Korona dan Koroner, Sama-sama Berbahaya
Penyakit koroner tak bisa diabaikan di tengah upaya negara mengatasi penyakit akibat virus korona, Covid-19. Meski tidak menular, penyakit koroner atau penyakit jantung ini sangat mematikan dalam kehidupan masyarakat.
Penyakit jantung koroner merupakan salah satu penyakit yang paling banyak menyebabkan kematian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, kewaspadaan masyarakat akan penyakit ini tetap harus dibangun di tengah penularan virus korona yang juga masih mengancam.
Gaya hidup masyarakat yang tidak sehat menjadi pemicu utama timbulnya penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah. Kebiasaan buruk tersebut meliputi kurang mengonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, merokok, serta mengonsumsi makanan dan minuman yang tinggi akan kandungan gula, garam, dan lemak.
Pada masa pandemi, kebiasaan-kebiasaan tersebut cenderung semakin sering dilakukan. Aktivitas yang lebih banyak dilakukan di rumah membuat sebagian besar orang kurang bergerak. Pilihan makanan siap saji yang dipesan lewat aplikasi pemesanan daring juga menjadi alternatif utama di tengah padatnya pertemuan di dunia maya.
Baca juga: Korban Serangan Jantung Meningkat Selama Pandemi
Dari data Riset Kesehatan Dasar 2018, proporsi konsumsi buah dan sayur di Indonesia yang sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak lima porsi per hari pada usia lebih dari 5 tahun hanya 4,5 persen. Artinya, hampir semua penduduk di Indonesia masuk kategori kurang dalam mengonsumsi sayur dan buah.
Selain itu, dari sisi aktivitas fisik, sebanyak 33,5 persen penduduk memiliki proporsi kurang pada kegiatan yang menggunakan pergerakan badan. Jumlah ini lebih tinggi dari tahun 2013 sebanyak 26,1 persen.
Faktor risiko lain yang patut diwaspadai sebagai penyebab penyakit jantung koroner adalah kebiasaan merokok. Dari data yang sama, jumlah perokok di Indonesia, terlebih pada perokok pemula, meningkat. Pada 2013, prevalensi merokok pada usia lebih dari 10 tahun sebanyak 28,8 persen dan meningkat menjadi 29,3 persen pada 2018.
Dewan Penasihat dan Dewan Etik Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (Perki) Anwar Santoso, Sabtu (17/10/2020), mengatakan, kebiasaan-kebiasaan dalam gaya hidup yang tidak sehat harus diubah sedini mungkin. Jika tidak, risiko terjadi penyakit tidak menular, termasuk penyakit jantung, menjadi sangat tinggi.
Baca juga: Tren Hidup Sehat Pascapandemi Covid-19
Penyakit jantung koroner (PJK) adalah gangguan yang terjadi pada fungsi jantung akibat penyempitan pembuluh darah koroner akibat plak yang menumpuk di bagian dalam dinding pembuluh darah koroner. Pembuluh darah ini berfungsi menyupai oksigen dan zat makanan ke otot jantung.
Apabila terjadi penyempitan, fungsi tersebut akan terganggu dan berdampak ke seluruh tubuh. Pada orang yang mengalami penyakit jantung koroner dapat berisiko mengalami gangguan irama jantung, gagal jantung, bahkan mengalami kematian mendadak.
Di Indonesia, angka kejadian penyakit jantung koroner cukup tinggi. Dari data Riskesdas 2018, sebanyak 15 orang dari 1.000 penduduk mengalami penyakit jantung koroner atau sekitar 4,2 juta penduduk. Sementara jumlah kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah mencapai 35 persen dari kematian yang tercatat pada 2018.
Pencegahan
Risiko penyakit mematikan ini sebenarnya bisa dikurangi, bahkan dicegah. Hal itu bisa dilakuan, tentu saja, dengan mengurangi faktor-faktor penyebabnya, di antaranya mengubah gaya hidup menjadi perubahan perilaku yang lebih baik.
”Faktor risiko terjadi penyakit jantung koroner ini bisa dicegah melalui perubahan perilaku. Promosi kesehatan harus terus dilakukan dan mulai ditanamkan sejak dini di tingkat sekolah. Aturan yang tegas juga seharusnya diberlakukan dalam pembatasan konsumsi makanan yang tinggi gula, garam, dan lemak,” tutur Anwar.
Selain gaya hidup, faktor risiko lain yang juga bisa menyebabkan terjadi penyakit jantung koroner adalah faktor usia, jenis kelamin, dan keturunan. Penyakit ini lebih berisiko terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Baca juga: Perokok Lebih Berisiko Terinfeksi Covid-19 dengan Gejala Berat
Wakil Sekretaris Jenderal Perki Ade Meidian Ambari menyatakan, penyakit jantung koroner juga bisa dicegah melalui pemeriksaan rutin. Dengan mengontrol gangguan kesehatan yang dialami, risiko terjadi penyakit tersebut bisa dicegah. Itu, antara lain, dengan mengontrol tekanan darah dan berat badan.
Seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan mengalami kegemukan atau obesitas sangat berisiko terhadap penyakit jantung koroner. Karena itu, apabila memiliki faktor risiko tersebut, pemeriksaan rutin harus tetap dilakukan setidaknya sebulan sekali.
Pada orang dengan riwayat darah tinggi, sebaiknya memiliki alat pengukur tekanan darah di rumah. Hal ini disarankan karena selama masa pandemi Covid-19, pelayanan di fasilitas kesehatan menjadi terbatas.
Jika memungkinkan, pemeriksaan rutin tetap bisa dilakukan. Tentu saja catatannya, hal itu agar dilakukan dengan memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan baik dan dokter-pasien melakukan temu janji terlebih dulu.
”Antisipasi terhadap penularan Covid-19 sangat penting, terutama bagi pasien dengan penyakit penyerta. Pada kasus yang ditemukan, sebagian besar pasien Covid-19 yang dirawat dengan penyakit penyerta adalah pasien dengan penyakit kardiovaskular (jantung dan pembuluh darah),” kata Ade.
Setidaknya, dari 50 persen pasien Covid-19 yang dirawat dengan penyakit penyerta memiliki gangguan kardiovaskular. Selain itu, sebanyak 10,5 persen pasien Covid-19 dengan penyakit kardiovaskular yang dirawat di ruang intensif meninggal.
Karena itu, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma, yang juga Direktur Perencanaan, Organisasi, dan Umum Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, menyampaikan, pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi pasien dengan penyakit kardiovaskular harus memenuhi kaidah pencegahan penularan Covid-19. Meski pembatasan layanan diberlakukan di rumah sakit, pasien masih bisa melakukan kontrol rutin dengan memanfaatkan teknologi telehealth atau konsultasi kesehatan jarak jauh.
Teknologi ini dapat mendukung konsultasi jarak jauh antara pasien dan dokter secara daring. Pasien yang berada jauh dari fasilitas kesehatan pun tetap bisa meneruskan program pengobatannya tanpa harus datang ke rumah sakit. Namun, jika pasien mengalami gejala yang berat, pengobatan langsung ke fasilitas pelayanan kesehatan tetap harus diutamakan dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19.
Virus korona yang menyebabkan Covid-19 memang berbahaya. Namun, masyarakat juga tetap harus waspada akan risiko terjadi penyakit jantung koroner.
”Virus korona yang menyebabkan Covid-19 memang berbahaya. Namun, masyarakat juga tetap harus waspada akan risiko terjadi penyakit jantung koroner. Karena itu, upaya pencegahan dan deteksi dini adalah yang paling penting. Jangan sampai pandemi ini memperburuk beban penyakit di Indonesia,” katanya.
Korona dan koroner sama-sama berbahaya dan bisa membawa akibat fatal bagi kesehatan dan kehidupan manusia. Namun, risiko akan penyakit menular dan penyakit tidak menular itu bisa sama-sama dikurangi dengan menerapkan perilaku dan kebiasaan baru yang baik.
Korona bisa dihindari dengan memakai masker dengan benar, mencuci tangan di air mengalir, dan menjauhi kerumunan. Koroner bisa dicegah dengan memperbanyak konsumsi sayur serta buah, stop merokok, meningkatkan aktivitas fisik, serta mengurangi konsumsi garam, gula, dan lemak.