Menanti Inovasi Pengelolaan Sampah Kota Mataram
Siapa pun yang terpilih memimpin Kota Mataram ke depan harus bisa menyelesaikan persoalan sampah di kota tersebut. Sebuah pekerjaan rumah besar yang tak kunjung terjawab sejak puluhan tahun silam.
Menjadi ibu kota sekaligus etalase Nusa Tenggara Barat tak lantas membuat Kota Mataram mampu mengelola sampah dengan baik. Sejak tahun 1980-an, ketika masih menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Barat hingga menjadi kota sendiri, persoalan sampah di Mataram menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terjawab.
Jalan Langko hingga Pejanggik di jantung Kota Mataram senantiasa asri. Seperti terlihat pada Senin (12/10/2020), jalanan dinaungi pohon kenari tua dan mahoni yang rindang, juga bersih tanpa sampah.
Jika pun ada sampah, hanya dedaunan kering dari kenari dan mahoni. Sulit menemukan sampah lain, seperti plastik atau sejenisnya. Apalagi, setiap hari, petugas rutin membersihkannya. Kondisi serupa juga bisa kita temukan di jalan-jalan protokol lain di kota berpenduduk 486.715 jiwa itu.
Bagi mereka yang baru pertama kali berkunjung Mataram dan hanya melintasi jalur protokol tersebut, besar kemungkinan berpikir bahwa kota yang berada 32 kilometer barat laut Bandara Lombok itu memang demikian adanya. Asri, bersih, dengan pengelolaan sampah yang baik.
Sayangnya, jika berbelok dari jalan-jalan protokol itu, lalu masuk ke jalan-jalan lingkungan yang ada, justru terlihat sebaliknya. Sampah dalam berbagai bentuk, baik yang organik maupun anorganik, bisa didaur ulang atau tidak, akan sangat mudah ditemukan.
Di pinggir jalan, sampah-sampah yang tidak terangkut, baik dalam tumpukan maupun dalam plastik-plastik yang sengaja diletakkan warga, juga mudah ditemukan. Kadang berceceran ke badan jalan, termasuk di tempat pembuangan sampah sementara.
Jika menengok ke sungai-sungai yang membelah kota, juga kali-kali hingga selokan, jumlahnya bisa lebih banyak. Terutama yang berada di permukiman-permukiman padat penduduk.
Baca juga: Dicari, Penakluk ”Gunung Sampah” di Manado
Hal serupa juga ditemukan di ruang-ruang publik. Taman kota yang seharusnya tertata, kawasan wisata, hingga tumpukan sampah belasan pasar tradisional karena terbatasnya area penampungan. Sungguh tidak sedap dipandang mata. Di lokasi-lokasi itu, tidak sedikit bekas-bekas pembakaran yang jadi solusi tercepat bagi warga.
Kondisi itu berlanjut hingga pinggiran dan perbatasan kota. Tempat pembuangan sampah liar ada di mana-mana. Memanfaatkan lahan-lahan kosong tak terbangun. Warga tetap membuang di sana meski spanduk besar meminta larangan membuang sampah sudah ditempel.
Pemandangan itu tidak hanya dijumpai di satu kecamatan, tetapi di enam kecamatan di Kota Mataram, yakni Ampenan, Cakranegara, Mataram, Sandubaya, Sekarbela, dan Selaparang.
”Melihat sampah di mana-mana, tidak hanya di sungai, tetapi kadang di jalan, sangat membuat tidak nyaman,” kata Firdi Ramadhan, warga Monjok, Kecamatan Selaparang.
Klasik
Kota Mataram sejak dulu memang berhadapan dengan persoalan sampah. Menjadi klasik dan tak kunjung selesai. Kompas mencatat, sejak tahun 1980-an, ketika Mataram masih menjadi kota administratif di bawah Kabupaten Lombok Barat, sampah jadi sorotan.
Tidak hanya persoalan keterbasan fasilitas yang membuat lambatnya penanganan sampah, tetapi juga menyangkut kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah sembarangan.
Melihat sampah di mana-mana, tidak hanya di sungai, tetapi kadang di jalan, sangat membuat tidak nyaman.
Mendiang Wali Kota Mataram Lalu Mudjitahid, pada 1981, menyebut permasalahan sampah sebagai satu hal yang serius. Ia kemudian menetapkan sejumlah ketentuan tentang tata cara pembuangan sampah, seperti diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Barat Nomor 5 Tahun 1974 tentang Kebersihan Kota di Wilayah Kota Administratif Mataram.
Lalu Mudjitahid kala itu, sesuai perda tersebut juga memberlakukan denda Rp 2.000 jika membuang sampah sembarangan atau hukuman kurungan tujuh hari (Kompas, 3 Februari 1981).
Tidak tuntas
Meski puluhan tahun berlalu, ternyata Mataram tak juga bisa menyelesaikan persoalan sampah. Penanganan sampah di kota yang pada 31 Agustus 2020 lalu berulang tahun ke-27 itu masih jauh dari tuntas.
Saat ini, menurut data Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram, per hari, rata-rata produksi sampah di kota itu mencapai 500 ton. Pada waktu tertentu, bisa mencapai 1.000 ton per hari.
Dalam sebulan, volume sampah dari Kota Mataram mencapai antara 23.000 hingga 24.000 ton. Dengan hitungan itu, jumlah volume dalam satu tahun bisa mencapai sekitar 300.000 ton per tahun.
Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram M Nazaruddin Fikri, penanganan sampah di Mataram mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah. Serta turunannya berupa peraturan wali kota.
Baca juga: Masih dalam Zona Merah, Kota Mataram dan Lombok Barat Jadi Perhatian
Sesuai perda dan perwali itu, penanganan sampah dilakukan dari hulu ke hilir dengan pembagian pengangkutan sampah rumah tangga hingga tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) dilakukan oleh pihak kecamatan dan kelurahan. Sementara dari TPST ke tempat pembuangan akhir (TPA) oleh dinas lingkungan hidup. Termasuk sampah di jalan.
Tidak hanya terkait pengangkutan, termasuk hak dan kewajiban pihak-pihak terkait, perda itu juga mengatur tentang sanksi administratif berupa denda. Denda itu berlaku baik bagi perorangan, pengelola fasilitas umum, maupun pelaku usaha hingga produsen.
Denda untuk perorangan mulai dari Rp 100.000 hingga Rp 1.000.000. Adapun bagi produsen atau pelaku usaha maksimal Rp 50 juta hingga pencabutan izin usaha.
Program terkait sampah juga dilakukan. Seperti Lingkungan dengan Sampah Nihil (Lisan). Mataram juga menjadi salah satu fokus dalam pelaksanaan program Zero Waste dari Pemerintah Provinsi NTB.
Praktisi lingkungan yang juga pengelola bank sampah NTB, Aisyah Odist, mengatakan, memang sudah ada upaya dari Pemerintah Kota Mataram. Perda, penyediaan fasilitas, dan program-program terkait.
”Ada semua. Dibuatkan semua, tetapi tidak tuntas,” kata Aisyah.
Ketidaktuntasan itu, menurut dia, karena penanganan sampah belum menjadi prioritas. Akibatnya, meski telah ada perda dengan sanksi, tidak ditegakkan. Begitu juga penanganan sampah. Pengangkutan telah dilakukan dari kelurahan-keluarahan, lingkungan-lingkungan, tetapi hanya sebatas itu. Penyelesaian di hulu tidak dilanjutkan hingga hilir.
Inovasi tidak muncul karena penanganan sampah dinilai belum menjadi prioritas pemerintah kota. Oleh karena itu, Aisyah menantang, siapa pun yang nanti terpilih memimpin Kota Mataram, menyelesaikan persoalan sampah.
”Kami menunggu inovasi kreatif, ide baru terbarukan. Dengan demikian, orang tidak sekadar datang membuang sampah, tetapi juga ada alasan lain,” kata Aisyah.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB Murdani juga menilai penanganan sampah di Kota Mataram tidak tuntas. Menurut Murdani, sampah adalah salah satu dari tiga persoalan besar yang berdampak pada lingkungan di Mataram. Dua lainnya adalah tata ruang kota yang masih banyak pelanggaran dan minimnya ruang terbuka hijau.
Terkait sampah, kata Murdani, baru sekitar 55 persen dari seluruh sampah setiap hari di Mataram yang bisa ditangani. ”Terlebih, instansi terkait terjebak pada paradigma teknis saja, seperti menjadi pengangkut sampah. Namun, tidak banyak menggerakkan pemberdayaan dan pengelolaan yang partisipatif,” kata Murdani.
Murdani menambahkan, Kota Mataram telah memiliki perda pengelolaan sampah, tetapi tidak jalan. ”Perda itu mandul. Semua terjebak pada urusan teknis angkut ke TPA saja dan menyedot banyak anggaran. Sementara peran serta atau partisipasi masyarakat tidak banyak dilakukan,” kata Murdani.
Kumpul-angkut-buang
Fikri mengatakan, pengelolaan sampah di Kota Mataram sulit dilakukan. Itu, antara lain, karena keterbatasan anggaran, personel, dan peralatan.
Saat ini, kata Fikri, sistem yang digunakan dalam pengelolaan sampah di Kota Mataram memang hanya kumpul-angkut-buang. Mengumpulkan dari rumah tangga atau lingkungan, diangkut kemudian dibuang di tempat pembuangan akhir (TPA) Kebon Kongok, Gerung, Lombok Barat.
Perda itu mandul. Semua terjebak pada urusan teknis angkut ke TPA saja dan menyedot banyak anggaran. Sementara peran serta atau partisipasi masyarakat tidak banyak dilakukan.
Dengan pertambahan jumlah penduduk yang berbanding dengan peningkatan jumlah sampah, pola itu tidak bisa terus dilakukan. Harus ada teknologi yang diterapkan, misalnya, waste to energy atau konversi sampah menjadi energi. Itu belum diadopsi oleh Mataram.
”Memang mahal. Akan tetapi, kalau ingin memutus rantai persampahan, harus dilakukan. Tidak harus dari yang besar, bisa yang kecil dulu,” kata Fikri.
Menurut Fikri, wacana ini memang telah muncul dari wali kota sekarang. Akan tetapi, karena kendala Covid-19, mereka tidak bisa langsung melihat teknologi itu di luar negeri.
”Jadi, sekarang, itu yang ingin didengar warga dari kandidat-kandidat wali kota. Bagaimana arah pengelolaan sampah di Mataram. Tidak mungkin kita terus terusan membuat bukit sampah, lalu memindahkan lagi,” kata Fikri.
Menurut Fikri, konversi menjadi langkah yang paling tepat. Apalagi, penegakan perda juga tidak bisa maksimal dilakukan. Tidak hanya butuh pelapor untuk menjadikannya pidana, tetapi juga harus ada saksi-saksi.
Langkah lain, seperti composting juga menurut dia bisa diterapkan. Namun, itu tidak bisa dilakukan secara keseluruhan karena banyaknya sampah yang diproduksi setiap hari. Begitu juga dengan program-progam lain yang masih berjalan saat ini.
Pendidikan
Terkait itu, Aisyah justru menekankan pentingnya pendidikan terkait sampah. ”Kadang, saya melihat orang menyapu di depan rumahnya saja. Kemudian, masuk gorong-gorong. Itu artinya dia hanya bicara kepentingan diri sendiri. Butuh pendidikan untuk membentuk kepedulian itu,” kata Aisyah.
Menurut Aisyah, jika bicara aset seperti barang, pasti semakin lama akan rusak. Namun, pendidikan sebaliknya. ”Jika menjadi prioritas, dengan pendidikan lima tahun ke depan, orang sudah sadar. Mereka sudah bisa menggunakan kembali, memilih, mengolah,” kata Aisyah.
Aisyah mengakui bahwa pendidikan terkait sampah bukan isu seksi. Akan tetapi, harus didorong. Rumah tangga, misalnya, sudah harus diajarkan mengolah sampah organik sendiri. Kemudian sampah lain, seperti botol plastik, bungkus kopi, gula, dan kebutuhan rumah tangga lain bisa ditabung di bank sampah yang jumlahnya terus bertambah.
”Paling yang tersisa pembalut. Kalau hitung persentasenya, berarti 80 persen sampah tidak keluar dari rumah. Hanya 20 persen,” kata Aisyah.
Dengan cara seperti itu, setiap hari truk akan mengangkut sampah sesuai kapasitasnya. Tidak dipaksakan berlebih setiap hari. Kontrolnya juga akan semakin bagus. ”Jadi, truk yang biasanya dalam beberapa tahun rusak karena dipaksakan bebannya bisa berusia lebih lama. Tentu akan ada penghematan dari sisi anggaran,” kata Aisyah.
Wali kota terpilih, kata Aisyah, bisa mendorong pendidikan tentang lingkungan hidup ke sekolah-sekolah, salah satunya menjadi sebagai bagian dari muatan lokal. Intervensi itu perlu mengingat selama ini ia juga kesulitan untuk mengakses sekolah-sekolah dalam rangka memberi sosialisasi tentang sampah.
Lastri Humaini (37), warga Mataram yang menilai pengelolaan sampah sudah lebih baik, setuju jika budaya disiplin membuang dan memilih sampah harus ditanamkan sejak dini.
”Di beberapa tempat masih saja sampah ini menjadi masalah utama. Di beberapa ruas jalan kecil orang orang masih dengan entengnya membuah sampah rumah tangganya. Penggiat zero waste makin banyak, tetapi tidak selaras dengan kehidupan masyarakat bawah yang memang tidak acuh tentang sampah,” kata Lastri.
Menurut Lastri, pekerjaan rumah adalah bagaimana kemudian urusan sampah ini menjadi kurikulum di sekolah sejak pendidikan anak usia dini sampai sekolah lanjutan. Itu karena yang susah adalah mengubah kebiasaan dan paradigma pembuang sampah.
Terkait itu, Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram memang telah melaksanakan Sekolah Lisan. Kepala Seksi Penegakan Hukum Dinas Lingkungan Hidup Kota Mataram Made Wibisana Gunaksa mengatakan, telah melaksanakan Sekolah Lisan. Kegiatan yang difokuskan pada pendirian bank sampah di sekolah itu telah berjalan di 30 sekolah di kota Mataram. Hanya saja, jumlahnya masih terbatas.
Melihat masih banyaknya persoalan penanganan sampah, siapa pun yang terpilih memimpin kota Mataram harus bisa menghadirkan jawaban.
Pilkada
Dengan banyaknya persoalan pengelolaan sampah, siapa pun yang terpilih memimpin Mataram harus menghadirkan solusi. Dalam pemungutan suara Pilkada Kota Mataram, 9 Desember 2020, empat pasangan akan bersaing memperebutkan suara rakyat. Mereka adalah Mohan Roliskana-Tuan Guru Haji (TGH) Mujiburrahman, Lalu Makmur Said-Badruttamam Ahda, Putu Selly Andayani-TGH Abdul Manan, dan Baihaqi-Baiq Diyah Ratu Ganefi.
Mohan Roliskana merupakan Wakil Wali Kota Mataram selama dua periode bersama Wali Kota Ahyar Abduh. Sementara TGH Mujiburrahman adalah ulama sekaligus anggota DPRD Kota Mataram. Mereka diusung Partai Golkar, Partai Nasdem, dan PPP.
Kandidat berikutnya, Lalu Makmur Said, merupakan mantan Sekretaris Daerah Mataram. Adapun pasangannya, Badruttamam Ahda, merupakan anak Ahyar Abduh, Wali Kota Mataram saat ini. Mereka diusung Partai Gerindra, Partai Berkarya, PKB, dan PKPI.
Sementara calon wali kota Putu Selly Andayani sebelumnya merupakan aparatur sipil negara yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan, Anak, dan Keluarga Berencana Provinsi NTB. Pasangannya, Abdul Manan, merupakan ulama, dosen, sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Mataram. Pasangan ini diusung dua partai, yakni PDI-P dan PKS.
Adapun kandidat Baihaqi merupakan seorang pengusaha yang memiliki pengalaman sebagai Ketua Ikatan Arsitek Indonesia NTB. Pasangannya, Baiq Diyah, pernah terpilih sebagai anggota DPD dari daerah pemilihan NTB. Mereka diusung Partai Demokrat, PAN, dan Partai Hanura.
Di luar persoalan sampah, pemimpin Kota Mataram ke depan juga dihadapkan pada problem yang tak kalah kompleks, yakni penanganan Covid-19 dan dampak ikutannya. Inovasi jitu pun dinantikan.