Investasi Kesehatan Jiwa Sekarang
Kesehatan jiwa masih dipandang sebelah mata. Padahal, jiwa yang sehat juga menjadi penentu kecepatan pemulihan penyakit fisik. Namun, investasi kesehatan jiwa di Indonesia masih rendah.
Pandemi Covid-19 yang berdampak pada semua orang membangkitkan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan jiwa yang selama ini terabaikan. Ada yang mampu bertahan, beradaptasi, bahkan berkembang, tetapi banyak pula yang harus mengalami berbagai gangguan jiwa.
Kecemasan, depresi, dan trauma psikologis lain, seperti waspada berlebihan, merasa berjarak atau terputus dengan orang lain, hingga sulit konsentrasi dan mudah tersinggung, menjadi masalah yang banyak muncul selama pandemi. Bahkan, sebagian orang berpikir atau mencoba bunuh diri yang merupakan puncak dari persoalan kesehatan jiwa.
Data Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) selama Maret-Oktober 2020 menunjukkan, makin lama pandemi, intensitas kecemasan dan depresi itu makin naik. Ketidakpastian kapan pandemi berakhir akan membuat kemunculan gangguan jiwa itu terus meningkat, bahkan hingga beberapa tahun pascapandemi dinyatakan selesai.
Ketidakpastian kapan pandemi berakhir akan membuat kemunculan gangguan jiwa itu terus meningkat, bahkan hingga beberapa tahun pascapandemi dinyatakan selesai.
Di tengah munculnya berbagai persoalan jiwa tersebut, akses layanan kesehatan jiwa yang sebelum pandemi sudah terbatas menjadi kian terhambat. Pembatasan layanan di fasilitas kesehatan ataupun kekhawatiran berkunjung ke pusat layanan membuat sebagian besar masyarakat bergantung pada komunitas untuk meluapkan beban jiwanya.
Baca juga: Antisipasi Dampak Kesehatan Jiwa akibat Pandemi
Mereka yang lebih beruntung bisa mengakses layanan telekonseling ataupun
telemedicine yang dikembangkan sejumlah pihak. Namun, jumlah mereka yang mengakses layanan itu tentu sangat kecil dibandingkan dengan jumlah orang yang memiliki gangguan.
Di luar masalah kesehatan jiwa yang mencuat selama pandemi, Indonesia masih harus menanggung beban akibat gangguan mental, perilaku, neurologis, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang selama bertahun-tahun terus menjadi persoalan kesehatan jiwa.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan, Siti Khalimah, Minggu (18/10/2020), menyebut ada 6.200-an orang dipasung, 1.800-an kasus bunuh diri setahun yang terus meningkat jumlahnya, hingga 3,3 juta kasus penyalahgunaan napza. Namun, diakui, data itu hanyalah puncak gunung es.
Stigmatisasi dan diskriminasi yang kuat terhadap orang dengan masalah atau gangguan jiwa membuat banyak keluarga dan masyarakat menutup diri. Akibatnya, banyak penderita gangguan jiwa tidak mendapatkan pengobatan cukup hingga kondisinya makin parah.
Di sisi lain, belum ditanggungnya semua layanan kesehatan jiwa oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan juga menjadi persoalan tersendiri. Bagi banyak masyarakat, layanan psikolog dan dokter spesialis bukan hanya tidak mudah, melainkan juga tidak murah. Sementara kompetensi dokter umum dalam memberikan layanan kesehatan jiwa perlu banyak ditingkatkan.
Organisasi Kesehatan Jiwa (WHO) memprediksi kesenjangan pengobatan kesehatan jiwa di negara berpendapatan menengah bawah mencapai lebih dari 80 persen. Padahal, deteksi dini dan pengobatan teratur adalah kunci pengendalian penyakit jiwa, termasuk gangguan jiwa berat seperti skizofrenia dan psikosis.
Dipandang sebelah mata
Kesehatan jiwa memang masih dipandang sebelah mata. Padahal, kesehatan jiwa sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Jiwa yang sehat juga menjadi penentu kecepatan pemulihan penyakit fisik. Tanpa kesehatan jiwa, kesehatan fisik juga percuma.
Namun, investasi untuk kesehatan jiwa masih sangat rendah. Data WHO pada 2020 menyebutkan, biaya kesehatan jiwa di negara berpenghasilan menengah bawah kurang dari 1 persen dari total biaya kesehatan. Karena itu, menyambut Hari Kesehatan Jiwa Sedunia pada 10 Oktober 2020, WHO mengingatkan kembali pentingnya investasi kesehatan jiwa.
Rendahnya investasi menjadikan pengobatan, pelayanan, hingga kebijakan untuk masalah kesehatan jiwa bukan menjadi prioritas. Meski kesehatan jiwa menjadi salah satu indikator capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), banyak pemimpin dan pengambil kebijakan yang belum memahami pentingnya kesehatan jiwa.
Baca juga: Kesenjangan Layanan Kesehatan Jiwa Tinggi
Situasi itu tecermin dari terbatasnya layanan dan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia. Sebanyak 75 persen puskemas belum memiliki layanan kesehatan jiwa. Rumah sakit umum yang memiliki layanan kesehatan jiwa juga masih sedikit. Dari 34 provinsi, empat provinsi belum memiliki rumah sakit jiwa.
Saat ini, hanya ada 1.053 dokter spesialis kedokteran jiwa, 2.800-an psikolog klinis, dan perawat kesehatan jiwa yang jumlahnya terbatas untuk 270 juta rakyat Indonesia. Mereka pun umumnya terkumpul di Jawa dan kota besar saja. Ketua Umum PDSKJI Diah Setia Utami, Rabu (14/10/2020), mengatakan, satu dokter spesialis jiwa idealnya untuk 100.000 penduduk. Artinya, Indonesia masih butuh tiga kali lipat dokter spesialis jiwa dari yang ada sekarang.
Repotnya, mereka yang mengalami gangguan jiwa itu sebagian besar justru penduduk muda usia produktif yang menjadi tumpuan Indonesia untuk bisa meraih bonus demografi yang puncaknya pada 2021 dan 2022. Kaum muda itu pula yang akan menjadi sumber daya Indonesia untuk menjadi negara maju pada tahun 2045.
Data Institute for Health Metrics and Evaluation 2017 menyebutkan, meski beban kesakitan dan kematian tertinggi di Indonesia dan dunia adalah akibat penyakit kardiovaskuler, gangguan mental menjadi penyebab tertinggi hilangnya produktivitas akibat disabilitas (YLDs). Karena itu, tanpa pengelolaan kesehatan jiwa yang baik, produktivitas bangsa sulit bersaing dengan bangsa lain.
Kesehatan jiwa juga tidak melulu soal penyakit jiwa. Untuk menciptakan manusia unggul yang menjadi visi Presiden Joko Widodo 2019-2024 juga membutuhkan dukungan kesehatan jiwa. Tingginya kemampuan kognitif ataupun penguasaan teknologi untuk menunjang produktivitas tidak akan berguna jika jiwanya tidak sehat.
Data layanan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia menunjukkan, hambatan belajar siswa menjadi persoalan psikologis yang paling banyak ditemukan selama pandemi. Situasi itu dipastikan akan mengurangi kemampuan siswa menyerap materi pelajaran hingga mengancam upaya untuk meningkatkan kompetensi serta penguasaan ilmu dan teknologi anak bangsa.
Baca juga: Meraih Bonus Demografi Tanpa Gangguan Jiwa
Kurangnya pemahaman tentang kesehatan jiwa itulah yang kini juga menjadi tantangan berat. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa sudah menyebut kesehatan jiwa sebagai kondisi yang memungkinkan bagi setiap individu untuk berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosialnya. Kondisi itu memungkinkan setiap orang menyadari kemampuannya, mengatasi tekanan yang dihadapi, produktif bekerja, dan berkontribusi bagi komunitasnya.
Dengan berbagai keterbatasan dan tantangan tersebut, ahli kesehatan mental komunitas yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Sherly Saragih Turnip, mengatakan, pemberdayaan masyarakat adalah kunci untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa.
Jejaring masyarakat yang sadar dan peduli kesehatan jiwa sangat membantu dalam mendeteksi, menangani, dan membantu pemulihan penyandang kesehatan jiwa. Keberadaan tokoh agama, tokoh masyarakat, hingga pekerja sosial masyarakat di bawah Kementerian Sosial bisa diberdayakan.
Hanya kesadaran masyarakat yang tinggi bisa mengurangi stigmatisasi dan diskriminasi. Karena itu, edukasi tentang kesehatan jiwa perlu digencarkan terus. Selama penyakit jiwa masih dianggap sebagai aib, kutukan, atau takdir, sulit menjadikan kesehatan jiwa memiliki posisi setara dengan kesehatan fisik.