Pusat Tarik Wewenang Tarif Pajak dan Retribusi Daerah
›
Pusat Tarik Wewenang Tarif...
Iklan
Pusat Tarik Wewenang Tarif Pajak dan Retribusi Daerah
Penetapan tarif pajak dan retribusi daerah secara nasional disebut untuk memberikan kepastian bagi investor. Namun, pengalihan wewenang dinilai perlu hati-hati dengan tetap memperhatikan keseimbangan fiskal daerah.
Oleh
Karina Isna Irawan / Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mengatur penarikan wewenang pemerintah daerah ke pemerintah pusat terkait dengan penetapan pajak dan retribusi daerah. Penetapan tarif secara nasional disebut untuk memberikan kepastian bagi investor. Namun, pengalihan wewenang dinilai perlu tetap memperhatikan keseimbangan fiskal daerah.
Regulasi terkait dengan pajak dan retribusi daerah tertera dalam RUU Cipta Kerja. Dalam Pasal 156 A RUU Cipta Kerja disebutkan, pemerintah pusat dapat mengubah tarif pajak dan retribusi yang ditetapkan pemerintah daerah dengan menetapkan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional. Tarif yang berlaku nasional mencakup tarif atas jenis pajak provinsi dan pajak kabupaten serta obyek retribusi.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah disesuaikan untuk memberikan kepastian hukum. Selama ini daerah menerapkan tarif pajak dan retribusi yang berbeda-beda sehingga dinilai menghambat investasi.
”Pajak dan retribusi yang akan ditetapkan secara nasional adalah pajak dan retribusi yang dipungut daerah berbeda-beda antara satu dan lain serta menimbulkan ketidakpastian investasi,” kata Astera dalam telekonferensi pers APBN edisi September 2020, Senin (19/10/2020).
Dalam UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan, ada 5 jenis pajak yang bisa dipungut pemerintah provinsi, 11 jenis pajak kabupaten/kota, dan 3 obyek retribusi. UU hanya menetapkan batas minimum dan maksimum tarif pajak dan retribusi sehingga setiap daerah bisa memungut pajak dan retribusi berbeda. Tarif pajak air permukaan, pajak hotel, dan pajak restoran, misalnya, ditetapkan paling tinggi 10 persen. Sementara pajak hiburan maksimal 35 persen dan pajak air tanah paling tinggi 20 persen.
Selain itu, ada beberapa obyek yang juga dikenai pungutan pajak ganda antara pusat dan daerah, seperti Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan yang ditetapkan maksimal 0,3 persen. ”Penyesuaian pajak dan retribusi perlu dilakukan agar terbangun keselarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah terutama terkait dengan investasi,” kata Astera.
Perdebatan
Kendati demikian, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, pengalihan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah harus memperhatikan keseimbangan fiskal daerah. Penetapan tarif pajak dan retribusi daerah secara nasional secara tak langsung menegaskan permasalahan dalam peraturan daerah. Pemerintah perlu hati-hati dalam intervensi.
Terlebih ada wewenang Presiden mencabut peraturan daerah yang dianggap bertentangan dengan aturan di atasnya. ”Paling krusial terkait dengan status pembatalan karena ada perbedaan prinsip dan mungkin tak sesuai dengan UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menambahkan, penetapan tarif pajak dan retribusi yang berlaku secara nasional tidak hanya memperkecil ruang fiskal daerah, tetapi juga membatasi reformasi di daerah. Beberapa daerah memanfaatkan tarif batas atas dan bawah justru untuk menarik investasi.
Pemerintah pusat sebaiknya tidak menarik seluruh pajak dan retribusi daerah. Beberapa jenis tarif pajak yang memungkinkan berlaku secara nasional adalah Pajak Bumi dan Bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sementara pajak hotel, restoran, hiburan, dan retribusi tetap wewenang pemda.
Peraturan turunan
Sementara itu, pemerintah diminta tidak tergesa-gesa menyusun rancangan peraturan turunan. Sebab, masih ada sejumlah ketentuan di RUU Cipta Kerja yang akan membawa dampak buruk pada kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat kecil, dan kepentingan nasional. Hal-hal itu yang harus ditambal melalui rancangan peraturan turunan kelak.
Peneliti Indef, Mirah Midadan, mengatakan, ada sejumlah pasal terkait dengan kemudahan perizinan berusaha di RUU Cipta Kerja yang justru dapat mengancam keberlangsungan petani, pekebun kecil, serta kepentingan nasional. Ia mencontohkan, Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang diubah di RUU Cipta Kerja.
Sebelumnya, UU mewajibkan pemerintah mengutamakan produk pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Dalam RUU Cipta Kerja, ketentuan itu diubah. Pasal 15 RUU Cipta Kerja menyebutkan pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi pertanian melalui strategi perlindungan petani.
Ia juga menyoroti Pasal 30 UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang juga diubah di RUU Cipta Kerja. Ketentuan di UU semula melarang adanya impor komoditas pertanian saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi atau cadangan pangan pemerintah. Namun, RUU Cipta Kerja mengubah ketentuan itu.
Mirah mengatakan, ketentuan semula di UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani harus tetap dicantumkan dalam rancangan peraturan turunan. ”RUU ini tidak meningkatkan kesejahteraan petani, malah membuka keran impor yang sangat luas. Di tengah derasnya impor pangan, pembatasan impor tetap harus dicantumkan dalam peraturan turunan untuk melindungi kesejahteraan petani,” kata Mirah.
Sementara itu, Direktur Risest Indef Berly Martawardaya mengatakan, pendekatan perizinan berbasis risiko (risk-based approach) yang diatur di RUU Cipta Kerja juga perlu dikaji dengan hati-hati dan mendalam sebelum diterapkan agar tidak berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, peraturan turunan tidak boleh dibahas dengan tergesa-gesa.
”Dalam prinsip ekonomi lingkungan, ada safeguard. Apa yang kita tidak ketahui harus dilindungi dulu daripada kita harus kehilangan besar. Seharusnya pemerintah memperdalam diskusi dengan ahli konservasi sebelum menerapkan ketentuan itu,” katanya.
Menurut Berly, pemerintah membutuhkan setidaknya satu tahun untuk mengumpulkan data dan kajian terkait dengan lingkungan serta kawasan adat sebelum mulai menerapkan pendekatan tingkat risiko itu. ”Toh, setahun ke depan investasi masih akan kendur karena pandemi. Lebih baik waktunya digunakan untuk memperkuat institusi (tim penetapan tingkat risiko) dan memperkuat data,” kata Berly.