Berselancar di Panggung Pemerintahan
Daya tahan Partai Golkar sukses melewati sejumlah guncangan politik. Perjalanan 56 tahun Partai Golkar menjadikan partai ini sebagai kekuatan politik yang selalu diperhitungkan dalam konstelasi politik di negeri ini.
Perjalanan 56 tahun Partai Golkar adalah sebuah jalur politik yang penuh dinamika. Dari era Orde Baru yang menjadikan partai ini sebagai anak emas, masuk di era Reformasi yang menjadikan partai beringin harus bersaing dan bertahan.
Menjadi bagian dari pemerintah adalah pilihan politik yang mau tidak mau harus diambil sebagai manifestasi dari politik kekaryaan yang melekat dalam diri partai ini.
Hasil Pemilu 2019 yang menempatkan Golkar kembali sebagai partai politik kedua peraih kursi terbanyak DPR membuktikan, partai ini relatif tak mudah goyah dan luntur di tengah terpaan badai politik.
Hal ini membuktikan bahwa Golkar menjadi partai politik yang harus tetap diperhitungkan. Volatilitas dukungan pemilih kepada Golkar menunjukkan, pasar pemilih partai ini mengalami regenerasi.
Bagaimanapun, partai ini telah mengalami regenerasi politik yang panjang. Mulai dari era awal Orde Baru, ia lahir sebagai wujud perlawanan dari ideologi komunis yang pada 1964 menjadi perbincangan dalam jagat kekuasaan politik di Indonesia.
Sampai hari ini, Golkar menjadi institusi politik yang tetap bertahan di tengah guncangan-guncangan yang mengiringi perjalanan sejarah partai berlambang pohon beringin ini.
Bagaimanapun, guncangan politik di Partai Golkar bukanlah hal baru. Mulai dari tuntutan pembubaran, kasus hukum yang menjerat ketua umumnya, sampai konflik internal partai sudah melanda dan menjadi catatan perjalanan panjang Partai Golkar.
Hasil Pemilu 2019 menjadi bukti dan jawaban banyak pihak yang sempat meragukan partai ini bertahan di papan atas. Terlebih, dualisme kepemimpinan Golkar dan kasus hukum yang menjerat ketua umumnya mau tidak mau cukup mengganggu upaya penguatan soliditas dan fokus partai menyiapkan diri menghadapi Pemilu 2019. Hasilnya, terbukti, di tengah guncangan tersebut, Golkar mampu bertahan di posisi kedua secara nasional.
Padahal, opini publik yang digelar jauh sebelum Pemilu 2019 menyebutkan, tren elektabilitas Partai Golkar cenderung menurun. Hal ini tidak lepas dari konflik internal partai yang melahirkan dualisme kepemimpinan, antara kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono ketika itu.
Pada survei Kompas Januari 2015, misalnya, elektabilitas Golkar berada di angka 7,1 persen. Saat itu, Golkar mengambil posisi berseberangan dengan pemerintah, sesuatu yang belum pernah dilakukan Golkar sejak partai ini dilahirkan.
Namun, seiring dengan perkembangan langkah Golkar yang kembali dekat dengan pemerintah, apalagi ketika partai memutuskan mendukung pemerintahan Joko Widodo, elektabilitasnya perlahan naik di angka 11 persen.
Di tengah guncangan politik, Golkar mampu bertahan di posisi kedua secara nasional pada Pemilu 2019.
Namun, elektabilitas Golkar kembali menurun di era Setya Novanto memimpin partai ini. Kasus dugaan pencatutan nama presiden terkait saham PT Freeport, yang melibatkan nama Setya Novanto, sedikit banyak memengaruhi persepsi publik ketika partai ini dipimpinnya. Terbukti, ketika Novanto terpilih menjadi ketua umum, tidak banyak perubahan signifikan dari elektabilitas Golkar, bahkan cenderung menurun.
Langkah Golkar mendukung Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019 pun tidak banyak mendongkrak elektabilitas Golkar. Keterpilihan Golkar merosot di angka 8,3 persen pada Juli 2016, sebulan setelah partai ini menyatakan mendukung Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019.
Kondisi elektabilitas Golkar ini relatif jauh dari perolehan suaranya dalam Pemilu 2014 yang mencapai 14,7 persen. Apalagi, dalam survei terakhir, April 2017, elektabilitas partai kembali merosot, terutama ketika nama sang ketua umum disebut-sebut dalam kasus dugaan korupsi proyek KTP elektronik.
Penetapan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus tersebut sedikit banyak berpengaruh pada partai. Namun, ini bukan pengalaman pertama bagi Golkar.
Setidaknya pengalaman yang sama pernah dialami Golkar ketika sang ketua umum, Akbar Tandjung, terjerat kasus penyelewengan dana nonbudgeter Bulog. Terbukti, saat itu pun kasus Akbar tidak berdampak pada elektabilitas partai. Buktinya, Golkar justru memenangi Pemilu 2004.
Guncangan politik
Kasus Akbar Tandjung bukanlah guncangan politik satu-satunya setelah memasuki era Reformasi. Sebelumnya, di era Reformasi yang sama, Golkar dilihat sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Golkar pun menjadi sasaran kemarahan publik dan dipandang sebagai partai yang layak untuk bertanggung jawab, bahkan dibubarkan, seiring dengan runtuhnya rezim Soeharto.
Guncangan ini dihadapi dengan tegar oleh Golkar. Kepemimpinan Akbar Tandjung menjadi kunci kesuksesan partai melewati guncangan tersebut. Upaya Golkar di bawah kepemimpinan Akbar dengan membawa paradigma baru, yaitu Golkar secara jelas mendeklarasikan diri sebagai sebuah partai, setelah sebelumnya tidak secara formal menyebut diri sebagai partai politik, relatif efektif membuat partai ini bertahan di tengah guncangan.
Politisi Golkar, Rully Chairul Azwar, dalam bukunya, Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009), menyebut, di era Akbar Tandjung ini Golkar mengalami masa sulit. Golkar menjadi musuh bersama dan banyak yang menginginkan Golkar bubar. Rully mengategorikan masa itu sebagai fase bertahan (survival) Golkar.
Menurut Rully, Golkar pun kemudian melakukan adaptasi di masa transisi. Saat itu, partai tersebut mengubah dirinya menjadi partai yang berorientasi pada pasar, dengan istilah Golkar Baru. Di era tersebut, Golkar melakukan riset secara profesional untuk mengetahui aspirasi pasar dan hasilnya dijadikan dasar merancang strategi. Kemudian lahirlah strategi paradigma baru Golkar tersebut.
Guncangan kemudian berlanjut dengan terbitnya dekrit Presiden Abdurrahman Wahid yang salah satu isinya adalah membekukan Partai Golkar (22 Juli 2001). Golkar pun kemudian menentang dekrit presiden ini dengan mengambil langkah meminta fatwa kepada Mahkamah Agung terkait keluarnya dekrit tersebut. MA akhirnya memutuskan dekrit presiden bertentangan dengan konstitusi. Golkar pun kembali selamat dari guncangan ini.
Selanjutnya, guncangan lain kembali menyerang Golkar. Guncangan itu adalah konflik kepengurusan. Terjadi dualisme munas yang menghasilkan dua kepemimpinan antara Golkar kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Hampir dua tahun kondisi ini menjerat partai, yang turut memberikan konstribusi pada penurunan elektabilitas.
Namun, kondisi ini menjadi pelecut bagi Golkar untuk siap menghadapi Pemilu 2019. Terpilihnya Airlangga Hartarto sebagai pengganti Setya Novanto adalah solusi dan jalan tengah bagi upaya menyelamatkan Partai Golkar.
Posisi Airlangga Hartarto, yang ketika itu menjadi Menteri Perindustrian di Kabinet Kerja periode pertama Jokowi, semakin meneguhkan bahwa berada di dalam pemerintahan menjadi kebiasaan politik Partai Golkar. Upaya Golkar di era Aburizal Bakrie untuk menarik diri dari kekuasaan terbukti gagal membawa Golkar untuk lebih baik.
Sosok Airlangga yang makin dekat dengan Jokowi ketika menjadi ketua umum, dan kemudian tetap dipercaya sebagai menteri pada periode kedua Jokowi, menjadi sinyal bahwa Golkar tetap diperhitungkan oleh kekuasaan itu sendiri.
Apalagi, posisi Airlangga Hartarto sebagai Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar tidak menjadi masalah bagi Jokowi.
Padahal, sebelumnya, pada periode pertama pemerintahannya, Jokowi tegas melarang jajaran menterinya merangkap jabatan di kepartaian. Kini, pada periode keduanya, apalagi setelah Airlangga merangkap jabatan, tidak pernah terdengar lagi wacana pelarangan rangkap jabatan tersebut.
Seleksi alam
Keberhasilan Golkar menghadapi guncangan-guncangan politik di atas telah membuktikan, partai ini sudah melewati seleksi alam politik. Mulai dari perubahan tatanan politik di antara rezim kekuasaan yang berbeda sampai pada uji coba membangun pola relasi yang berbeda dengan rezim.
Jika di era Orde Baru selalu menempatkan diri inheren dengan pemerintahan, di era pasca-Reformasi ini, Golkar mengalami pasang surut hubungan dengan pemerintah.
Di era Pemilihan Presiden 2004, calon presiden Golkar kalah. Namun, seiring dengan jalannya pemerintahan, dengan salah satu kadernya, Jusuf Kalla, menjadi wakil presiden dan kemudian menjadi Ketua Umum Golkar, partai ini pun bergabung di pemerintahan.
Berada di dalam pemerintahan menjadi kebiasaan politik Partai Golkar.
Hal yang sama juga terjadi pasca-Pemilihan Presiden 2014. Golkar sebelumnya mengambil posisi di luar pemerintaran. Namun, seiring dengan perkembangan situasi politik, Golkar bergabung bersama pemerintah, bahkan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden yang diusung dalam Pemilihan Presiden 2019.
Boleh jadi itu juga gaya bertahan Golkar dalam menghadapi dinamika politik. Boleh jadi hal ini tidak lepas dari kekuasaan yang relatif menyebar dalam tubuh Golkar. Akibatnya, dinamika di tataran internal partai ini pun relatif lebih dinamis dibandingkan dengan partai besar lain.
Tidak terpusatnya poros dalam Golkar menjadikan partai ini sukses bertahan di berbagai guncangan politik. Pengalaman inilah yang mampu menguatkan daya tahan partai. Apalagi ditambah dengan kemampuannya berselancar selama puluhan tahun sejak berdiri untuk bergabung dalam pemerintahan. (LITBANG KOMPAS)