Diastuti Utami beralih menekuni keamanan siber sejak duduk di bangku kuliah di Institut Teknologi Bandung. Sebelumnya, dia berminat pada ilmu kimia yang membawanya meraih pretasi di Olimpiade Sains Nasional.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·4 menit baca
Seperti Sherlock Holmes yang dikenal berkat kemampuan detektif, Diastuti Utami (24) punya kemampuan mendeteksi, menyelidiki, dan mencegah gangguan jaringan digital. Kemampuan ini mengantarnya bekerja di bidang keamanan siber yang kini diminati banyak anak muda.
Sebelum terjun di bidang teknik informatika, perempuan yang sering disapa Asti ini bergelut di bidang ilmu kimia. Ia meraih prestasi medali perak dan The Best Experiment dalam Olimpiade Sains Nasional 2013. Begitu lulus SMA, Asti banting setir ke bidang ilmu komputer. Usaha dan kerja keras mengantar Asti bekerja di bidang cyber security.
Asti mengatakan, ketika mengikuti pelatihan nasional menuju Olimpiade Sains Nasional, ia menyadari dirinya cepat bosan. Daripada menggeluti ilmu pasti, Asti tertarik mempelajari ilmu terapan yang lebih menantang. Perempuan ini sempat tergiur mempelajari teknik elektronika. Namun, panggilan hidupnya mengarahkan ia kuliah S-1 Teknik Informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB). Ketika mahasiswa lain menggeluti bidang developer, software engeering, data analyst, dan data science, ia justru terpanggil mendalami keamanan siber.
”Aku lihat masih sedikit orang yang mempelajari bidang ini. Materinya juga banyak yang bisa dieksplorasi, banyak tantangan dan tidak monoton,” ujarnya, di Jakarta, Senin (19/10/2020).
Menurut Asti, ada banyak persamaan dan perbedaan antara ilmu kimia dan teknik informatika. Persamaannya, kedua bidang ini sama-sama rumit, membutuhkan nalar, inovasi, dan intusi dalam memahami dan menyelesaikan persoalan. Perbedaannya ada pada materi persoalan dan prosedur.
”Kalau ilmu kimia, prosedur praktik di laboratorium sangat ketat. Kita harus menguasai banyak aturan dan memahami teori dasar sebaik-baiknya. Sementara teknik informatika hanya perlu tahu basic-nya saja, setelah itu kita bisa belajar seiring waktu,” katanya.
Kemampuan Asti di bidang teknologi informatika mengantarnya pada sejumlah prestasi, seperti Best Idea Inkubator IT Idea Challenge, sebuah kejuaraan yang diselenggarakan kampusnya di ITB. Bersama dua temannya, ia membangun sistem di telepon seluler yang ramah disabilitas, seperti bisa memunculkan transkrip dari video untuk orang-orang tuli, atau memunculkan getaran untuk pengguna ponsel tunanetra. Ia juga mengikuti pelatihan Cyber Security Engineering dari Blibli.com. Sejak November 2018, perempuan yang mengantongi sertifikasi CompTIA CYSA + dan Computer Hacking Forensic Investigator (CHFI) ini bekerja sebagai cyber security engineering di Blibli.com.
Tugasnya, antara lain, menciptakan cara baru untuk memberikan keamanan jaringan, menyelidiki gangguan jaringan, dan menghentikan serangan kebocoran data. Pekerjaan ini menantang dan menuntut fokus. Ketika ada orang yang berusaha masuk ke dalam jaringan, mencuri data, atau melakukan kejahatan digital, seperti pemalsuan order, ia penasaran mencari pelaku.
Pekerjaan ini seperti detektif yang berusaha mengungkap kejahatan. Rasa penasaran kadang membuatnya harus melek mata hingga tengah malam. ”Kalau belum ketahuan siapa pelakunya, saya tidak tenang. Begitu berhasil menemukan pelaku peretasan, rasanya puas banget,” katanya.
Pekerjaan di bidang keamanan siber cukup menjanjikan. Selama 5-10 tahun ke depan, menurut Asti, banyak perusahaan akan memanfaatkan cyber security engineering untuk merancang dan menerapkan strategi terbaik untuk melindungi jaringan internal perusahaan dari akses yang tidak diinginkan.
Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, kebutuhan untuk mengamankan jaringan tidak hanya dimiliki oleh perusahaan, tetapi pribadi. ”Oleh karena itu, kemampuan keamanan jaringan nantinya akan dipelajari oleh lebih banyak orang. Kita semua akan mempelajari bidang ini untuk mengamankan akun pribadi,” ucapnya.
Dibandingkan dengan ahli komputer dari negara lain, menurut Asti, Indonesia masih perlu banyak mengatasi ketertinggalan. ”Pekerja Indonesia yang sudah punya pengalaman selama 2-3 tahun, kemampuannya masih setara fresh graduate dari kampus-kampus di luar negeri. Jadi, pengetahuan kita memang masih tertinggal jauh banget,” katanya.
Pekan lalu, Asti dipercaya membagikan pengalaman kepada pelajar SMK yang mengikuti pelatihan keamanan siber yang diadakan InfraDigital Foundation bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kepada generasi muda, Asti mendorong agar pelajar mengikuti kejadian-kejadian peretasan digital yang marak terjadi, mempelajari tren baru, perkembangan, dan taktik-taktik yang dilakukan hacker. Perempuan yang juga mengejar mimpi bekerja di bidang digital forensik ini juga berharap agar generasi muda berani eksplorasi serta lebih sering berlatih untuk mengasah diri di dunia informatika.
Diastuti Utami
Pekerjaan: Cyber Security Engineering ( Blue Team ), Blibi.com