Semakin padat penduduk di satu tempat, perilaku penghuninya wajib semakin tertib. Sebab, semakin padat penduduk, semakin tinggi risiko gesekan dan konflik sosial.
Oleh
WINDORO ADI
·5 menit baca
Semakin padat penduduk di satu tempat, perilaku penghuninya wajib semakin tertib. Sebab, semakin padat penduduk, semakin tinggi risiko gesekan dan konflik sosial. Apalagi jika hal ini diwarnai dengan persoalan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), serta bermacam tradisi yang masih kental yang dibawa para perantau di permukimannya yang baru dan majemuk.
Perilaku tertib warga membutuhkan aturan main yang jelas, yang tidak memihak, dan melulu demi mencapai harmoni sosial yang sehat dan produktif. Langkah berikutnya, jika aturan main sudah jelas, tidak tumpang tindih, dan tugas-tugas serta koordinasi instansi terkait pun jelas, adalah eksekusi.
Eksekusi sebagai tindakan represif menjadi tindakan terakhir setelah para petugas melewati langkah preemtif atau imbauan dan preventif atau pencegahan. Langkah preemtif dan preventif hanya akan efektif apabila dilakukan secara rutin dan terus-menerus untuk meningkatkan kesadaran bersama.
Sesederhana itukah? Tentu saja tidak. Akan terjadi banyak distorsi dan penyimpangan sejak aturan main dirancang, dibuat, sampai tindakan eksekusi. Ironisnya, faktor yang paling mengganggu justru berasal dari sebagian kalangan elite.
Kaum elite tersebut bisa berasal dari kalangan pemodal, wakil rakyat, para pemimpin daerah, serta pemuka masyarakat dan agama. Dengan uang dan ”otoritas”, mereka sanggup menggerakkan massa, atau bersembunyi di balik aturan main yang ambigu. Dengan dalil-dalil agama yang menyesatkan, mereka mampu merusak tanggung jawab dan tatanan sosial yang sudah bertahun tahun diyakini masyarakat sebagai hal baik.
Pembangkangan sosial
Yang terjadi kemudian adalah pembangkangan sosial. Jadilah mereka para penguasa ”ruang”. Dengan leluasa mereka mengubah peruntukan ruang dan peruntukan lahan. Aturan main menjadi ”macan kertas”. Lalu, mulailah kerusakan sosial dan kerusakan lingkungan yang berujung bencana.
Pembangkangan sosial tersebut bisa bermula dari hal yang dianggap sepele, yang bisa bermula dari individu. Kasus yang terjadi di Perumahan Green Lake City, Cipondoh, Kota Tangerang, misalnya.
Seorang penghuni berinisial TS memarkir belasan mobil di sekitar rumah kontrakannya, seperti disampaikan Kepala Kepolisian Sektor Cipondoh Ajun Komisaris Maulana Mukarom, Sabtu (17/10/2020). Di permukiman itu, TS berdagang mobil bekas. Hal ini membuat warga permukiman menjadi tidak nyaman. Lalu lintas di permukiman pun terganggu.
Warga lalu melaporkan kasusnya ke satuan pengaman (satpam) permukiman. Satpam menegur, TS justru menghardik mereka. TS pun kena pukul.
Seremonial perda
Soal parkir kendaraan sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan atau UU LLAJ dan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan.
Dalam UU itu disebutkan, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan berhenti dan parkir. Jalan yang dimaksud adalah segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan saluran kabel. Yang dimaksud jalan umum adalah jalan bagi lalu lintas umum.
Setiap pengemudi yang melanggar tata cara berhenti dan parkir dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan, atau denda paling banyak Rp 250.000.
Jakarta memiliki perda lebih rinci mengenai hal ini. Pasal 140 Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014 menyebutkan soal penindakan larangan parkir yang bukan pada tempatnya. Untuk mengantisipasi hal tersebut, perda mewajibkan setiap orang atau badan usaha pemilik kendaraan bermotor memiliki atau menguasai garasi.
Tempat terlarang parkir di DKI adalah lokasi sepanjang 6 meter, sebelum dan sesudah tempat penyeberangan pejalan kaki atau tempat penyeberangan sepeda yang telah ditentukan. Lokasi sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah tikungan tajam, dengan radius kurang dari 500 meter.
Lokasi sepanjang 50 meter sebelum dan sesudah jembatan. Lokasi sepanjang 100 meter sebelum dan sesudah pelintasan sebidang. Lokasi sepanjang 25 meter sebelum dan sesudah persimpangan. Sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah akses bangunan gedung, dan sepanjang 6 meter sebelum dan sesudah hidran pemadam kebakaran atau sumber mata air sejenis.
Setelah 15 menit kendaraan parkir di tempat terlarang, petugas yang berwenang di ruang milik jalan atau petugas parkir di luar ruang milik jalan bisa memindahkan kendaraan tersebut dengan kendaraan derek.
Fakta di lapangan menunjukkan, aturan main yang sudah jelas, seperti ditunjukkan Perda DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2014, pun belum berdampak pada ketertiban jalan. Eksekusi penertiban baru sebatas ”acara seremonial” untuk konsumsi media massa. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lain di Tanah Air.
Melibatkan ormas
Pembangkangan sosial kian memburuk manakala melibatkan organisasi massa atau ormas, demonstran, atau kelompok masyarakat bersentimen SARA. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, serta instansi terkait lainnya seperti kehilangan otoritas menegakkan aturan main karena ancaman dan tekanan mereka. Keadaan inilah yang membuat birokrasi di tingkat bawah akhirnya menyerah, berkompromi atau mengizinkan apa yang mereka mau.
Para pembangkang kemudian memaksakan kepentingan mereka, sampai akhirnya mereka saling berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri. Perebutan lahan parkir, perebutan trotoar pedagang kaki lima, perebutan lapak, perebutan jasa pengamanan, dan penagih utang. Perebutan wilayah penutupan jalan lingkungan dan jalan raya untuk digunakan sebagai pasar kaget, panggung hiburan, atau acara hajatan lainnya.
Bayangkan jika hiruk-pikuk pembangkangan sosial tersebut terjadi di permukiman dan sekitar permukiman Anda. Pilihannya, Anda melawan untuk ikut menertibkan atau Anda pindah dari rumah Anda. Tampaknya, Anda akan cenderung memilih pilihan yang terakhir.