Revolusi Industri 4.0 memengaruhi seluruh tatanan kehidupan, termasuk pendidikan. Satuan pendidikan dituntut melakukan penyesuaian.
Oleh
Mediana
·3 menit baca
Revolusi industri keempat yang ditandai dengan otomasi dan interkoneksi lewat internet menuntut pendidikan bertransformasi. Pembelajaran perlu mengarah ke disiplin lintas ilmu dan mengadopsi teknologi digital.
Untuk melakukan transformasi, pelaku di ekosistem pendidikan perlu satu visi yang sama terlebih dulu. Ketika langkahnya sudah seirama, transformasi bisa mulai dilakukan dengan mengubah cara berpikir tenaga pendidik yang menjurus ke pemecahan masalah.
”Jadi, transformasi bukan diawali dengan saling berkompetisi membuat konten pendidikan,” ujar Hendro Wicaksono, pengajar di Jacobs University Bremen, Jerman, saat menghadiri kuliah umum ”Transformasi Pendidikan di Era 4.0 yang diselenggarakan oleh Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Jakarta, Senin (19/10/2020).
Di Jerman, guru memegang peran vital dalam transformasi pendidikan. Profesi ini termasuk paling diminati. Pemerintah menaruh perhatian tinggi terhadap pendidikan calon guru sampai urusan kesejahteraan.
Berdasarkan pengalaman Hendro di Jerman, guru memegang peran vital dalam transformasi pendidikan. Profesi ini termasuk paling diminati. Pemerintah menaruh perhatian tinggi terhadap pendidikan calon guru sampai urusan kesejahteraan.
Dalam era revolusi industri keempat yang sudah benar-benar terjadi di beberapa negara, guru memberikan arahan belajar. Adopsi teknologi digital dimanfaatkan untuk meningkatkan pengalaman studi.
Peran pendidikan harus sejalan dengan revolusi industri keempat. Maka, pelaku usaha/industri masuk ke sekolah dan perguruan tinggi. Mereka mengajar sampai melakukan akreditasi.
”Kehadiran guru tidak tergantikan oleh teknologi. Mereka diperlukan untuk mengarahkan. Kolaborasi inter disiplin ilmu juga membutuhkan peran mereka,” kata Hendro.
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta, Laily Hafidzah, memandang, kini sistem operasi pembelajaran dituntut mampu menciptakan suasana masa depan yang berpusat pada kreativitas. Hal ini berbeda jauh dari era pembelajaran tahun-tahun sebelumnya yang berpusat pada dosen, standar ujian, dan peserta didik.
Pada jenjang pendidikan tinggi, mahasiswa dan dosen harus berkreasi bersama menerapkan pengetahuan pembentuk masa depan. Tuntutan seperti itu berbeda dengan realita yang masih terjadi sekarang, seperti mahasiswa menunggu dosen, produk belajar ditentukan oleh pakar, dan dialog tergantung hasil pembelajaran.
Pembelajaran yang mendukung Revolusi Industri 4.0 berarti melibatkan jejaring sosial. Komunikasi melalui internet, lalu membentuk jejaring sosial, dan saling berkolaborasi dalam pembelajaran.
”Kunci menjadi pelajar di era revolusi industri keempat adalah berpikir kritis, mencari solusi, pemahaman komunikasi yang baik, menjadi kreator, dan mau berkolaborasi,” ujarnya.
Dengan segala tuntutan transformasi seperti itu, menurut Laily, filosofi pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara tetap relevan. Salah satunya adalah olah hati yang terdiri dari etika dan akhlak. Tenaga didik di Indonesia tetap perlu memiliki dua kepribadian itu.
Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Jerman Muhammad Rodlin Billah berpendapat, masih ada sejumlah pekerjaan rumah harus diselesaikan Indonesia. Untuk adopsi teknologi digital, misalnya, persentase belanja dari APBN baru berkisar 1,3 persen.
Di masyarakat masih ditemui sejumlah warga memiliki paradigma negatif terhadap sains. Sebagai contoh, sains dikaitkan dengan ajaran sekuler, ateis, dan produk negara-negara di Barat. Paradigma seperti ini seharusnya dihilangkan, lalu diganti dengan melatih kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
”Teknologi digital berubah cepat yang berdampak ke seluruh tatanan kehidupan, bukan hanya sektor industri. Menyikapi fenomena itu, dunia pendidikan di Indonesia mendukung pembelajaran kolaboratif interdisiplin ilmu,” kata Muhammad.