Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja penegakan hukum pemerintahan Jokowi-Amin paling rendah dibandingkan dengan sektor yang lain. Namun, publik masih menyimpan keyakinan bahwa pemerintah mampu bekerja lebih baik.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistyo
·3 menit baca
Tepat setahun yang lalu, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Momen tersebut hanya berselang sebulan setelah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi rampung dibahas pada akhir masa jabatan pertama Jokowi.
Revisi itu, oleh sebagian kalangan, dinilai meruntuhkan independensi KPK. Dalam UU hasil revisi, lembaga itu dimasukkan ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Status pegawainya pun berubah jadi aparatur sipil negara. Sebagian pegawai KPK lalu memilih mencari tempat ”perjuangan” baru, termasuk mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.
KPK yang semula menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi seakan menjadi tidak bertaring. Dengan undang-undang baru dan juga pimpinan baru, KPK kini fokus pada upaya pencegahan.
Padahal, dalam polling telepon yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 529 responden pada 14-16 Oktober lalu terungkap bahwa publik menilai pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merupakan hal paling mendesak dilakukan pemerintahan Jokowi-Amin dalam bidang penegakan hukum. Sebanyak 41,4 persen responden mengungkapkan hal itu, disusul penegakan hukum berkeadilan (28,4 persen).
Kinerja pemerintah dalam bidang penegakan hukum mendapat apresiasi rendah. Lebih dari separuh (64,6 persen responden) tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ini, dengan detail 10,2 persen sangat tidak puas dan 54,2 persen responden tidak puas. Hanya 30,2 persen responden yang mengaku puas dengan kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum.
Pengajar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, saat dihubungi pada Minggu (18/10/2020) mengatakan, ada dua persoalan dalam kebijakan Presiden Jokowi terkait dengan pemberantasan korupsi. Pertama, mengedepankan pencegahan, padahal pemberantasan bertujuan menimbulkan efek jera. Kedua, ada paradigma bahwa Presiden ingin mengutamakan ekonomi, sementara pemberantasan korupsi dianggap merusak investasi.
Lebih dari separuh (64,6 persen responden) tidak puas dengan kinerja pemerintah di bidang ini, dengan detail 10,2 persen sangat tidak puas dan 54,2 persen responden tidak puas.
Meskipun ada rasa pesimistis dengan situasi pemberantasan korupsi saat ini, Zainal memiliki harapan Presiden dapat melakukan perubahan besar melalui reshuffle kabinet. Presiden diharapkan berani mendorong ke arah kabinet zaken, yakni jajaran pembantu presiden berasal dari kalangan ahli atau profesional.
Sementara itu, untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi, Mahkamah Konstitusi diminta membatalkan UU KPK hasil revisi.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola, mengungkapkan, permasalahan utama korupsi di Indonesia terletak pada sektor politik dan peradilan.
”Bertahun-tahun hasil literasi Corruption Perceptions Index kita sudah menegaskan pesan itu. Jadi, perlu fokus memperkuat upaya di sektor strategis itu, bukan sebaliknya,” ujarnya.
Dalam hal pencegahan, TII memantau pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) masih sebatas jargon.
Dalam hal pencegahan, TII memantau pelaksanaan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) masih sebatas jargon. Secara gagasan cukup baik, tetapi implementasinya masih stagnan di level administratif.
Guru Besar Hukum Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, kualitas pemberantasan korupsi dalam periode pertama tahun ini masih dalam batas linear kewajaran. Rapor pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih pada tataran proses peningkatan signifikan.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, Presiden Jokowi sejak 2014 mewarisi kerumitan birokrasi, regulasi, dan ketidakpastian hukum, serta inefisiensi yang sampai sekarang masih dirasakan dan tak mudah diatasi. Inefisiensi itu berujung pada korupsi. Butuh komitmen dan kesinambungan untuk mengatasinya.
Publik masih menyimpan keyakinan bahwa pemerintah mampu menyelesaikan persoalan-persoalan penegakan hukum (44 persen responden). Keyakinan ini dapat menjadi modal bagi pemerintah untuk memenuhi harapan publik, khususnya dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.