Belajar di Rumah Memicu Stres, Segera Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh
›
Belajar di Rumah Memicu Stres,...
Iklan
Belajar di Rumah Memicu Stres, Segera Evaluasi Pembelajaran Jarak Jauh
Pembelajaran jarak jauh selama pandemi Covid-19 memengaruhi beban psikologis siswa, guru, dan orangtua. Evaluasi perlu dilakukan sebelum pemerintah menggelar Asesmen Nasional.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Evaluasi pelaksanaan pembelajaran jarak jauh dapat menjadi landasan perumusan kebijakan pendidikan selama darurat pandemi Covid-19 masih berlangsung. Evaluasi akan menunjukkan bagaimana kepedulian pemerintah terhadap beragam kondisi yang dialami peserta didik dan pendidik saat pandemi.
”Kejadian siswa asal Gowa (Sulawesi Selatan) bunuh diri ataupun siswa asal Banten meninggal pasca-dianiaya orangtua karena kesulitan belajar dari rumah menjadi alarm. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengandung banyak persoalan, termasuk kesehatan jiwa. Maka, kami dorong pemerintah (melakukan) evaluasi dulu,” ujar Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Z Haeri, saat dihubungi, Selasa (20/10/2020), di Jakarta.
Menurut Iman, berdasarkan laporan dari jaringan, selama delapan bulan pandemi Covid-19, muncul berbagai macam persoalan PJJ, mulai dari ketiadaan gawai, susah sinyal internet, sampai kesulitan guru menjangkau rumah para siswa. Selain beban pengeluaran bertambah, kesehatan jiwa pun menjadi isu yang tak kalah serius.
Persoalan stres sebagian besar dipicu dari kesulitan siswa dan orangtua yang berada di rumah bersamaan. Iman mengakui, praktik di lapangan hingga sekarang menunjukkan masih ada guru yang menambah beban siswa dengan cara memberikan banyak tugas. Ini merepotkan orangtua yang harus bekerja lalu berperan sebagai fasilitator anak.
Solusi yang diberikan pemerintah belum signifikan menyelesaikan persoalan itu, seperti bantuan kuota internet dan penerbitan surat edaran agar menekankan pembelajaran bermakna.
Pada saat bersamaan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyiapkan dan akan melaksanakan Asesmen Nasional pada Maret 2021. Apabila PJJ tidak dievaluasi dan pemerintah tetap ingin melaksanakan Asesmen Nasional, Iman memperkirakan, sekolah, guru, siswa, dan orangtua semakin terbebani. Meskipun Asesmen Nasional bukan ujian nasional, masih banyak pihak menganggap keduanya adalah hal sama.
Seperti diketahui, Asesmen Nasional berisi tiga komponen, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum, Survei Karakter, dan Survei Lingkungan Belajar. Asesmen Kompetensi Minimum berisi penilaian siswa terkait literasi dan numerasi.
Untuk Asesmen Nasional, Kemendikbud mengajukan anggaran Rp 1,49 triliun. Dana ini mencakup peruntukan pendampingan kurikulum guru dan tenaga kependidikan, pengembangan kurikulum, dan perbukuan. Lalu, peruntukan implementasi kurikulum pada satuan pendidikan dan daerah, Asesmen Kompetensi Minimum dan akreditasi, pendampingan ke pemerintah daerah, serta tindak lanjut hasil Asesmen Kompetensi Minimum.
Mudah stres
Ketua Program Studi Sarjana Psikologi Universitas Indonesia Lucia RM Royanto menjelaskan, situasi belajar di rumah berkepanjangan karena pandemi menyebabkan semua anak, orangtua, dan tenaga pendidik menjadi lebih mudah stres. Selain belajar, sebagian besar kegiatan pun kini berlangsung di rumah sehingga menambah beban kesehatan jiwa.
Tidak semua anak memiliki kemampuan self-regulated untuk belajar ataupun mengelola kesehatan jiwanya secara mandiri. Dengan kata lain, kategori anak seperti itu membutuhkan tuntunan orang lain.(Lucia RM Royanto)
”Tidak semua anak memiliki kemampuan self-regulated untuk belajar ataupun mengelola kesehatan jiwanya secara mandiri. Dengan kata lain, kategori anak seperti itu membutuhkan tuntunan orang lain,” ujarnya.
Menurut Lucia, tidak semua pendidik, baik guru maupun dosen, terbiasa dengan tidak ada struktur pembelajaran. Ditambah lagi, tidak semua orang memiliki kesadaran mau menyampaikan ataupun mendengarkan keluh kesah persoalan PJJ ke orang lain.
Komunikasi kebijakan pendidikan di Indonesia cenderung bermasalah. Sebagai contoh, sosialisasi dari Kemendikbud sering kali dimaknai berbeda begitu sampai ke guru ataupun orangtua.
Demi keselamatan
Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud Evy Mulyani mengatakan, PJJ diterapkan selama pandemi Covid-19 karena kesehatan dan keselamatan warga satuan pendidikan menjadi prioritas. Pada saat bersamaan, pemerintah ingin tetap memastikan bahwa anak memperoleh hak atas pendidikan.
Dia menyampaikan, Kemendikbud terus menekankan bahwa PJJ harus memberikan pengalaman belajar yang bermakna, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas ataupun kelulusan. Oleh karena itu, tugas pembelajaran dapat bervariasi antarsiswa dengan memperhatikan kondisi setiap anak.
Selain itu, Kemendikbud juga menyerukan agar seluruh kepala daerah, kepala satuan pendidikan, orangtua, guru, dan masyarakat bergotong royong menyukseskan pembelajaran selama pandemi Covid-19.
Kemendikbud telah mengeluarkan kebijakan penerapan kurikulum darurat yang bersifat opsional. Saat ini, terdapat tiga bentuk penerapan, yaitu Kurikulum 2013 utuh, penyederhanaan kompetensi dasar dari Kurikulum 2013 versi Kemendikbud, dan penyederhanaan Kurikulum 2013 yang dikemas sendiri oleh sekolah-sekolah. Penerapan tiga kurikulum ini berlangsung selama tahun ajaran 2020/2021.
Menurut Evy, berdasarkan survei yang telah dilakukan Kemendikbud, sekitar 67 persen responden mengetahui adanya kebijakan kurikulum darurat dan 48 persen di antaranya memakainya. Kurikulum darurat cenderung lebih digunakan oleh responden di wilayah nontertinggal. Bagi 52 persen responden yang tidak menggunakan kurikulum darurat, mayoritas di antaranya menggunakan Kurikulum 2013 utuh.
Bersamaan dengan kondisi tersebut, dia membenarkan, Kemendikbud sudah mulai menyosialisasikan Asesmen Nasional kepada dinas pendidikan seluruh Indonesia. Sosialisasi juga dilakukan melalui akun-akun media sosial Kemendikbud.
Asesmen Nasional dilangsungkan pada 2021 sebagai pemetaan dasar mutu sekolah. Pemerintah ingin memperoleh peta kenyataan kualitas pendidikan di lapangan. Lalu, pada 2022, pemerintah akan kembali menyelenggarakan Asesmen Nasional.
”Tidak ada konsekuensi apa pun bagi sekolah ataupun murid. Guru, kepala sekolah, murid, dan orangtua tidak perlu menyiapkan persiapan khusus ataupun tambahan yang justru akan menjadi beban psikologis sendiri,” kata Evy.