Mencermati Proyek Biodiesel
Tanpa melakukan transformasi, Pertamina akan mengulang nasib yang sama menjadi pembeli BBM dari para ”trader”, tetapi tak diberi akses oleh negara mengontrol sektor hulu.
Dalam berbagai pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo menyampaikan, pemerintah sedang membangun kemandirian energi dengan mengembangkan energi biofuel (minyak sawit) B20 dan B30 menjadi bahan bakar minyak.
Setelah sukses menerapkan kebijakan penggunaan biodiesel berupa acid methyl ester (FAME) dari minyak sawit 20 persen dan minyak diesel (B20) 80 persen, mulai awal Januari 2020, pemerintah meningkatkan penggunaan biodiesel menjadi 30 persen dan minyak diesel 70 persen (B30).
Jika diimplementasikan dengan baik, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi B50. Penggunaan minyak diesel kemudian menjadi lebih kecil dan menghemat anggaran negara sebesar Rp 110 triliun (produksi B30 9,5 juta kiloliter). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2018 tentang kewajiban menggunakan biodiesel bagi sektor non-subsidi, seperti transportasi tambang, kereta api, dan alat berat.
Jika diimplementasikan dengan baik, secara bertahap akan ditingkatkan menjadi B50.
Pengembangan biodiesel menimbang tiga hal. Pertama, energi alternatif. Biodiesel menjadi energi baru terbarukan dan ramah lingkungan. Semua negara membutuhkan energi baru terbarukan (renewable energy) karena energi fosil berkurang, sementara konsumsi energi terus meningkat. Maka, diperlukan bahan bakar nabati. Sawit merupakan renewable energy karena, jika habis, bisa ditanam lagi (endless resource).
Kedua, mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Produksi minyak nasional terus menurun seiring eksplorasi lapangan minyak sejak zaman Orde Baru hingga sekarang. Lapangan-lapangan minyak kita sudah tua dan sulit menaikkan produksi.
Baca juga: Optimisme Iringi Perbaikan Produksi Minyak Siap Jual
Jika ingin menaikkan produksi, Pertamina harus mencari ke laut dalam (depth water) atau ekspansi ke luar negeri dengan biaya investasi besar. Penurunan produksi minyak berdampak pada peningkatan impor BBM, seperti bensin, solar, dan diesel. Ini pemicu defisit neraca perdagangan.
Ketiga, paradigma pengolahan. Indonesia memasuki era baru, dari menjual bahan baku mentah dengan harga murah menuju industri pengolahan, termasuk pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel agar ada nilai tambah ekonomi. Pengolahan sawit menjadi biodiesel mendesak di tengah penurunan harga sawit akibat kampanye negatif parlemen Eropa yang ujungnya berimbas pada menurunnya pendapatan produsen dan penerimaan negara. Pertanyaannya adalah siapa yang diuntungkan dari program biodiesel?
Kolusi kuota
Sektor kelapa sawit Indonesia berbeda dengan industri pertambangan mineral atau minyak dan gas. Di pertambangan mineral, kepemilikan lahan dimonopoli korporasi-korporasi asing, swasta nasional, dan negara. Naik turun produksi bahan tambang dan penerimaan dari sektor tambang tergantung dari kinerja korporasi.
Di sektor energi pun demikian. Lapangan-lapangan migas berskala kecil-besar dioperatori perusahaan negara (Pertamina), swasta nasional, dan asing. Minyak hasil eksplorasi korporasi nasional-asing dibeli Pertamina untuk diolah di kilang menjadi BBM (bensin, solar, avtur, dan diesel).
Di pertambangan mineral, kepemilikan lahan dimonopoli korporasi-korporasi asing, swasta nasional, dan negara.
Struktur kepemilikan seperti itu berbeda dengan sawit. Sejak zaman Orde Baru sampai sekarang, kepemilikan lahan sawit tidak sepenuhnya dimonopoli korporasi. Petani swadaya memiliki lahan besar. Data Kementerian Pertanian (2018) menunjukkan, jumlah petani sawit mencapai 2,6 juta keluarga.
Total semua lahan sawit mencapai 14,3 juta hektar; korporasi swasta mengontrol 54 persen (7,7 juta hektar), perusahaan negara 7 persen (715.000 hektar), dan petani swadaya mengontrol 41 persen (5,8 juta hektar). Lahan besar tentu sejalan dengan kinerja produksi.
Baca juga: Indonesia Genjot Produksi Sawit Berkelanjutan
Produksi sawit korporasi swasta mencapai 26,5 juta ton (51 persen), perusahaan negara 2,5 juta ton (6 persen), dan perkebunan rakyat 14 juta ton (33 persen). Produktivitas swasta 4.070 kilogram per hektar, perusahaan negara 3.681 kilogram per hektar, dan produktivitas petani 3.006 kilogram per hektar.
Dengan begitu, petani sawit memiliki andil besar mendorong produksi minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan pertumbuhan ekonomi. Jika saja diperhatikan serius, perkebunan sawit rakyat bisa menjadi tumpuan penerimaan negara dan menjadi penopang di sektor hulu dalam mendorong program biodiesel berkelanjutan. Sawit untuk pengolahan biodiesel semestinya tidak hanya dipasok dari produsen biodiesel yang sudah ditentukan kuotanya oleh negara, tetapi juga petani swadaya.
Namun, realitasnya berbeda. Nasib petani sawit dan korporasi berbeda. Kebijakan biodiesel lebih banyak menyasar korporasi sawit. Korporasi selalu diberi infrastruktur politik oleh negara melalui kebijakan publik. Dalam kaitan dengan biodiesel, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan hanya memberi kuota kepada 18 perusahaan sawit.
Ratusan perusahaan kecil dan petani sawit tak menentu nasibnya, apakah bisa menjual sawit ke 18 korporasi di atas atau tidak. Ruang bagi petani menjual sawit ke korporasi sangat kecil karena korporasi-korporasi yang mendapat kuota sudah menguasai sawit hulu-hilir.
Tak ada lelang terbuka dalam penentuan kuota. Pemberian kuota biodiesel sama seperti penentuan kuota impor bawang putih dan kuota lainnya. Nuansa kolusi dalam pemberian kuota sangat kental karena sangat tak transparan, sehingga ada satu dua korporasi besar yang mendapat kuota begitu besar.
Ratusan perusahaan kecil dan petani sawit tak menentu nasibnya, apakah bisa menjual sawit ke 18 korporasi di atas atau tidak.
Pemerintah hanya beralasan, pemberian kuota kepada 18 perusahaan lebih karena kesiapan infrastruktur berupa pabrik biodiesel. Padahal, di lapangan, korporasi-korporasi ini ada yang baru membangun kilang biodiesel.
Jika korporasi-korporasi ini sudah siap, mengapa pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit memberikan insentif berupa dana besar kepada mereka untuk pengembangan bisnis dan biodiesel? Tahun 2017, misalnya, Wilmar Group dapat Rp 4,16 triliun dan Musim Mas Rp 1,54 triliun.
Baca juga: Dilema Produksi Solar Nabati
Padahal, korporasi-korporasi besar ini sudah banyak mengeruk untung dari pengolahan sawit. Jika digabung, pendapatan tujuh perusahaan sawit yang dapat kuota (Sinarmas Agro, Astra Agro Lestari, Salim Ivomas, Sampoerna Agro, Tunas Baru Lampung, Eagle High Plantation, dan Dharma Satya Nusantara) Rp 42,1 triliun tahun 2019.
Tanpa diberi insentif dan dana dari negara, korporasi-korporasi besar ini bisa melakukan ekspansi bisnis, termasuk mengembangkan pabrik biodiesel. Korporasi harus pandai membaca pergerakan pasar dan paradigma sawit ke depan, bukan menjual dalam bentuk mentah, melainkan harus diolah menjadi biodiesel atau minyak goreng.
Akses mudah dari negara kepada korporasi-korporasi biodiesel tidak hanya dana, tetapi juga buyer (pembeli). Kekuatan lobi membuat mereka dengan mudah mendapat pasar. Di mana-mana orang berbisnis harus berkompetisi merebut pasar. Namun, perusahaan-perusahaan ini, tanpa susah-susah promosi, pasarnya sudah ada.
Baca juga: Petani Berharap Insentif dari Program Biodiesel
PT Pertamina adalah pembeli terbesar biodiesel. Tahun 2020, Pertamina mendapat jatah pembelian biodiesel dari korporasi 8,3 juta kiloliter, sisanya dibeli AKR Corporindo (498.683 kiloliter) dan Exxonmobi Lubricants (139.631 kiloliter). Pertamina dipaksa menjadi pembeli biodiesel korporasi-korporasi besar.
Pertamina dipaksa menjadi pembeli biodiesel korporasi-korporasi besar.
Ini mengingatkan publik pada Pertamina yang membeli BBM dari trader-trader minyak yang bermain di PT Pertamina Energi Trading (Petral). Pertamina butuh bensin, solar, dan diesel untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Trader-trader itu menjual BBM kepada Pertamina dengan harga tinggi. Pola ini membuat Pertamina tak mampu membangun kilang domestik untuk memproduksi bensin dan solar.
Jika tidak dikritisi, mafia bisa bermain melalui kebijakan kuota biodiesel. Ini lebih berbahaya karena negara membuat kebijakan. Pemerintah tak memiliki political will agar Pertamina membangun diversifikasi bisnis di sektor hilir dengan cara memproduksi biodiesel, bensin, solar, dan avtur sendiri.
Pertamina mestinya membangun pabrik biodiesel, bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan negara dan petani swadaya, sehingga harga tak ditentukan produsen dan negara tak merugi. Sampai kapan pun Pertamina kalau begini model bisnisnya tidak akan berubah, tetap menjadi inang bagi benalu-benalu korporasi. Ini semua terjadi karena lobi-lobi politik korporasi.
Masih ada hal serius lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Pasar biodiesel belum siap menerima perubahan bahan bakar yang akan digunakan. Di industri otomotif, misalnya, kehadiran B20 justru meningkatkan risiko kerusakan pada beberapa komponen pembakaran mesin diesel menggunakan solar. Tanpa ada evaluasi atas program B20, risiko serupa bisa terjadi pada pengembangan B30 atau B50.
Penyerapan terhadap produk B20 dan B30 juga masih sangat rendah. Hanya beberapa perusahaan, seperti PT Pertamina menjadi penyerap B20 dan B30. Suplai yang besar dengan tingkat permintaan yang kecil akan menyebabkan harga produk turunan akan jatuh.
Penyerapan terhadap produk B20 dan B30 juga masih sangat rendah.
Belum lagi jika mencermati kebijakan pemerintah yang akan mempercepat produksi dan penggunaan mobil listrik, panas bumi (geothermal), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Kehadiran energi alternatif dan ramah lingkungan ini juga membuat pasokan energi bertambah dan pasar biodiesel berpotensi tertekan.
Baca juga: Transisi Menuju Energi Bersih
Pandemi Covid-19 yang menyebar ke seluruh dunia memberi pelajaran berharga bagi perekonomian dunia dan nasional. Pandemi jangan hanya dibaca dari kacamata ekonomi, tetapi lebih luas lagi ke perspektif lingkungan hidup yang selalu diabaikan dalam setiap derap langkah kemajuan.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam laporan 2020 menunjukkan, risiko kerusakan lingkungan akibat industrialisasi sangat besar. Revolusi industri dengan kemajuan teknologi terbukti tak mampu meminimalkan risiko kerusakan lingkungan. Siklus pertumbuhan akan terkoreksi jika tak memperhitungkan aspek lingkungan.
Ekspansi lahan sawit untuk mendorong program biodiesel berupa B20 dan B30 tentu berdampak besar bagi lingkungan. Ekspansi sawit merusak lingkungan karena kebun sawit dibangun dengan membabat jutaan hektar hutan primer. Memusnahkan jutaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati dan pada keseimbangan ekosistem. Jika pemerintah tidak membuat kalkulasi tepat terkait dengan pengembangan biodiesel, bukan tak mungkin risiko kerusakan lingkungan semakin besar.
Keterlibatan petani
Pemerintah perlu memberikan mandat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan milik negara (BUMN) membeli hasil produksi kelapa sawit dari petani swadaya dengan harga sawit yang diatur. Jangan menggunakan harga CPO global, tetapi harga hasil valuasi untuk produk-produk turunan biodiesel.
Petani swadaya harus dilibatkan dalam menghasilkan produk turunan biodiesel dengan memberikan subsidi alat produksi, transfer knowledge dari perusahaan dan pemerintah. Pemerintah juga boleh memberlakukan aturan semacam domestic market obligation di perusahaan tambang untuk diberlakukan bagi perusahaan-perusahaan penerimaan kuota untuk membeli 30-40 persen sawit dari petani untuk pengolahan biodiesel.
Petani swadaya harus dilibatkan dalam menghasilkan produk turunan biodiesel dengan memberikan subsidi alat produksi, transfer knowledge dari perusahaan dan pemerintah.
Selain itu, Pertamina juga perlu bekerja sama dengan petani sawit. Pertamina membangun pabrik biodiesel, sementara petani sawit dan perusahaan-perusahaan perkebunan negara menjadi penyedia di hulu. Transformasi bisnis Pertamina di hilir perlu dipikirkan serius agar tak hanya menjadi pembeli di sektor hilir. Pertamina harus menjadi pemain utama agar mampu berkompetisi.
Tanpa melakukan transformasi, Pertamina akan mengulang nasib yang sama menjadi pembeli BBM dari para trader atau seperti PLN yang hanya bertugas membeli batubara dari perusahaan-perusahaan batubara, tetapi tak diberi akses oleh negara mengontrol sektor hulu.
Ferdy Hasiman, Peneliti pada Alpha Research Database, Indonesia