Surplus Neraca Dagang
Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin dihadapkan pada keharusan mereorientasi strategi industralisasi.
Badan Pusat Statistik mengumumkan neraca perdagangan Indonesia surplus 2,44 miliar dolar AS pada September 2020. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah lima bulan berturut-turut surplus sehingga Bank Indonesia memprediksi potensi pembalikan neraca berjalan triwulanan yang sudah satu dekade defisit ke arah surplus. Dampak positifnya, hal ini turut menyangga nilai tukar rupiah pada kisaran Rp 14.700 per dollar AS.
Sama halnya dengan empat bulan sebelumnya, surplus pada September 2020 terjadi karena impor turun lebih tajam dibandingkan dengan penurunan ekspor pada saat perekonomian terkontraksi akibat pandemi Covid-19. Nilai ekspor turun 0,51 persen menjadi 14,01 miliar dolar AS dibandingkan dengan September 2019. Sementara impor turun 18,88 persen menjadi 11,57 miliar dollar AS.
Masalah struktural
Ada udang di balik batu, begitu kata pepatah. Surplus bawaan pandemi ini menyembunyikan ciri khas perekonomian Indonesia, yaitu pada saat pertumbuhan sedang normal, neraca berjalan cenderung defisit. Pada dekade 1970-an dan 1980-an, neraca perdagangan masih dapat menutupi kelemahan ini karena Indonesia masih menjadi eksportir bersih minyak dan gas. Deregulasi ekonomi pada pertengahan 1980-an telah membuat Indonesia menjadi eksportir produk manufaktur padat karya.
Baca juga : Menelaah Resesi
Setelah krisis moneter 1998, sektor manufaktur tidak dapat meneruskan perannya karena ekonomi biaya tinggi menggerogoti daya saingnya. Pada periode bonanza komoditas dari triwulan IV-2004 sampai dengan akhir 2013, peranan neraca dagang dalam menopang neraca berjalan agar tidak terlalu defisit digantikan ekspor komoditas. Selama periode itu, pertumbuhan ekonomi rata-rata Indonesia sebesar 5,83 persen, bahkan sempat mencapai 6,36 persen pada puncaknya, yakni pada 2010-2012.
Peribahasa mengatakan, tidak ada pesta yang tidak berakhir. Sejak bonanza komoditas berakhir pada 2014, tugas pemerintah adalah mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru. Hal ini tidak mudah karena selama masa surplus neraca perdagangan berlimpah, hanya diputar dalam bentuk properti dan mal di kota-kota metropolitan dan kota sekunder. Sisi positifnya, jumlah kelas menengah meningkat sehingga mencapai 141 juta orang.
Selama masa surplus neraca perdagangan berlimpah, hanya diputar dalam bentuk properti dan mal di kota-kota metropolitan dan kota sekunder.
Di negara-negara lain, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea, pertumbuhan kelas menengah digunakan untuk membangun industri manufaktur agar keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah. Yang terjadi di Indonesia, pangsa sektor manufaktur nonmigas di Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) justru merosot, dari 25,54 persen pada akhir 2004 menjadi 18,75 persen pada akhir 2019. Sektor perdagangan, hotel, dan akomodasi sampai dengan akhir 2014 memiliki porsi 18,40 persen terhadap PDB. Padahal, pada akhir 2000 baru 15,96 persen.
Dengan demikian, jumlah kelas menengah di Indonesia yang semakin besar hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar dan bukan basis produksi. Rerata pertumbuhan triwulanan sektor manufaktur 2004-2014 secara tahunan sebesar 5,83 persen, lebih rendah dari sektor perdagangan, hotel dan restoran yang sebesar 7,65 persen.
Pendekatan keluar kotak
Tanda-tanda perubahan zaman ke arah de-globalisasi sudah mulai terlihat pada akhir 2017 seiring konflik perdagangan AS-China. Mobilitas perdagangan dunia kena dampaknya. Pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesia mulai melambat. Pada 2017, neraca perdagangan masih surplus 11,84 miliar dollar AS. Angka ini berbalik menjadi defisit pada 2018, yakni 8,57 miliar dollar AS. Tren ini berlanjut pada 2019 dengan defisit 3,2 miliar dollar AS. Defisit tersebut memperburuk posisi defisit neraca berjalan, yang ditutup dengan modal portepel jangka pendek sehingga membuat nilai tukar rupiah rawan terhadap pembalikan arus modal.
Baca juga : Ekonomi Vaksin
Sejak dilantik pada Oktober 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin dihadapkan pada keharusan mereorientasi strategi industralisasi. Hal yang sering luput dari pengamatan, globalisasi memungkinkan Indonesia menggantungkan diri pada siklus komoditas internasional. Caranya, dengan mengandalkan stabilitas makro untuk menarik modal portepel masuk membiayai defisit neraca berjalan. Selama tata ekonomi dunia tetap status quo, strategi ini mungkin dapat dipertahankan. Namun, dunia sudah berubah. Pertumbuhan ekonomi yang sangat tergantung dari perbaikan term of trade tampaknya tidak dapat dipertahankan terlalu lama lagi.
Sejak dilantik pada Oktober 2019, pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin dihadapkan pada keharusan mereorientasi strategi industralisasi.
Potensi eksalasi konflik AS-China seperti yang terlihat pada 2020 sangat besar dan boleh jadi tidak hanya sebatas perseteruan dagang. Konsekuensinya sudah terlihat dari pergeseran rantai pasok dunia, seperti relokasi beberapa pabrik dari China ke Vietnam. Berita prospek relokasi dari beberapa pabrik ke Jawa tengah bagian utara menunjukkan Indonesia dapat memperoleh keuntungan dari perubahan ini.
Pandemi Covid-19 membuat tidak hanya proses de-globalisasi semakin kuat, tetapi juga de-coupling perekonomian dunia. Hal ini seakan-akan memberikan bola kristal apa yang akan terjadi jika konflik AS-China semakin memanas, apa pun bentuknya. Dalam situasi ini, percepatan stimulus pertumbuhan ekonomi mengandung risiko peningkatan impor di tengah perlambatan ekspor sehingga perlu pendekatan baru yang lebih menggunakan daya beli dalam negeri dan memperkuat struktur industri-perdagangan yang selama ini terfragmentasi dan boros devisa.
Sektor manufaktur, walaupun memproduksi untuk dalam negeri, sebagian besar rantai pasoknya dari impor. Bukannya anti-impor, yang tetap diperlukan terutama untuk produk berorientasi ekspor. Namun, untuk meningkatkan daya ungkit (multiplier) dan rantai pasok diperlukan peningkatan kaitan dan konektivitas antar-industri, konektivitas kota-desa, konektivitas antar-aglomerasi dan kaitan industri besar, sedang dan mikro-ultramikro, serta konektivitas antarpulau. Hambatan untuk membuat kaitan antar-industri dan rantai pasok selama ini adalah artifisial dan dapat diperbaiki. Hal ini dapat dilihat dari indikator daya saing Indonesia dalam Laporan Daya Saing Global yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF).
Berindustri tampaknya lebih mahal daripada berdagang. Biaya untuk memulai usaha mendapat peringkat ke-67 dari 141 negara. Prosedur perizinan yang berbelit-belit tecermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Salah satu hal yang dinilai positif adalah kecakapan tenaga kerja, menduduki peringkat ke-36 dan masih dapat ditingkatkan lagi dengan meningkatkan kemampuan digital. Namun, hal ini terkoreksi ke bawah sebab pasar tenaga kerja mendapat penilaian rendah karena terlalu kaku sehingga hanya menempati posisi ke-119.
Terlepas dari pro dan kontra, RUU Cipta Kerja mempunyai peluang menyiapkan Indonesia untuk menghadapi tata dunia baru yang mengarah ke de-globalisasi. Perubahannya sudah mulai terlihat dengan munculnya tanda-tanda zaman, yaitu perang dagang AS-China dan pandemi Covid-19.