesak. Ia ingin berontak pada ayahnya, namun diurungkannya. Perlahan tubuhnya berbalik menuju tempat tidur. Tubuhnya dijatuhkan. Kepalanya membenam di bantal dengan dada agak berguncang. Tak berapa lama, isaknya kentara.
Dua hari kemudian, Juragan Mardi datang ke rumahnya. Burhan menemuinya. Istrinya tengah berada di kebun tetangga, membantu memanen tomat. Ratih berada di kamar. Tubuhnya menghadap cermin. Ditatap wajahnya sembari telinganya menangkap perbincangan Juragan Mardi dan ayahnya. Dan ia kian paham, Juragan Mardi ingin Ratih menjadi istri Barna, anak sulungnya. Laki-laki berperawakan gemuk pendek dengan wajah lebar dan mata besar. Kulitnya hitam legam. Ia kuliah di Purwokerto. Sudah lama menaruh hati pada Ratih, kembang desa yang diincar banyak pemuda. Ratih memang benar-benar cantik, dengan kulit kuning langsat ditunjang tubuh ramping semampai. Jika saja mengenakan pakaian mahal, tentu orang-orang tak akan mengira anak Burhan yang hanya kuli kasar mengurus sapi-sapi Juragan Mardi. Kini, Ratih baru dua bulan menamatkan SMA.
”Soal utang, aku bebaskan. Tapi, bujuk Ratih agar mau jadi istri Barna!” jelas Juragan Mardi. ”Sebenarnya, banyak gadis cantik di tempat kuliahnya… tapi anak itu hanya ingin Ratih yang menjadi istrinya. Tak akan lama lagi, kuliahnya beres. Ia akan pulang ke sini, dan menjadi kepercayaanku dalam mengelola usaha ternak sapi potong.”
Burhan mencoba memahami ucapan majikan.
”Begitu saja, ya Burhan! Bilang sama istrimu dan bujuk Ratih! Jika anakmu membantah, aku tak akan segan-segan memecatmu dan utang akan kembali kupermasalahkan!” tegas Juragan Mardi lalu pergi tanpa pamit. Burhan termenung. Sementara Ratih tak mampu menahan genangan air mata yang akhirnya jatuh di kedua belah pipinya. Depan cermin, isaknya tersendat.
Tidak usah banyak berharap, masih untung kita pernah diberi pinjaman. Dia tak juga menagih. Akang sendiri yang bilang padanya agar ditangguhkan lagi. Pada orang lain, mana mau dia ngasih pinjeman. Dan jika pun berkenan, pasti akan terus menagih dan tak akan memberi penangguhan.
Melintas wajah Barna yang suka menggodanya jika bersua dekat sungai usai Ratih mencuci pakaian. Jika kebetulan laki-laki itu pulang kampung.
Burhan dan istrinya tak pernah membujuk Ratih, namun juragan Mardi acap datang, menegaskan ancaman semula—memecat dan menuntut utang. Ratih menyerah. Ia menerima pinangan laki-laki yang sama sekali tak pernah dicintainya. Hingga hari yang telah ditentukan, hari pernikahan, mereka duduk di pelaminan. Pesta tujuh malam hendak digelar, namun ketika orang-orang sibuk menonton pagelaran wayang golek, ketika Barna pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dalam persiapan menyambut malam pertama dengan gadis pujaannya, Ratih secepat kilat pergi dengan hanya pakaian yang melekat di badan.
***
Sudah tiga hari Ratih bersama Bayu, laki-laki yang dicintainya semenjak dua tahun lalu. Bayu kuliah juga di kota yang sama dengan Barna. Ia pun sangat tahu tingkah laku Barna di sana. Barna dikenal suka menggoda gadis-gadis cantik. Gadis terakhir yang dipacarinya, orang Majenang. Gadis itu hamil namun Barna tak mau bertanggung jawab bahkan meminta mengugurkan kandungannya. Gadis itu memilih pulang kampung dan berhenti kuliah, lalu orangtuanya menikahkan dengan laki-laki baik yang tak menuntut keperawanan.
”Maafkan aku yang tak memberi kepastian saat kau bingung dengan persoalan berat yang dihadapi,” Bayu menatap Ratih. Mereka berada di sebuah kamar hotel. Sebelumnya. Bayu pernah berterusterang pada ayahnya hendak meminang Ratih. Namun ayahnya yang mantan orang nomor satu di kecamatan serta keturunan ningrat itu tentu saja menolak keinginan anaknya. Ratih hanya seorang gadis miskin. Hingga Bayu tak punya pilihan dan menahan kekecewaan saat mendengar hari pernikahan Ratih. Pukul sebelas malam, kawan baiknya di kampung, mengabarkan jika Ratih menunggu di suatu tempat. Warung Ma Imah.
Malam itu juga, mereka berdua pergi ke kota dan mencari hotel. Selama seminggu berada di kamar yang sama, tak pernah sekali pun Bayu berani menyentuh tubuh Ratih. Ia tidur di kursi dan membiarkan Ratih pulas di atas tempat tidur. Yang dibutuhkan Ratih, sosok yang dapat melindunginya. Yang tak dapatkannya dari orang lain meski orangtuanya sendiri.
Namun, tidur Ratih tak pernah pulas lantaran pikirannya acap terusik bayangan ibunya. Ayahnya. Adik-adiknya. Apa yang dilakukan Juragan Mardi dan Barna saat tahu ia pergi malam itu? Pertanyaan mengelayuti ruang pikirnya.
”Ratih… semalaman tidurmu gelisah,” ucap Bayu pagi hari saat menemani Ratih makan pagi. Bayu menghibur Ratih yang tampak sedih hingga bibir ranum itu mengulas senyum. Mereka pun akhirnya bercanda hingga siang hari menghabiskan waktu di kamar. Lalu Bayu mengajaknya ke luar hotel untuk berbelanja keperluan Ratih. Kegembiraan mereka terenggut saat bersua orang kepercayaan ayahnya yang tengah mencari keberadaan dua pasang kekasih lantaran ada saksi mata yang melihat pertemuan rahasia di warung Ma Imah.
”Jika Den Bayu tak pulang dan tetap menemani Ratih yang sudah tercatat resmi sebagai istri orang, sama saja mencoreng muka ayah,” laki-laki paruh baya itu menyampaikan keluhan ayah Bayu. Lalu menegaskan Juragan Mardi dan Barna yang sudah melaporkan pada polisi kasus penculikan Ratih yang dilakukan Bayu.
Senja melumati langit. Ratih dan Bayu kembali ke kampung halaman. Bayu ke rumah orangtuanya. Begitu pun dengan Ratih, namun orangtuanya tak berani menerima dan menyuruh anaknya pulang ke rumah Barna. Laki-laki itu membukakan pintu dan membiarkan Ratih masuk.
”Aku memaafkanmu,” ucap Barna. Sekarang semua tugas Juragan Mardi ditangani Barna. Sapi-sapinya kian bertambah banyak. Tak heran jika orang-orang beralih memanggil ”Juragan” pada Barna. Hingga tiga bulan, sikapnya manis, namun bulan-bulan selanjutnya acap kasar. Suka mengumpat istri depan khalayak. Tak jarang memperlakukan Ratih layaknya babu.
”Biar dia menjadi istri yang patuh pada suami!” Barna teriak ketika babu di rumah mau mengambil alih pekerjaan yang tengah dilakukan Ratih. Barna sangat puas melihat Ratih kewalahan dengan pekerjaan yang seharusnya tak dilakukannya mengingat di rumah ada beberapa orang babu. Sementara ia sendiri, usai mengontrol ternak sapi, lalu menghabiskan waktu dengan perempuan-perempuan lain. Sesekali mabuk hingga pagi dalam dekapan perempuan jalang. Ratih terkadang mendapat siksaan fisik.
Senja melumati langit. Ratih dan Bayu kembali ke kampung halaman. Bayu ke rumah orangtuanya. Begitu pun dengan Ratih, namun orangtuanya tak berani menerima dan menyuruh anaknya pulang ke rumah Barna. Laki-laki itu membukakan pintu dan membiarkan Ratih masuk.
Suatu pagi, Barna memarahi Ratih tanpa alasan hingga mengusirnya. Ratih merasa punya kesempatan pergi dari rumah yang dianggapnya seperti neraka. Menuju rumah orangtuanya namun yang didapat hanya umpatan kasar. Mereka tak sudi manampung Ratih dan menyuruh anak sulungnya itu menjauh. Ratih berjalan kaki menuju rumah Bayu. Hendak meminta perlindungan. Langkahnya terhenti, saat matanya melihat Bayu dengan seorang perempuan berkulit putih dan berambut panjang turun dari mobil. Lengan Bayu melingkar di pinggang ramping itu.
Tubuh Ratih berbalik, ia tak tahu harus melangkah ke mana lagi. Uang yang tak seberapa di dompet, menyeretnya ke pesisir pantai utara. Neni, sahabatnya waktu SMP, menyambut kedatangannya dengan sukahati. Ratih terpana menatap wajah dan penampilan sahabatnya, tersulap menawan. Neni mengajaknya berbincang hingga larut.
Baca juga: Kebun Cengkeh
”Jika kau sudah mantap mau bekerja di sini, mulai besok malam, bisa kau coba,” Neni memegang lengan Ratih lalu setengah berbisik, ”Akan banyak sopir truk yang singgah di sini. Mereka banyak duitnya. Dan tak pelit. Apalagi jika kau memberi servis yang memuaskan.”
***
Bandung Barat, 23 Juli 2020
Komala Sutha yang lahir di Bandung, 12 Juli 1974, menulis dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Tulisannya dimuat dalam koran dan majalah di antaranya Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Jawa Pos, Kompas.id, Republika, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Merapi, Denpasar Post, Lampung Post, Padang Ekspres, Malang Post, Bangka Post, Analisa, Medan Post, Kabar Cirebon, Tanjungpinang Post, Radar Bromo, Tribun Kaltim, Radar Tasik, Kabar Priangan, Galura, Target, Femina, Hadila, Potret, majalah Anak Cerdas, Mayara, SundaUrang, WartaSunda, Beat Chord Music, Manglé, SundaMidang, Djaka Lodang, Mutiara Banten, Kandaga, Cakra Bangsa, Diksi Jombang, Metrans, Buletin Selasa, Redaksi Jabar Publisher, Utusan Borneo dan New Sabah Times. Buku tunggalnya, novel Separuh Sukmaku Tertinggal di Halmahera (MujahidPress, 2018) dan kumpulan cerpen Cinta yang Terbelah (Mecca Publishing, 2018).