Musyawarah Bermakna Bening di Golkar
Pada ulang tahunnya yang ke-56, Golkar semakin membumikan arti musyawarah dalam mencapai mufakat untuk memilih ketua umum serta ketua DPD I dan DPD II di sejumlah daerah.
Usia Golkar bertambah. Persisnya, genap berusia 56 tahun pada Selasa, 20 Oktober 2020. Ibarat manusia—mengutip berbagai sumber—56 tahun itu masuk kelompok usia kian matang. Kata matang kaya makna. Termasuk di dalamnya kepiawaian mengolah berbagai situasi—termasuk level pelik sekalipun—hingga membuahkan keputusan bijak: berdaya merekatkan, damai, dan mengalir teduh. Entah secara terbuka atau sebatas membatin saja, ruang publik di negeri ini memang mengakui kalau kematangan dalam berbagai aspek sungguh merupakan kekuatan Golkar.
Kematangan Golkar tidak sebatas retorika. Sudah banyak contoh membuktikannya. Meski berkali-kali dihadang badai—entah karena koyakan faksi-faksi, dualisme kepemimpinan, kasus korupsi yang menjerat sejumlah kadernya, atau sejumlah kasus lain—Golkar terbukti tetap mampu keluar dari kemelut yang menderanya. Lebih dari itu, Golkar bahkan tetap eksis. Buktinya, tetap keluar sebagai partai pemenang atau peringkat kedua pada setiap ajang pemilu.
Mudah-mudahan bisa disepakati. Kematangan Golkar itu adalah salah satu bentuk pertanggungjawaban seharusnya terhadap sebuah keputusan yang memilih beringin sebagai simbolnya. Di negeri ini, beringin itu selain menjadi simbol Partai Golkar, juga lambang Pancasila (sila ke-3).
Golkar bersimbolkan beringin (Ficus benjamina) tentu bukan tanpa alasan. Cermati karakternya. Berbagai sumber menyebutkan, beringin adalah jenis pohon moderat. Mampu dan jago beradaptasi dengan berbagai jenis tanah. Juga tetap mampu hidup dan tumbuh tanpa paparan sinar matahari sekalipun. Keunggulan lainnya dari akar gantung yang berfungsi ganda. Selain menjaga keseimbangan pohon secara keseluruhan, tancapan akarnya mampu menembus rekahan tanah keras, bahkan bebatuan hingga menyentuh kandungan air di baliknya. Kedahsyatan akar beringin tidak hanya berperan menyerap nutrisi dan air untuk kebutuhan hidup pohon secara keseluruhan, tetapi sekaligus memungkinkan terciptanya sumber mata air baru. Kalau begitu, kematangan Golkar adalah pancaran keunggulan beringin sebagai simbolnya.
HUT saat pandemi
Mengutip derap sejarahnya, Golkar yang awalnya bernama Sekretariat Bersama (Sekber Golkar) resmi didirikan di Jakarta, Selasa, 20 Oktober 1964. Kelahirannya atas prakarsa golongan militer, terutama kalangan perwira Angkatan Darat (AD). Agenda perjuangan utama pada awalnya adalah memerangi rongrongan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ketika itu terasa semakin menggerogoti stabilitas politik di Tanah Air. Lalu, seiring visi-misinya, Golkar sejak awal pula didesain menjadi ”rumah bersama” bagi segenap bangsa, di bawah naungan NKRI yang berasaskan Pancasila dan UUD 45 (Frans Sarong, dalam buku Jejak Karya Golkar NTT, 2018).
HUT Golkar kali ini persis di tengah pandemi Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda, bahkan masih terus mengganas. Momentum HUT tetap dirayakan, tetapi tentu saja dalam kemasan berbeda dibandingkan dengan momentum serupa tahun-tahun sebelumnya. Kali ini—sebagaimana disampaikan Ketua Panitia HUT Golkar NTT FX Alain Niti Susanto—kegiatannya dipastikan tanpa gemuruh massa.
Baca juga: Kendala Kampanye Daring di Daerah Tanpa Sinyal
Wujudnya lebih dalam kemasan senyap, seperti berbagai perlombaan yang ditampilkan secara virtual, lomba karya tulis, dan kunjungan kalangan pengurusnya dalam jumlah terbatas ke panti asuhan, taman makam pahlawan, atau makam orang-orang yang berjasa bagi Golkar. Berbagai kegiatan itu, selain memaknai momentum HUT Golkar, juga sekaligus memberikan contoh bagaimana seharusnya menaati protokol kesehatan di tengah pandemi.
Menangkap momentum HUT-ke 56 Golkar, tak ada salahnya mencermati derap langkah partai ini, khususnya selama kepemimpinan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum sejak hampir tiga tahun lalu. Melalui forum munas luar biasa (munaslub) yang berlangsung di Jakarta, 19-20 Desember 2017, Airlangga Hartarto yang juga akrab disapa AH terpilih menjadi Ketum DPP Golkar untuk jangka waktu dua tahun atau hingga Desember 2019.
Munaslub itu digelar untuk menggantikan ketum terdahulu, Setya Novanto, yang terjerat kasus korupsi KTP elektronik. Seperti sebelumnya, melalui forum munas yang berlangsung di Jakarta, 3-5 Desember 2019, AH kembali mendapat kepercayaan memimpin Partai Golkar untuk periode lima tahun ke depan atau hingga 2024. Menariknya, entah melalui munaslub atau munas, AH menggapai posisi sebagai ketum setelah secara aklamasi memperoleh kepastian dukungan penuh dari seluruh jajaran Golkar se-Indonesia. Dukungan itu masing-masing dari 34 dewan pimpinan daerah (DPD) I, 514 DPD II, dan seluruh ormas pemegang hak suara lainnya.
Partai Golkar hingga munaslub pada Desember 2017 dalam kondisi sedang terpuruk. Dalam zona bahaya! Mengutip rilis berbagai lembaga survei nasional, termasuk Litbang Kompas, elektabilitas Partai Golkar ketika itu memang berada di titik nadir, berkisar 6-7 persen. Kondisi itu terendah sepanjang sejarah keberadaan Partai Golkar di Tanah Air. Pemicu utamanya adalah kasus korupsi yang melibatkan Setya Novanto serta kasus korupsi lain yang menjerat sejumlah kader Golkar melalui aksi operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Begitu gencarnya serangan dan sorotan melalui berbagai media, membuat Golkar seakan lengket dengan label sebagai sarang koruptor. Sungguh, Partai Golkar dalam lilitan citra buruk! Sementara pada saat yang sama saat itu, Golkar dituntut harus fokus dan bangkit memulihkan citranya, terutama karena waktu tersisa hanya dua tahun menghadapi pemilu pada 17 April 2019.
Baca juga: Kikis Mental Terabas, Lawan Korupsi dari Akarnya
Beruntung, forum munaslub pada Desember 2017 dengan kesepakatan secara aklamasi mengantarkan AH menjadi Ketum DPP PG. Seperti diakui AH sendiri (melalui bukunya, Menaklukkan Badai-Refleksi Dua Tahun Memimpin Partai Golkar, 2019), dukungan secara aklamasi itu sungguh dirasakan sebagai modal berharga bagi dirinya bagaimana seharusnya memulihkan PG yang sedang berada dalam zona bahaya. Dukungan itu terasa sekalian mengembuskan tekad kukuh bahwa badai yang sedang melilit PG harus ditaklukkan!
Meski upaya pemulihan PG harus dimulai dari titik nadir zona bahaya serta pendeknya waktu konsolidasi (hanya sekitar dua tahun) menghadapi pemilu pada April 2019, ternyata pergulatan AH bersama jajarannya mampu menorehkan hasil menggembirakan. Pertama, sukses mengantarkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menjadi presiden dan wakil presiden. Kedua, kembali menempatkan Golkar sebagai partai di posisi kedua dari sisi jumah perolehan kursinya di DPR.
Makna bening
Setelah dua kali terpilih secara aklamasi melalui forum munaslub dan munas, AH meminta semua DPD I dan DPD II Golkar se-Indonesia agar menggelar musda secara musyawarah mufakat. Arahan itu tentu saja bukan tanpa alasan. Mencontoh Munaslub 2017 dan Munas 2019 di tingkat DPP, setidaknya agar kegiatan musda juga sekalian mewujudkan musyawarah sesuai dengan makna seharusnya, yakni melalui proses negosiasi, urun rembuk, atau perundingan.
Musyawarah seiring makna aslinya, diyakini merekatkan kebersamaam berpartai, sekaligus meredam kemungkinan terjadinya perpecahan yang memunculkan faksi-faksi. Juga dimungkinkan menjadi modal positif yang memudahkan konsolidasi partai serta menghemat biaya politik.
Kata musyawarah berasal dari bahasa Arab syawara, yang berarti ’berunding’ atau ’urun rembuk’. Seperti sejumlah partai lain di Indonesia, Golkar memilih judul ”musyawarah” untuk kegiatan lima tahunannya yang disebut munas untuk tingkat DPP dan musda untuk provinsi atau kabupaten/kota. Sebagaimana digariskan melalui AD/ART Partai Golkar, munas atau musda merupakan forum pemegang kekuasaan tingkat DPP dan DPD.
Sesuai dengan tingkatannya, munas atau musda bertujuan mengokohkan konsolidasi partai, juga merupakan forum pengambilan keputusan serta menetapkan kebijakan strategis partai. Pemilihan ketua umum (ketum) atau ketua selalu merupakan agenda yang ditunggu-tunggu karena menjadi klimaks munas atau musda.
Seiring tujuan munas atau musda itu, sejauh ini pengambilan keputusan, terutama pemilihan ketum atau ketua, lebih condong melalui opsi pemungutan suara atau voting. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan opsi voting. Namun, disadari atau tidak, keseringan dengan opsi voting itu berimbas pada mengaburnya arti musyawarah sesungguhnya, yakni urun rembuk, berunding, atau negosiasi.
Kepemimpinan AH sebagai Ketum Golkar masih menorehkan sejumlah keberhasilan. Misalnya, keteladanan mencontohkan upaya mewujudkan musyawarah sesuai dengan makna seharusnya. Kekuatan urun rembuk melalui Munaslub 2017 dan Munas 2019 yang berhasil mengantarkan AH menjadi Ketum Partai Golkar patut dicatat sebagai dua contoh yang membuktikannya. Lalu, AH mengarahkan semua DPD I dan DPD II Golkar se-Indonesia agar menggelar musda secara musyawarah.
Di NTT
Sesuai dengan arahan AH, DPD I Golkar NTT hingga awal Oktober 2020 sudah menggelar 22 musda, masing-masing satu musda tingkat provinsi dan 21 musda lainnya tingkat kabupaten. Itu berarti, hingga seminggu jelang HUT ke-56 Partai Golkar, masih tersisa 1 DPD II di NTT yang belum menggelar musda. DPD II dimaksud adalah Golkar Kota Kupang. Alasan penundaan karena gangguan kesehatan yang menimpa Ketua Golkar Kota Kupang Jonas Salean.
Entah di daerah lain. Dari 22 musda PG yang sudah digelar di NTT (1 musda provinsi dan 21 musda kabupaten), semuanya terlaksana secara musyawarah. Para ketuanya terpilih secara aklamasi setelah melewati urun rembuk (pramusda) kaya dinamika yang kemudian berujung mufakat.
Khusus musda tingkat provinsi, nyaris tanpa riak mengganggu. Jelang pelaksanaan musda, tak terdengar dinamika pergulatan calon. Tidak terdengar pula hiruk-pikuk upaya penggalangan atau karantina ”pengamanan” kelompok pemegang hak suara, sebagaimana lazim terdengar sejak lama. Prosesnya mengalir teduh, damai. Suasana kondusif dimungkinkan karena sejak menjelang musda hanya sosok tunggal yang mencuat sebagai calon ketua. Dia adalah Emanuel Melkiades Laka Lena, yang akrab disapa Melki Laka Lena. Benar saja, semua pemegang hak suara satu langkah mengantarkan Melki Laka Lena kembali memimpin Golkar NTT periode 2020-2025. Selain sebagai Ketua DPD Golkar NTT, Melki Laka Lena kini juga Wakil Ketua Komisi IX DPR.
Seperti ketumnya, AH, Melki Laka Lena sebelumnya juga terpilih menjadi Ketua Golkar NTT setelah memperoleh dukungan secara aklamasi melalui forum musdalub di Kupang, Rabu (27/9/2017).
Di NTT, Melki Laka Lena menghadiri semua musda tingkat kabupaten yang sudah digelar. Proses musda secara musyawarah dilakukan dalam dua tahap. Kegiatannya diawali pertemuan pra-musda yang dipimpin langsung Melki Laka Lena. Agendanya adalah negosiasi atau urun rembuk mendapatkan titik temu, terutama sosok kader yang layak didorong menjadi ketuanya. Tidak ada pemaksaan kehendak dalam prosesnya. Namun, urun rembuk itu selalu berpedoman pada AD/ART, juklak, serta arahan DPP yang dipadukan dengan rekam jejak dan kinerja sang kandidat. Karena panduannya jelas, maka dinamika urun rembuk selalu diusahakan dalam narasi terukur.
Jajaran DPD Golkar NTT di bawah kepemimpinan Melki Laka Lena terlihat serius berusaha menggelar musda secara musyawarah. Terbukti, model urun rembuk seperti ini memungkinkan terbentangnya jalan datar yang memudahkan pencapaian mufakat.
Setelah mencapai titik temu, langsung dilanjutkan dengan kegiatan rangkaian musda secara utuh. Maknanya, lebih melegitimasi berbagai kesepakatan yang dihasilkan melalui urun rembuk pra-musda. Faktanya, 22 musda Golkar di NTT sudah berhasil digelar secara musyawarah melalui proses teduh dan damai. Kalau begitu, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa arahan AH agar musda dilaksanakan secara musyawarah sudah diwujudkan dan dimaknai secara bening oleh DPD Golkar di NTT.
(Frans Sarong, Wartawan Kompas 1985-2016)