Tarian ”Cha Cha” dalam Eksperimen Sistem Pilkada
Evaluasi pilkada perlu dilakukan secara holistik. Evaluasi bukan hanya terkait mekanisme pemilihan, langsung ataukah tak langsung melalui DPRD, melainkan juga tata kelola partai politik selaku elemen penting di pilkada.
Eksperimen sistem pemilihan kepala daerah di Indonesia seolah bergerak maju-mundur, seperti tarian cha cha. Setelah 15 tahun pilkada langsung berjalan, evaluasi pun dilakukan untuk mencari bentuk ideal. Namun, lagi-lagi, evaluasi lebih banyak menyasar sistem pemilihan, tidak melihat secara holistik akar permasalahan.
Sejarah mencatat, perubahan sistem pemilihan tak menjamin lahirnya kepala daerah yang berintegritas dan bebas korupsi. Pemilihan tak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ataupun pemilihan langsung terbukti tetap melahirkan praktik korupsi dengan ragam modus yang hampir sama. Namun, mengapa wacana mengubah sistem pemilihan selalu muncul setiap kali mengevaluasi pilkada?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD saat membuka rangkaian diskusi ”Evaluasi 15 Tahun Pilkada” yang diselenggarakan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Rabu (14/10/2020), mengatakan, pilkada melalui DPRD dan pilkada langsung sama-sama demokratis. Namun, dalam perjalanannya, kedua sistem itu terbukti tidak bebas dari praktik korupsi.
Sejarah mencatat, perubahan sistem pemilihan tak menjamin lahirnya kepala daerah yang berintegritas dan bebas korupsi.
Pilkada melalui DPRD diatur melalui Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Saat itu, nama calon kepala daerah dan wakilnya dimunculkan oleh perwakilan parpol di fraksi-fraksi di DPRD. Kandidat gubernur dan wakil gubernur misalnya sudah ditetapkan oleh pimpinan DPRD tetapi harus dikonsultasikan ke presiden. Sementara itu, untuk kandidat bupati, wakil bupati, maupun wali kota dan wakil walikota ditetapkan melalui keputusan pimpinan DPRD. Nama-nama tersebut kemudian dipilih dalam forum DPRD.
“Saat itu, DPRD dianggap sebagai tulang punggung otonomi daerah. Oleh karena itu, DPRD memiliki wewenang memilih kepala daerah, serta mengevaluasi dan menjatuhkan kepala daerah di tengah jalan jika dianggap tidak bertanggung jawab,” terang Mahfud.
Meskipun dianggap demokratis, pilkada melalui DPRD juga menimbulkan banyak bencana politik. Banyak terjadi praktik jual-beli suara di level DPRD. Jika ada 45 anggota DPRD, misalnya, suap diberikan kepada 23 orang di antaranya atau lebih dari separuh anggota DPRD agar memilih nama kandidat tertentu. Praktik ini justru malah dijadikan modus oleh elite DPRD untuk menjual suara ke calon kepala daerah.
Meskipun dianggap demokratis, pilkada melalui DPRD juga menimbulkan banyak bencana politik.
Catatan pemberitaan Kompas juga menunjukkan bahwa suap, politik uang, dan biaya pilkada tinggi marak saat kepala daerah dipilih DPRD. Saat itu, calon kepala daerah berlomba-lomba memberikan upeti kepada para legislator daerah agar terpilih. Dalam salah satu pemberitaan, misalnya, calon wali kota Surabaya 2000-2005, Eric Hudiyanto, mengaku mengeluarkan uang hingga hampir Rp 400 juta selama proses pemilihan. Namun, kursi kepala daerah justru jatuh kepada pasangan calon lain (Kompas, 9 Desember 2019).
Sistem pilkada melalui ”agen” DPRD dianggap keliru dan mendesak dievaluasi. Rakyat pun marah dan meminta sistem pemilihan itu diubah. Kemudian, muncul payung hukum yang mengatur tentang pemilihan langsung oleh rakyat. Regulasi itu adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 56 Ayat 1 menyebutkan, ”Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis, berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Adapun Ayat 2 disebutkan bahwa pasangan calon tersebut diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Pilkada langsung di Indonesia kemudian digelar sejak 1 Juni 2005.
Baca juga: Pilkada Tidak Langsung Bisa Menjadi Salah Satu Pilihan
Masalah korupsi yang sama
Namun, saat tata cara sirkulasi elite di daerah diganti ke pemilihan langsung pun, praktik korupsi masih ditemukan. Mahfud mengatakan, jika dahulu calon kepala daerah membayar ke DPRD, sekarang praktik jual-beli terjadi di partai politik. Untuk dapat didukung atau diusung parpol, calon harus menyetor mahar politik. Meskipun parpol tidak mengakui praktik itu, banyak korban bercerita bahwa mereka membayar sejumlah uang untuk dicalonkan sebagai kandidat oleh parpol tertentu.
”Setelah diubah sistem pemilihannya ternyata salah lagi kita. Sama saja uangnya boros. Kalau dulu uang ke DPRD istilahnya cara borongan, sekarang ada borongan ke parpol dan cara eceran karena ada serangan fajar ke rakyat agar memilih. Ini, kan, buruk sekali,” kata Mahfud.
Jika dahulu calon kepala daerah membayar ke DPRD, sekarang praktik jual-beli terjadi di partai politik. Untuk dapat didukung atau diusung parpol, calon harus menyetor mahar politik.
Hal itu juga senada dengan temuan Indonesia Corruption Watch (ICW). Peneliti Indonesia Corruption Watch, Almas Sjafrina, menuturkan, sepanjang 2010-2019, terdapat setidaknya 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Jumlah itu masih mungkin bertambah karena data ICW didasarkan analisis pemberitaan media terhadap kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian. Ada kemungkinan, sejumlah kasus korupsi di daerah yang tidak diangkat oleh media, tidak masuk dalam pendataan ICW.
Jika dilihat lebih detail, ada irisan antara korupsi dan pemenangan pilkada. Sejumlah tersangka mengaku korupsi untuk mengumpulkan modal atau mengembalikan modal pilkada. Dalam kasus korupsi mantan Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija, pelaku mengakui bahwa motif korupsi adalah untuk keperluan pemenangan pilkada. Atty Suharti mengumpulkan dana pemenangan pilkada dari proyek-proyek infrastruktur daerah.
”Ada irisan antara pilkada dan korupsi. Dari temuan kami, ada relevansi antara politik uang atau pengeluaran ilegal untuk keperluan pilkada yang biayanya besar,” kata Almas.
Ada irisan antara pilkada dan korupsi. Dari temuan kami, ada relevansi antara politik uang atau pengeluaran ilegal untuk keperluan pilkada yang biayanya besar. (Almas Sjafrina)
Kembali ke pilkada tidak langsung
Menjelang berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, pada 26 September 2014, DPR mengesahkan UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada. UU itu disetujui melalui perdebatan dan proses politik panjang. Argumen yang dijadikan dasar untuk mengubah model pilkada menjadi tidak langsung melalui DPR adalah tingginya biaya pilkada serta banyaknya kasus korupsi yang menjerat kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung.
Desakan untuk mengevaluasi sistem pilkada itu juga disuarakan oleh ormas Islam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. NU dalam musyawarah nasional di Cirebon tahun 2012 meminta pemerintah menghentikan pilkada langsung karena dianggap banyak mudaratnya. Sedangkan Muhammadiyah menyuarakan aspirasinya melalui pernyataan-pernyataan pimpinannya.
Di parlemen, sikap fraksi-fraksi terbelah terhadap perubahan pilkada langsung ke tidak langsung ini. DPR pun akhirnya mengambil keputusan dengan sistem voting. Hasilnya, 226 suara mendukung pilkada tidak langsung melalui DPRD dan 135 suara mendukung pemilihan langsung. Fraksi yang mendukung pemilihan melalui DPRD yaitu Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Gerindra. Adapun partai yang mendukung pilkada langsung adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura. Partai Demokrat yang punya 130 kursi di DPR justru menyatakan walk out. Hanya ada enam anggota Fraksi Partai Demokrat yang tetap mengikuti voting dan memilih pilkada langsung (Kompas, 27 September 2014).
Saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapatkan tekanan keras dari masyarakat sipil dan masyarakat umum. SBY dianggap meninggalkan warisan buruk demokrasi di ujung masa jabatannya. Hanya selang beberapa hari setelah UU disahkan di DPR, SBY kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014. Isinya adalah mencabut norma pilkada tidak langsung oleh DPRD dan mempertahankan sistem pilkada langsung.
Ide pilkada asimetris digagas, yaitu campuran antara pilkada tidak langsung dan pilkada langsung.
Pandangan masyarakat sipil
Kini, setelah pilkada langsung berjalan selama 15 tahun, kembali muncul wacana mengubah sistem pilkada. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, misalnya, menggagas ide pilkada asimetris, yaitu campuran antara pilkada tidak langsung dan pilkada langsung. Pelaksanakan pilkada akan didasarkan pada indeks pembangunan manusia (IPM) dan indeks kematangan demokrasi daerah (IKDM). Bagaimana pendapat masyarakat sipil mengenai opsi tersebut?
Jika pilkada harus dikembalikan ke DPRD, Almas dari ICW tidak setuju. Sebab, menurut temuan ICW, jumlah anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi juga sama banyaknya. Jumlah anggota DPR atau DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi sepanjang 2010-2019 yaitu 586 orang. Ini menunjukkan, DPRD juga bukan lembaga yang bersih dari praktik korupsi.
”Usulan mengembalikan pilkada ke sistem tidak langsung melalui DPRD tidak menyelesaikan akar persoalan,” kata Almas.
Peneliti Formappi, Lucius Karus, berpendapat, menyalahkan rakyat soal permasalahan yang sebenarnya berkutat pada level elite politik sangat tidak adil. Menurut dia, ada persoalan mendesak lain yang harus dilihat secara holistik dan komprehensif. Apalagi revisi UU Pemilu saat ini dalam proses penyusunan di DPR.
Problem yang muncul dalam pilkada saat ini bermuara pada persoalan elite politik.
Lucius melihat, persoalan mendesak yang perlu direformasi saat ini adalah tata kelola parpol. Problem yang muncul dalam pilkada saat ini bermuara pada persoalan elite politik. Misalnya, soal perekrutan calon kepala daerah yang tertutup dan bergantung kepada pimpinan pusat. Kedua, calon yang direkrut pun tidak melewati tahapan seleksi yang terbuka. Ini semua bergantung pada penugasan parpol yang tidak jelas parameternya. Akibatnya, pencalonan kepala daerah pun rawan terjadi mahar politik yang mahal. Praktik mahar politik ini sulit diawasi oleh Bawaslu. Dengan segala persoalan tersebut, seharusnya Mendagri mampu mengusulkan kepada DPR tentang revisi UU Parpol.
”Sejak dahulu mengapa yang coba diutak-atik adalah sistem pemilunya, sementara aturan parpol dibiarkan saja. Padahal, muara persoalan ini ada di parpol,” kata Lucius.
Baca juga: Garis Koalisi Partai Oposisi
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menambahkan, jika dilihat dari perspektif pemilih, saat ini pemilih semakin cerdas dan beradaptasi dengan pilkada langsung. Di sisi lain, kontribusi partai politik untuk menghadirkan calon-calon berintegritas yang akan bertarung di pilkada sangat besar.
Masalahnya, persoalan yang berkelindan dalam pilkada tidak lepas dari tidak berfungsinya kelembagaan parpol secara efektif. Hulu dari persoalan pilkada saat ini adalah pada partai politik. Dengan demikian, seharusnya hal-hal yang direvisi adalah untuk memastikan fungsi parpol secara efektif, seperti penguatan sistem kaderisasi. Selain itu, ke depan juga perlu dipikirkan alokasi dana publik untuk pendanaan parpol. Terutama adalah untuk dana parpol dan biaya saksi.
Eksperimen sistem sirkulasi elite daerah di Indonesia, baik secara langsung maupun tak langsung, sudah pernah dicoba. Bahkan, ada kecenderungan untuk mengulang sistem yang sama. Jika hasilnya tetap salah, apakah masih layak menyimpulkan sistem pemilihan sebagai faktor determinan permasalahan seperti korupsi? Semoga pemerintah dan DPR tidak keliru dalam menyimpulkan....