Efisiensi operasional dinilai menjadi salah satu keuntungan yang dapat diraih oleh instansi pemerintah apabila menyelenggarakan layanan publik digital melalui teknologi komputasi awan atau ”cloud computing”.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Efisiensi operasional dinilai menjadi salah satu keuntungan yang dapat diraih instansi pemerintah apabila menyelenggarakan layanan publik digital melalui teknologi komputasi awan atau cloud computing. Namun, perlu sumber daya manusia yang mumpuni untuk dapat memanfaatkannya dengan efektif.
Chief Digital Technology Officer Govtech Singapura Chan Cheow Hoe mengatakan, efisiensi ini bisa diraih melalui skema pay as you go yang dimiliki oleh layanan cloud. Artinya, pelanggan—dalam hal ini instansi pemerintah—hanya cukup membayar sumber daya komputasi (compute resource)dan penyimpanan sesuai apa yang dibutuhkan.
Di sisi lain, apabila membangun infrastruktur sendiri, biasa disebut on-premise, pelanggan membeli perangkat atas pertimbangan puncak lalu lintas data. Padahal, apabila ditarik rata-rata, kapasitas operasi normal mungkin hanya 40 persen.
”Jadi, efisiensi ini bisa diraih dari 60 persen dana yang sebelumnya digunakan untuk operasi server internal,” kata Chan dalam acara temu media virtual AWS Public Sector Summit ASEAN 2020 yang digelar pada Rabu (21/10/2020).
Govtech adalah sebuah badan di bawah Kantor Perdana Menteri Singapura yang bertugas untuk melakukan digitalisasi pelayanan publik.
Namun, Chan juga mengingatkan bahwa untuk dapat mencapai efisiensi dan efektivitas penggunaan teknologi cloud, instansi pemerintah perlu membekali diri dengan sumber daya manusia yang kapabel.
Ia mencontohkan bahwa, pada masa awal pembentukan Govtech tahun 2016, Singapura hanya memiliki tujuh orang yang bekerja di bidang pengembangan perangkat lunak. Sekarang, Govtech mempekerjakan 800 staf pengembang perangkat lunak dari data scientist hingga infrastruktur cloud, AI, dan IoT.
Saat ini, Chan mengungkapkan, sekitar 70 persen beban pekerjaan Pemerintah Singapura telah berada di cloud. Untuk bisa mencapai tingkat ini, Chan mengatakan, Singapura membutuhkan waktu tiga tahun untuk mengedukasi pejabat serta melakukan migrasi ke teknologi cloud.
”Kalau pemerintah tidak punya SDM yang paham apa potensi yang dimiliki cloud, segala rencana transformasi digital dan efisiensi ini bakal ditolak,” kata Chan.
Managing Director Smart Selangor Delivery Unit (SSDU) Mohammad Fahmi Ngah mengungkapkan, untuk proyek integrasi layanan digital berbayar di Negara Bagian Selangor, Malaysia, yang sudah berlangsung dua tahun, pihaknya juga menggunakan teknologi cloud ketimbang membangun infrastruktur sendiri.
Selama dua tahun ini, sudah ada 88 jenis layanan yang menggunakan platform ciptaan Pemerintah Selangor dan setelah peluncuran kembali pada November 2020, Fahmi memperkirakan jumlah transaksi akan meningkat 10 kali lipat.
Meski demikian, ia tidak khawatir mengenai adanya infrastruktur yang kelebihan beban karena teknologi cloud memungkinkan kapasitas infrastruktur ditingkatkan dengan mudah sesuai kebutuhan.
SSDU adalah sebuah unit di bawah Pemerintah Negara Bagian Selangor yang bertugas untuk membangun infrastruktur dan layanan publik secara digital di negara bagian tersebut.
VP International Sales of Worldwide Public Sector AWS Max Peterson pun menyatakan pendapat senada. Mengutip laporan studi kasus yang digelar oleh Departemen Imigrasi dari Kementerian Dalam Negeri Inggris (UK Home Office), Peterson mengatakan bahwa adopsi teknologi cloud dapat meningkatkan efisiensi operasional sistem TI hingga 40 persen.
Selain itu, adopsi teknologi cloud akan memberikan hal yang disebutnya ”dividen inovasi” di masa depan. Menurut dia, keuntungan dari bertransformasi digital akan mengakselerasi inovasi di masa depan.
Ia menduga bahwa pembelajaran jarak jauh yang sekarang banyak digelar akan membuat suatu perubahan yang irreversible atau tidak bisa dikembalikan. ”Akan banyak hal yang tidak akan kembali ke gaya lama,” kata Max.
Penggunaan platform komputasi awan di Indonesia untuk sektor layanan publik secara umum harus memenuhi beberapa syarat.
Lembaga penyedia layanan publik wajib melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan penyimpanan di wilayah Indonesia, sesuai dengan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE).
Namun, penyimpanan dan pengolahan data milik publik di luar Indonesia baru dimungkinkan apabila teknologi penyimpanan tidak tersedia di dalam negeri.
Berdasarkan Pasal 102 PP No 71/2019 pun, instansi pemerintahan dapat menyimpan atau memproses data menggunakan cloud di luar Indonesia selama periode transisi selama dua tahun sejak regulasi tersebut diundangkan pada 10 Oktober 2019.
Namun, hingga kini belum ada aturan teknis dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) terkait penataan penyelenggara sistem elektronik (PSE) lingkup publik.
Baru pada Maret 2020, Kominfo menuntaskan penyusunan rancangan Peraturan Menkominfo Lingkup Privat. Menkominfo Johnny G Plate pada saat itu mengatakan, aturan untuk PSE lingkup publik akan diatur tersendiri.