Komunitas Film Terus Berkarya
Mahasiswa yang tergabung dalam komunitas film terus berkarya di tengah pandemi. Berbagai kendala tak menyurutkan niat mereka untuk memproduksi film.
Di tengah pandemi Covid-19, komunitas film yang digerakkan para mahasiswa terus membuahkan karya. Produksi film dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Kalaupun tidak membuat film, mereka mencari kegiatan lain untuk terus menghidupkan komunitas.
Di Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Nol Derajat Film (Nolder) yang merupakan unit kegiatan mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang, baru saja menyelesaikan shooting film Yth. Pada pertengahan bulan September, sebanyak 10 kru Nolder berjibaku di bawah terik panas matahari dan mengenakan masker untuk mengambil gambar adegan per adegan film.
Dalam situasi yang terbatas, mereka tetap bertekad menghasilkan sebuah karya. Biasanya, kru film bisa lebih banyak lagi jumlahnya. Sayangnya, sebagian besar anggota Nolder sedang pulang ke rumah masing-masing.
Salah satu kru adalah Nabila Safira, mahasiswa Jurusan Manajemen Sumber Daya Lahan Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, yang membantu pembuatan film dari jauh. Dari rumahnya di Bekasi, Jawa Barat, Nabila yang bertugas sebagai asisten sutradara 1 membantu menyusun jadwal produksi film.
”Perencanaannya sudah lama. Hanya, karena banyak anggota yang pulang ke rumah, kami harus bagi-bagi tugas. Untuk teman-teman yang di rumah, bisa membantu dari jauh, kayak aku bantu bikin jadwal untuk kegiatan produksinya. Tiap hari aku proaktif, apa saja yang dibutuhkan, apakah jadwal yang aku bikin bisa diterapkan di lapangan,” kata Nabila saat dihubungi pada Jumat (16/10/2020).
Meski terkendala perizinan lokasi shooting, semangat mereka tak luntur. Nabila mengatakan, sebenarnya perizinan sudah diajukan sejak sebelum pandemi, tetapi sayangnya pihak setempat tak lagi mengizinkan. Akhirnya, mereka mencari lokasi yang baru dan proses shooting film yang mengangkat tema budaya dan agama ini bisa dilanjutkan kembali.
Selain produksi film, Nolder juga baru saja menyelenggarakan Brawijaya Movie Day yang berlangsung daring pada 10-11 Oktober 2020. Selama dua hari, mereka memutar film-film lama, seperti Doea Tanda Mata dan Badai Pasti Berlalu. Selain itu, dalam webinar, Nolder menghadirkan banyak pembicara, di antaranya aktor Slamet Rahardjo dan Ketua Lembaga Sensor Film Rommy Fibri Hardianto.
”Untuk event kali ini, kami ingin tetap ada wadah untuk ekshibisi, apresiasi film, dan memutar film-film pendek. Dari film-film lama, kami ingin mengenang hari-hari indah yang telah berlalu dan memetik pelajaran dari sana,” kata Nabila yang juga bertugas di Divisi Distribusi, Ekshibisi, dan Apresiasi Nolder.
Sebelumnya, Nolder sudah memproduksi sejumlah film dengan berbagai tema. Salah satu film yang dikerjakan tim Nolder dengan biaya dari kru sendiri adalah A Night of Nirvana yang kemudian lolos seleksi di Genflix Film Festival.
Film lama
Di masa pandemi, Cinema Lover Community (CLC) dari Purbalingga, Jawa Tengah, tak mau berdiam diri. Sambil mempersiapkan Festival Film Purbalingga (FFP) yang akan berlangsung pada 24-31 Oktober, beberapa anggotanya tetap aktif berkegiatan.
Salah satunya dengan menggelar pemutaran film secara live melalui akun Misbar Purbalingga di Youtube pada Rabu (30/9) malam. Koordinator Dokumentasi Kegiatan CLC Purbalingga Nur Muhammad Iskandar dan anggota CLC Purbalingga, Firman Fajar Wiguna, menjadi pembawa acara berdurasi sekitar 1,5 jam itu.
Malam itu, mereka memutar lima film lama bertema peristiwa 1965 yang diproduksi para anggota komunitas. Salah satu film yang diputar, Luka di Tanah Merah, merupakan kerja sama CLC Purbalingga, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Purwokerto, dan Serikat Tani Mandiri. Film dokumenter itu berisi wawancara warga yang kehilangan tanahnya.
Direktur CLC Bowo Leksono menceritakan, film itu berawal dari inisiatif anggota AJI yang meriset masalah tanah di Cilacap. ”Hasil risetnya dikasihkan kepada saya. Ya, okelah, kami coba ke sana. Sebenarnya enggak berharap banyak karena film dokumenter, kan, butuh waktu dan dana. Jadi, kami jalan dulu. Harapannya, bisa dilanjutkan lagi ini filmnya,” kata Bowo.
Sebagai pendiri komunitas, Bowo sebenarnya ingin terus membuat film dokumenter, tetapi terkendala pandemi Covid-19. ”Di masa pandemi ini, kami masih berpikir banyak hal. Kami ingin masih tetap berkarya dan karya itu masih bisa menghidupi masing-masing individu dari kami. Tetap ada karya idealis. Beberapa kegiatan kami, kan, juga molor ya, seperti Festival Film Purbalingga akhir bulan ini,” tuturnya.
Film lain yang diputar adalah Sum produksi Brankas Film dari SMA Negeri 2 Purbalingga. Film itu disutradarai Fajar Firman Wiguna yang juga dibimbing oleh Bowo. Film ini telah meraih beberapa penghargaan, seperti film terbaik kategori dokumenter Universitas Multimedia Nusantara Animation & Film Festival (Ucifest) 2018 dan Solo Documentary Film Festival (Sodoc) 2018.
Film dokumenter ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Sum. Dia mantan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang kini hidup dalam kesendirian.
Fajar atau yang akrab disapa Igun menceritakan, awal mula dirinya membuat film tersebut saat duduk di bangku SMA. ”Dari sejak SMA ikut ekskul (kegiatan ekstrakurikuler) Teater Brankas yang juga bikin film setiap tahun. Untuk film Sum, awalnya dikasih materi tentang peristiwa ’65 sama Mas Bowo. Salah satunya dari majalah Palapa tentang Ibu Sum itu,” ujarnya.
Kami ingin masih tetap berkarya dan karya itu masih bisa menghidupi masing-masing individu dari kami. Tetap ada karya idealis. Beberapa kegiatan kami, kan, juga molor ya, seperti Festival Film Purbalingga akhir bulan ini.
Setelah riset dua bulan, Igun memberanikan diri untuk membuat film Sum pada Mei 2018. Selama dua minggu, Igun melakukan shooting di kediaman Sum di Desa Brecek, Kecamatan Kaligondang, Purbalingga. Tak mudah membuat film dokumenter karena dalam perjalanannya Igun harus berganti kru film.
Selain film itu, Igun yang kini kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret, Solo, sudah menghasilkan beberapa film. Salah satunya adalah film Bulu Mata Kakiku yang mengisahkan seorang difabel yang bermata pencarian sebagai pengidep atau pembuat bulu mata dengan menggunakan kakinya.
Igun merupakan salah satu pegiat film yang masih aktif di CLC Purbalingga. Saat pandemi, dia pulang ke Purbalingga sehingga bisa membantu berbagai kegiatan komunitas. Dia membantu mendampingi siswa SMA yang memproduksi film.
Iskandar mengatakan, sejak Maret 2020, beberapa anggota CLC terlibat dalam program Rekam Pandemi yang diselenggarakan Asosiasi Dokumenteris Nusantara serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa video yang dibuat terkait dengan kegiatan masyarakat selama pandemi, seperti pembelajaran jarak jauh siswa dan kehidupan petani di Purbalingga.
Saat ini, CLC Purbalingga sedang menyiapkan FFP 2020 yang akan dilakukan secara daring dan tatap muka di Misbar Purbalingga. Awalnya, FFP akan diselenggarakan pada Juli 2020. ”Sebenarnya, persiapan enggak terlalu banyak karena sekarang kami punya tempat di Misbar Purbalingga yang baru diluncurkan Maret lalu,” kata Iskandar.
Baca juga : ”1’59 Project”, Panggung bagi Semua Orang
Beragam film akan diputar melalui livestreaming di Youtube Misbar Purbalingga. Selain itu, mereka juga gencar berpromosi melalui Instagram dan Facebook.
Di masa pandemi, kita semua memang dituntut untuk lebih kreatif. Platform digital menjadi salah satu alternatif untuk bisa menghidupkan berbagai kegiatan. Jadi, kalau bioskop masih tutup, mari kita menikmati film karya anak bangsa di platform digital.