Pulau Jawa dan sekitar 150 juta jiwa penduduk atau mencakup 56 persen populasi nasional 269 juta jiwa menanggung kerugian material cuma akibat erosi senilai Rp 5,9 triliun per tahun.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Pulau Jawa dan sekitar 150 juta jiwa penduduk atau mencakup 56 persen populasi nasional 269 juta jiwa menanggung kerugian material cuma akibat erosi senilai Rp 5,9 triliun per tahun.
Kerugian material itu memperlihatkan betapa rentan Indonesia babak belur dihantam bencana. Setelah malapetaka kekeringan dan kebakaran, Indonesia, termasuk Jawa, diuji dengan ancaman bencana hidrometeorologi.
Demikian terungkap dalam Forum Diskusi Denpasar 12 secara virtual dengan tema ”Waspada Bencana Nasional di Tengah Pandemi”, Rabu (21/10/2020). Kerugian material Rp 5,9 triliun per tahun yang diderita Pulau Jawa cuma dari erosi diutarakan oleh Direktur Perencanaan dan Evaluasi Pengendalian Daerah Aliran Sungai Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Saparis Soedarjanto. Kerugian material 400 juta dollar AS atau setara Rp 5,9 triliun dengan kurs saat ini.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan, posisi geografis Indonesia, termasuk kompleksitas geologi, tektonik, dan atmospheric-oceanic, menghadirkan keragaman ancaman bencana alam.
Gunung meletus, gempa bumi, tsunami, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, tanah gerak, likuefaksi, angin kencang, dan gelombang tinggi menjadi potensi bencana yang mengiringi perjalanan kehidupan bangsa Indonesia.
Saat ini, musim hujan telah hadir dan keberadaan La Nina akan meningkatkan curah hujan harian 20-40 persen. Artinya, potensi bencana hidrometeorologi meningkat. Rekaman curah hujan kurun 1900-2020, kata Dwikorita, memperlihatkan hujan ekstrem (curah hujan di atas 150 milimeter dalam sehari) mulai sering terjadi sejak 2000 atau dua dekade terakhir. Dengan begitu, ancaman banjir dan tanah longsor meningkat.
”Tidak ada cara lain kecuali adaptasi dan antisipasi. Dalam konteks pembangunan, harus memperhatikan tata ruang, jangan abaikan zona bahaya,” kata Dwikorita.
BMKG memprediksi Januari-Februari merupakan puncak musim hujan. Potensi bencana hidrometeorologi juga jadi dalam dua bulan tersebut. Namun, kesiapan dan kesiagaan harus sudah dibangun dan mantap sejak sekarang.
Tidak ada cara lain kecuali adaptasi dan antisipasi. Dalam konteks pembangunan, harus memperhatikan tata ruang, jangan abaikan zona bahaya. (Dwikorita)
Dwikorita amat menyarankan adanya sosialisasi dan latihan tanggap bencana terus-menerus untuk masyarakat. Dengan demikian, saat bencana terjadi, masyarakat dapat memahami dan menyelamatkan diri serta kemudian cepat terlibat dalam program rehabilitasi wilayah terdampak.
Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak mengatakan, secara statistik, jumlah bencana di provinsi berpenduduk 40,5 juta jiwa ini meningkat kurun 2018 dan 2019. Pada 2018 tercatat 392 kejadian bencana dengan dominasi banjir (111 peristiwa) dan angin kencang (101 peristiwa). Pada 2019, kejadian bencana menjadi 459 peristiwa dengan dominasi angin kencang (209 kejadian) dan banjir (115 kejadian).
Program antisipasi
Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan, untuk bencana yang bisa diprediksi, harus segera disiapkan dan dijalankan program antisipasi. Kemudian, memanfaatkan teknologi rekayasa cuaca.
Siti mengatakan, bencana hidrometeorologi bisa diantisipasi dengan penataan dan rehabilitasi kawasan yang terus menerus didera bencana. Dalam hal ini, pemanfaatan tata ruang yang memperhatikan potensi kebencanaan mutlak diperlukan.
Saparis menyatakan, pemerintah daerah mengambil pendekatan bentang alam sebagai penentuan program mitigasi bencana hidrometeorologi. Kawasan hulu daerah aliran sungai yang semestinya rimbun tutupan hutan patut dikembalikan dan dilestarikan. Kawasan hunian yang berada dalam wilayah mangkuk air sehingga selalu kebanjiran perlu dipindahkan atau yang terburuk ditata dengan pola adaptasi.
Deputi Operasi Pencarian Pertolongan dan Kesiapsiagaan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR) Bambang Suryo Aji mengatakan, lembaga terus meningkatkan kualitas anggota SAR untuk mempercepat respon atau tanggap bencana.
”Fokus utama kami adalah lebih cepat menyelamatkan manusia saat bencana dan menjadi yang terbaik di dunia,” kata Bambang.