Meningkat, PMI Ilegal Asal NTT yang Meninggal di Luar Negeri
›
Meningkat, PMI Ilegal Asal NTT...
Iklan
Meningkat, PMI Ilegal Asal NTT yang Meninggal di Luar Negeri
Pekerja migran Indonesia ilegal asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal di luar negeri terus meningkat. Dalam tiga pekan terakhir, sembilan jenazah dikirim melalui Bandara El Tari, Kupang.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Jumlah pekerja migran Indonesia ilegal asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal di luar negeri terus meningkat. Dalam tiga pekan terakhir, ada sembilan jenazah dikirim melalui Bandara El Tari, Kupang, sehingga total PMI ilegal meninggal menjadi 70 orang.
Kepala Bidang Perlindungan dan Pemberdayaan Balai Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Nusa Tenggara Timur (NTT) Timotius Kopong Suban, di Kupang, Selasa (20/10/2020), mengatakan, kasus kematian PMI Ilegal asal NTT bukan hal baru. Pada 2018, terdapat 273 kasus kematian, merupakan yang tertinggi sejak kematian TKI NTT di luar negeri periode 2000-2020.
Pada Mei 2020 masih ada 10 PMI ilegal dari Flores Timur masuk Semporna. Namun, sekarang Pemerintah Malaysia sudah sangat ketat menerima warga asing ilegal karena takut para pendatang itu membawa Covid-19. (Stefanus Ola)
Menurut Kopong Suban, berdasarkan data Januari-September 2020, terdapat 61 kasus, tetapi pada pekan ketiga Oktober bertambah 9 kasus sehingga total PMI yang meninggal di luar negeri 70 orang. Korban terakhir meninggal pada 18 Oktober 2020 di Sarawak, Malaysia Timur, atas nama Otniel Natonis (49), warga Soe, Timor Tengah Selatan. Ia diduga meninggal akibat serangan jantung.
Kopong Suban mengatakan, keberangkatan PMI asal NTT secara ilegal masih terjadi, padahal Pemerintah Provinsi NTT telah menerbitkan moratorium pengiriman TKI ke luar negeri awal Januari 2019.
Mereka menjadikan Malaysia sebagai lahan hidup karena tekanan ekonomi di daerah asal. Alasan bekerja di luar negeri secara ilegal, antara lain, karena terbatasnya lapangan kerja di dalam negeri, kekeringan, dan rawan pangan. Menjadi PMI ilegal ditempuh meski menghadapi risiko kematian.
Sebanyak 70 PMI ilegal yang meninggal ini sempat didata dan dikirim ke pihak Kedutaan Besar RI di luar negeri, seperti Malaysia. Namun, masih cukup banyak PMI ilegal asal NTT yang dimakamkan secara diam-diam di Malaysia oleh anggota keluarga dan kerabat atau dikirim ke NTT tanpa sepengetahuan BP3TKI.
Stefanus Ola (32), warga Lewoleba, Lembata, yang saat ini menjadi pekerja migran ilegal di Semporna, Malaysia Timur, melalui pesan singkat mengatakan, dirinya telah menguburkan Yosefina Ose (64), mama kandungnya, di kamp penampungan, dekat lahan kelapa sawit, sekitar 80 kilometer dari kota Semporna.
Puluhan tahun
Ayah Stefanus Ola, Markus Ola, meninggal di lokasi yang sama pada 2001. Ia mengaku, kematian kedua orangtuanya itu tidak dilaporkan ke Konsulat Jenderal RI di Tawau, Malaysia Timur. Stefanus Ola pun berstatus pekerja migran ilegal sejak 20 tahun lalu. Ia datang ke Malaysia bersama kedua orangtuanya saat masih berusia 12 tahun. Kini, ia bekerja di perkebunan sawit.
”Kami sudah puluhan, bahkan ratusan, tahun menetap sebagai pendatang haram di Malaysia, jika meninggal dunia dikuburkan di tanah ini. Kalau suatu saat kami pulang, tulang-tulang kami ambil, dibawa ke kampung asal untuk dikuburkan di sana,” katanya.
Ia mengatakan tidak pernah terdata berapa jumlah WNI yang meninggal dan dimakamkan di Malaysia. Peristiwa kematian itu hanya diketahui anggota keluarga dan warga sekitar. Membawa jenazah pulang jauh lebih membebani anggota keluarga yang masih berada di Malaysia terkait biaya kepulangan dan status mereka sebagai pendatang ilegal.
Bekerja sebagai PMI ilegal, Ola dan kawan-kawan selalu tidak aman. Mereka tetap berada di perkebunan sawit. Pergi ke Semporna pun melalui jalur ”tikus” agar tidak terpantau aparat Kepolisian Kerajaan Malaysia.
Namun, pekerja migran ilegal asal NTT ini terus berdatangan. ”Bulan Mei 2020 masih ada 10 PMI ilegal dari Flores Timur masuk Semporna. Tetapi, sekarang Pemerintah Malaysia sudah sangat ketat menerima warga asing ilegal karena takut para pendatang itu membawa Covid-19,” kata Ola.
Tidak semua gagal
Tidak semua PMI ilegal NTT gagal mengadu nasib di Malaysia. Dari ribuan orang itu, sebagian besar dari mereka termasuk sukses sehingga mampu menata ekonomi rumah tangga di NTT. Mereka bahkan mampu membiayai pendidikan anak sampai ke perguruan tinggi, membangun rumah layak huni, perabot rumah tangga seperti parabola, kendaraan bermotor, serta mengembangkan usaha kios dan toko setelah menjadi TKI ilegal ini.
Koordinator Buruh Migran NTT Maria Hingi mengatakan, 25 PMI ilegal asal NTT mendarat di Bandara El Tari, Kupang, Senin (19/10/2020), diantar pihak Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Wilayah Surabaya, Jawa Timur.
Mereka bekerja di sejumlah perusahaan di Malaysia Barat secara ilegal atau tidak memiliki dokumen keimigrasian sehingga ditangkap Kepolisian Diraja Malaysia dan kemudian ditahan selama beberapa bulan, lalu dideportasi ke NTT melalui Surabaya.
Selama di Surabaya, mereka ditangani BP2MI Surabaya, kemudian diantar ke Kupang dengan pesawat Lion Air. Sebanyak 25 PMI ilegal itu diterima petugas BP3TKI NTT, kemudian diantar ke daerah masing-masing.
”Biaya kepulangan dari Surabaya ke Kupang ditanggung BP2MI, sementara dari Kupang ke kampung asal masing-masing ditanggung BP3TKI. Namun, bagi anggota keluarga yang menjemput langsung di Kupang, tidak dibiayai lagi oleh BP3TKI. Mereka itu adalah PMI ilegal di Malaysia,” kata Hingi.