Jalan Tengah atas Polemik Upah
Penetapan upah minimum 2021 menuai polemik di tengah situasi usaha yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah dinilai bisa mengambil jalan tengah di antara silang pendapat.
JAKARTA, KOMPAS — Penetapan upah minimum 2021 menjadi polemik di tengah situasi usaha yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah dinilai dapat mengambil jalan tengah di antara silang pendapat untuk tetap menaikkan upah minimum dengan persentase wajar. Sebab, daya beli pekerja mesti dipertahankan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.
Dialog Dewan Pengupahan Se-Indonesia tentang Hasil Peninjauan Komponen dan Jenis Kebutuhan Hidup Layak (KHL) Tahun 2020 pada 15-17 Oktober 2020 menghasilkan rumusan rekomendasi yang berbeda antara perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) serta perwakilan serikat pekerja dan buruh.
Unsur pengusaha mengusulkan agar upah minimum provinsi (UMP) dan kabupaten/kota (UMK) tahun 2021 bagi perusahaan yang terdampak Covid-19 disamakan dengan UMP dan UMK tahun 2020. Sementara UMP dan UMK 2021 bagi perusahaan yang tidak terdampak Covid-19 ditentukan berdasarkan kesepakatan bipartit di internal perusahaan.
Sebagai gambaran, rata-rata UMP pada 2020 adalah Rp 2,67 juta per bulan. Saat itu, kenaikan hampir 9 persen dibandingkan dengan UMP 2020. Sementara UMK tertinggi pada 2020 antara lain Kabupaten Karawang (Rp 4,59 juta per bulan), Kota Bekasi (Rp 4,58 juta per bulan), Kabupaten Bekasi (Rp 4,49 juta per bulan), dan DKI Jakarta (Rp 4,27 juta per bulan).
”Ketika kondisi usaha sedang seperti ini, bisa bertahan untuk tidak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) saja sudah bagus. Faktor kemampuan perusahaan itu penting untuk diperhitungkan,” kata Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional Adi Mahfudz saat dihubungi di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Menurut dia, jika merujuk pada kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang menurun saat ini, upah minimum bisa saja turun. ”Sebab, bagaimana kalau kita terus-terusan menghadapi deflasi ke depan? Secara otomatis pasti turun. Kita harus realistis melihat hal ini,” katanya.
Ketika kondisi seperti ini, bisa bertahan untuk tidak melakukan PHK saja sudah bagus. Faktor kemampuan perusahaan penting untuk diperhitungkan.
Sementara itu, perwakilan unsur serikat pekerja/buruh mengusulkan agar penetapan UMP 2021 dikembalikan ke dewan pengupahan masing-masing daerah. ”Diskusi di daerah bisa lebih rasional karena yang tahu kondisi riil perekonomian daerah adalah teman-teman di daerah,” kata anggota Dewan Pengupahan Nasional dari unsur serikat pekerja, Mirah Sumirat.
Mirah mengatakan, upah minimum sebenarnya masih dimungkinkan naik. Sebab, meskipun Covid-19 berdampak pada dunia usaha, ada beberapa sektor yang tidak terdampak, bahkan bertumbuh saat pandemi. ”Kami tidak mau ada pengusaha yang aji mumpung memanfaatkan kondisi Covid-19, padahal kondisinya masih sangat mampu,” ujar Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek) itu.
Baca juga : Hak dan Perlindungan Buruh Tercederai
Untuk perusahaan yang terdampak Covid-19, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memungkinkan pengusaha yang tidak sanggup untuk menangguhkan pembayaran upah minimum.
”Kalau kita menggeneralisasi, kasihan pekerja yang perusahaannya sebenarnya mampu. Tidak usah kenaikan yang terlalu tinggi, cukup yang wajar dan rasional. Pekerja juga pasti paham kalau kondisi perusahaannya sedang buruk,” kata Mirah.
Tidak usah kenaikan yang terlalu tinggi, cukup yang wajar dan rasional. Pekerja pasti paham kalau kondisi perusahaannya sedang buruk.
Daya beli
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, secara yuridis, penetapan UMP/UMK 2021 yang akan dilakukan pada 1 November 2020 seharusnya masih mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 mengenai Pengupahan.
Dengan demikian, yang menjadi acuan adalah pertumbuhan ekonomi periode triwulan III-IV 2019 dan triwulan I-II 2020, serta inflasi dari September 2019 sampai September 2020.
”Rata-rata pertumbuhan ekonomi kita dari periode itu masih positif, karena kita baru mengalami pertumbuhan minus di triwulan II-2020. Deflasi juga baru mulai terjadi sejak Juli tahun ini, sebelumnya masih inflasi,” kata Timboel.
Oleh karena itu, menurut Timboel, pemerintah sebenarnya masih dapat menaikkan upah minimum untuk tahun 2021 dengan besaran yang wajar. ”Setidaknya masih bisa naik 2 persen. Kalau tidak naik, upah pekerja akan termakan inflasi dan daya beli akan menurun,” kata Timboel.
Pemerintah sebenarnya masih dapat menaikkan upah minimum untuk tahun 2021 dengan besaran yang wajar.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pimpinan Said Iqbal meminta agar besaran kenaikan upah minimum 2021 sebesar 8 persen.
Menurut Timboel, jalan tengah berupa kenaikan upah minimum secara lebih rasional itu dinilai tidak akan memberatkan pengusaha dan tidak akan merugikan pekerja. ”Kalau daya beli pekerja menurun, bagaimana kita mau mendorong pertumbuhan ekonomi kita tahun depan agar kembali positif? Jangan lupa, konsumsi masyarakat masih jadi andalan pertumbuhan ekonomi,” ucapnya.
RUU Cipta Kerja
Pengesahan RUU Cipta Kerja di tengah momentum penetapan upah minimum juga menjadi faktor lain yang dipertimbangkan. Menurut Adi Mahfudz, penetapan upah minimum bisa mengacu pada ketentuan baru dalam RUU Cipta Kerja, dengan catatan UU sapu jagat itu sudah dinomori, berlaku, dan peraturan turunannya pun sudah rampung.
”Jadi, itu tergantung kondisi. Lebih cepat mana? Kalau RUU Cipta Kerja belum diundangkan, berarti tetap berlaku UU Ketenagakerjaan yang lama dan peraturan turunannya,” katanya.
Namun, ia menambahkan, rancangan peraturan turunan RUU Cipta Kerja sebaiknya tidak dipercepat untuk mengejar momentum penetapan upah minimum. Apalagi, upah minimum sudah harus ditetapkan per 1 November 2020.
”Nanti hasilnya malah tidak optimal. Jangan terlalu terburu-buru. Kita masih bisa mengacu ke UU Ketenagakerjaan jika RUU Cipta Kerja memang belum berlaku,” katanya.
Baca juga : Buruh Bersiap Gugat Formil UU Cipta Kerja
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan, pemerintah mendengarkan berbagai aspirasi untuk merumuskan kebijakan pengupahan yang mengakomodasi semua pihak.
Dalam merumuskan kebijakan, pemerintah akan mempertimbangkan kesulitan buruh memenuhi kebutuhan hidup di tengah pandemi serta kesulitan pengusaha yang kelangsungan usahanya juga terdampak. ”Perlu ada pemahaman dari semua pihak terhadap kondisi ini,” katanya.
Kebutuhan hidup layak
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menaker Nomor 18 Tahun 2020 tentang Kebutuhan Hidup Layak sebagai hasil revisi dari Permenaker Nomor 21 Tahun 2016. Komponen KHL yang semula terdiri atas 60 jenis kini berubah menjadi 64 jenis. Standar KHL terbaru itu akan menjadi acuan untuk formula penentuan upah minimum 2021.
Komponen KHL yang semula terdiri atas 60 jenis kini berubah menjadi 64 jenis. Standar KHL terbaru itu akan menjadi acuan untuk formula penentuan upah minimum 2021.
”Ada KHL yang bertambah, berubah, ada juga yang diperbaiki, antara lain penambahan televisi dan pulsa,” kata Direktur Pengupahan Kemenaker Dinar Titus Jogaswitani.
Sebelumnya, saat konferensi pers, 7 Oktober 2020, Menaker Ida Fauziyah mengatakan, penghitungan upah minimum tetap mengacu pada PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun, menurut dia, penetapan tidak bisa dilakukan secara normal mengingat kondisi pertumbuhan ekonomi yang minus saat pandemi.
”Saran dari Dewan Pengupahan Nasional akan jadi masukan kami untuk menentukan upah minimum 2021. Kalau kita mau memaksakan mengikuti PP Nomor 78 Tahun 2015 dan UU baru (Cipta Kerja), banyak sekali perusahaan yang tidak akan mampu membayar,” ujarnya.