Perlu Politik Pencegahan Korupsi
Perlu komitmen segenap pemangku kepentingan, terutama pembentuk UU, DPR dan pemerintah, untuk menjadikan reformasi sistem pemilu, pilkada, dan parpol sebagai pilihan strategi baru pencegahan korupsi.
Sistem politik demokrasi yang berkembang pesat sejak pengunduran diri Presiden Soeharto pada 1998, antara lain, didorong penolakan masif publik terhadap praktik KKN oleh rezim otoriter Orde Baru.
Namun, setelah lebih dari dua dekade, alih-alih berkurang, praktik korupsi justru kian meluas, tak hanya di jajaran pemerintah, tetapi juga di lembaga perwakilan rakyat dan lembaga peradilan, di tingkat pusat hingga daerah. Gegap gempita demokrasi berbanding lurus dengan semakin maraknya tindak pidana korupsi.
Mengapa sistem yang kian terbuka dan demokratis tak kunjung memberikan kontribusi signifikan bagi tegaknya pemerintahan yang bersih dan hadirnya penyelenggara negara yang berintegritas dan akuntabel.
Baca juga: Korupsi Menenggelamkan Demokrasi
Apa yang salah? Faktor korupsi di negeri kita terlampau kompleks, mulai dari warisan sistem otoriter-sentralistik, reformasi institusional yang tambal-sulam, melembaganya kultur birokrasi patrimonial, hingga sikap permisif masyarakat terhadap politik uang dan korupsi.
Belum lagi soal sistem penggajian aparatur negara yang relatif kecil sehingga turut mendorong terjadinya korupsi. Tak kalah penting, manajemen dan/atau sistem administrasi keuangan negara yang masih memiliki celah dan membuka peluang korupsi serta sistem pengawasan dan penegakan hukum yang lemah.
Gegap gempita demokrasi berbanding lurus dengan semakin maraknya tindak pidana korupsi.
Tulisan ini hanya fokus pada tata kelola politik dan demokrasi kita sekitar dua dekade pasca-Orde Baru dan didasarkan pada asumsi subyektif penulis bahwa korupsi di negeri kita sesungguhnya bersumbu atau berakar tunjang di politik. Politik yang koruptif, tak terkoreksi secara mendasar, cenderung bersifat personal dan oligarkis, serta praktik berdemokrasi yang menafikan urgensi hadirnya sistem saling mengawasi secara seimbang (checks and balances) di antara cabang-cabang kekuasaan politik, baik secara vertikal maupun horizontal.
Demokrasi dan korupsi
Secara teori, sistem demokrasi sebenarnya merupakan konsep yang meminimalkan korupsi. Mengapa? Sebab, konsep demokrasi memungkinkan kekuasaan didistribusikan dan tak terpusat seperti dalam sistem otoriter. Selain itu, di dalam demokrasi, pengelolaan kekuasaan dilakukan secara transparan karena dikontrol para wakil rakyat terpilih, oleh publik melalui pers yang bebas dan civil society yang otonom, serta bekerjanya sistem checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan.
Baca juga: Tantangan dan Harapan Penegakan Hukum Korupsi 2020
Meski sistem demokrasi kita memenuhi semua syarat itu, pemenuhan tersebut hanya formal prosedural belaka. Pemilu dan pilkada yang berlangsung bebas dan demokratis menghasilkan wakil dan pejabat publik terpilih yang diajukan parpol. Namun, perlu dicatat, hampir tak ada proses perekrutan politik yang dilakukan secara terbuka, demokratis, dan akuntabel.
Juga belum ada perekrutan berbasis sistem kaderisasi yang inklusif, berkala, berjenjang, dan berkesinambungan. Akibatnya, faktor popularitas, kepemilikan modal finansial, dan kedekatan personal-nepotis para kandidat dengan pengurus parpol lebih menjadi acuan subyektif proses kandidasi ketimbang kapasitas, kompetensi, dan komitmen kandidat bagi perbaikan kehidupan kolektif.
Di sisi lain, relatif belum terbangun kultur oposisi yang memungkinkan bekerjanya sistem saling kontrol antarcabang kekuasaan. Hampir semua parpol di parlemen berlomba menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif sehingga sebagian kebijakan luput dari kritik dan koreksi mendasar. Realitas politik seperti ini berdampak pada praktik demokrasi yang lebih dikendalikan kepentingan oligarki ketimbang kehendak rakyat.
Namun, perlu dicatat, hampir tak ada proses perekrutan politik yang dilakukan secara terbuka, demokratis, dan akuntabel.
Singkatnya, sistem demokrasi yang berkembang pesat sejak 1999 relatif belum berkontribusi signifikan bagi peningkatan kualitas akuntabilitas dan integritas elite politik serta tata kelola pemerintahan yang baik. Pemilu dan pilkada semakin bebas dan langsung, tetapi politik uang dan korupsi tetap marak dan cenderung meluas.
Kekuasaan politik kian terdistribusi ke samping dan lebih terdesentralisasi ke daerah, tetapi kualitas akuntabilitas hampir semua tingkat kekuasaan relatif belum membaik. Penegakan supremasi hukum yang diharapkan mampu mengawal demokrasi dan menghindarkan kekuasaan dari perangkap korupsi dan pembusukan masih jauh dari harapan.
Baca juga: Seriuskah Parpol Ikut Memberantas Korupsi?
Tak heran, dalam indeks demokrasi yang disusun The Economist Intelligence Unit (EIU), beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk kategori ”demokrasi yang cacat” (flawed democracy). Lima variabel yang digunakan EIU: (1) proses elektoral dan pluralisme, (2) keberfungsian pemerintahan, (3) partisipasi politik, (4) kultur politik, dan (5) kebebasan sipil. Posisi Indonesia bahkan di bawah Timor Leste, Malaysia, dan Filipina serta di atas Singapura.
Reformasi pemilu dan pilkada
Pemilu dan pilkada yang sekadar bebas, demokratis, dan langsung tak ada artinya jika cenderung menghasilkan tata kelola pemerintahan yang buruk dan elite penyelenggara negara yang korup. Diperlukan reformasi dan perbaikan terus-menerus menuju sistem dan/atau format pemilu serta pilkada yang meminimalkan potensi korupsi penyelenggara negara dan memaksimalkan tegaknya tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas korupsi. Salah satu langkah yang perlu dilakukan: mencegah pemilu, khususnya pemilu legislatif, sebagai proses politik berbiaya tinggi.
Politik berbiaya tinggi juga terjadi saat para caleg membeli suara konstituen menjelang pemungutan suara.
Mengingat parpol belum melembagakan proses rekrutmen secara terbuka, demokratis, dan akuntabel, maka calon anggota legislatif yang lebih berpeluang adalah mereka yang populer dan memiliki modal finansial cukup. Politik berbiaya tinggi juga terjadi saat para caleg membeli suara konstituen menjelang pemungutan suara. Studi Edward Aspinall dan Ward Berenschot, Democracy for Sale (2019), dan kajian Burhanuddin Muhtadi, Kuasa Uang (2020), mengonfirmasi betapa masif politik uang yang bergulir saat pemilu dan pilkada.
Politik berbiaya tinggi pilkada terjadi ketika tak semua parpol bisa mengajukan pasangan calon (paslon) karena ada syarat ambang batas persentase perolehan minimum 20 persen kursi atau 25 persen suara bagi parpol/gabungan parpol pengusung. Akibatnya, terjadi jual-beli kursi dan/atau suara antara para paslon, parpol pendukung, dan parpol pengusung dalam bentuk ”mahar politik”. Para paslon akhirnya mencari dukungan finansial dari para pemodal atau pengusaha yang tentu saja berharap bisa menikmati kucuran proyek dari sang paslon terpilih pasca-pilkada.
Baca juga: Korupsi Korporasi dan Korupsi Partai Politik
Menurut riset terbatas KPK (2017), biaya politik yang harus dikeluarkan paslon bupati/wali kota dan gubernur Rp 20 miliar-Rp 100 miliar. Tak heran sebagian besar kandidat butuh sponsor, yang umumnya kalangan pengusaha, sebagai sumber pembiayaan. Modus operandi mayoritas tindak pidana suap dan korupsi kepala daerah yang ditangani KPK memperkuat itu: pemberian hadiah/janji/suap dari para pengusaha yang memenangi tender proyek yang sudah ”diatur” sebelumnya.
Oleh karena itu, dalam rangka reformasi pemilu legislatif, perlu dipertimbangkan untuk beralih ke sistem proporsional tertutup karena sistem proporsional terbuka seperti berlaku saat ini cenderung memfasilitasi maraknya politik uang.
Sistem proporsional terbuka juga membuat para wakil terpilih terasing dari aspirasi rakyat dan partainya sendiri. Alternatif lain, mengadopsi sistem paralel —salah satu varian sistem pemilu campuran yang mengombinasikan sistem proporsional dan sistem mayoritarian (distrik) secara bersamaan—seperti ditawarkan oleh kajian LIPI sejak 2013.
Sistem proporsional terbuka juga membuat para wakil terpilih terasing dari aspirasi rakyat dan partainya sendiri.
Selain kebutuhan perubahan sistem pemilu, negara perlu mewajibkan parpol melembagakan sistem perekrutan yang terbuka, demokratis, dan akuntabel sehingga terpilih kandidat dan wakil rakyat yang kompeten, memiliki rekam jejak baik dan komitmen kebangsaan kuat.
Syarat ambang batas pencalonan yang terlampau tinggi perlu dipertimbangkan untuk ditiadakan atau diperkecil sehingga masyarakat tak hanya memiliki banyak pilihan paslon, tetapi juga bisa meminimalisasi jual-beli dukungan di antara parpol. Fenomena kian maraknya calon tunggal menjelang pilkada serentak 2020 merupakan dampak dari syarat ambang batas pencalonan yang terlampau tinggi.
Akibat syarat ambang batas ketat, sebagian parpol memanfaatkan momentum pilkada sebagai ajang berburu rente ketimbang mempromosikan kader partai mereka untuk turut berkompetisi secara fair dan demokratis dalam pilkada. Tak jarang kandidat yang diusung cacat moral: mantan narapidana kasus korupsi, bahkan masih berstatus tersangka.
Reformasi parpol
Di luar kebutuhan obyektif akan reformasi sistem pemilu/pilkada, tak kalah penting adalah reformasi parpol itu sendiri. Reformasi parpol bahkan merupakan hulu dari reformasi sistem pemilu dan pilkada. Korupsi politik pada dasarnya berakar pada parpol yang dikelola secara tak sehat, personal, tertutup, oligarkis, dan tanpa komitmen ideologis yang jelas. Reformasi pemilu dan pilkada tidak ada artinya jika karakter institusi parpol dan watak para elite parpol tidak berubah.
Arah reformasi parpol sekurang-kurangnya mencakup dua tujuan. Pertama, pemulihan esensi parpol sebagai badan hukum publik yang menempatkan anggota dan kader sebagai pemegang kedaulatan tertinggi partai.
Kepemimpinan sebagian parpol yang berada di tangan para individu ”orang besar” pendiri dan/atau ketua umum partai perlu direformasi. Begitu pula personalisasi tata kelola parpol, seolah-olah sebagai badan hukum privat milik sang pendiri/ketua umum, harus diubah ke arah organisasi modern yang terbuka, institusional, dan demokratis serta menjadi milik anggota.
Reformasi pemilu dan pilkada tidak ada artinya jika karakter institusi parpol dan watak para elite parpol tidak berubah.
Kedua, membangun sistem integritas parpol agar bisa meminimalkan potensi penyelewengan serta terhindar dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam kajian bersama antara KPK dan LIPI sejak 2016, diidentifikasi lima elemen sistem integritas parpol yang perlu dilembagakan, yakni: (1) standar etik dan penegakannya; (2) demokrasi internal, termasuk urgensi desentralisasi sebagian kewenangan parpol; (3) sistem kaderisasi yang inklusif, berkala, berjenjang, dan berkesinambungan; (4) sistem rekrutmen politik yang terbuka, demokratis, dan akuntabel; serta (5) tata kelola keuangan yang transparan dan akuntabel.
Namun, reformasi parpol tak mungkin berlangsung jika parpol tak memiliki sumber pendanaan memadai. KPK pada 2019 merekomendasikan peningkatan subsidi negara bagi parpol secara signifikan, mencakup 50 persen dari kebutuhan biaya tahunan parpol. Nominal subsidi negara yang direkomendasikan Rp 8.461 per suara, diberikan bertahap kepada parpol yang memperoleh kursi di DPR.
Dengan demikian, tak ada alasan bagi parpol menunda reformasi diri secara internal karena kebutuhan minimum pembiayaan parpol disubsidi oleh negara. Untuk mengikat kewajiban parpol mereformasi diri dan kewajiban negara menyubsidi parpol, perlu perubahan mendasar atas UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Politik pencegahan korupsi
Reformasi sistem pemilu, pilkada, dan parpol, menurut hemat saya, bisa menjadi pilihan strategi baru pencegahan korupsi di negeri kita. Berbagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi yang menafikan urgensi reformasi sektor politik mungkin tampak berhasil di permukaan, tetapi dalam realitasnya acap kali hanya bergerak di tempat. Tak heran, tindak pidana korupsi tetap marak kendati intensitas upaya penindakan atas para koruptor terus meningkat dari waktu ke waktu.
Keniscayaan reformasi sektor politik kian mendesak jika dihubungkan dengan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang relatif masih rendah. Meskipun IPK pada 2019 sedikit meningkat dibandingkan dengan 2018, dari skor 38 ke 40 (skala 0-100), dan berada di peringkat ke-85 dari 180 negara yang disurvei Transparency International, kenaikan itu lebih dikontribusikan oleh IPK sektor nonpolitik dan hukum.
Tak heran, tindak pidana korupsi tetap marak kendati intensitas upaya penindakan atas para koruptor terus meningkat dari waktu ke waktu.
IPK Indonesia merupakan skor agregat dari sembilan indeks berbasis survei berskala global dan regional. Tiga indeks di antaranya political and economic risk consultancy, varieties democracy project, dan world justice project, bahkan memberikan kontribusi skor paling rendah bagi IPK Indonesia, masing-masing 36, 28, dan 21.
Padahal, tiga indeks itu, antara lain, berkaitan dengan pengukuran persepsi korupsi elite politik tingkat nasional dan daerah, kualitas tata kelola demokrasi, dan persepsi penegakan supremasi hukum serta penyalahgunaan kewenangan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Artinya, reformasi sektor politik suatu keniscayaan jika kita ingin terus meningkatkan skor IPK, selain urgensi konsistensi penegakan supremasi hukum.
Namun, reformasi sektor politik sebagai strategi baru pencegahan korupsi tak mungkin hanya dilakukan KPK meski perbaikan sistem, termasuk regulasi, merupakan salah satu area fokus KPK saat ini. Perlu komitmen segenap pemangku kepentingan, terutama pembentuk UU, yakni partai-partai di DPR dan pemerintah, untuk menjadikan reformasi sistem pemilu, pilkada, dan parpol sebagai pilihan strategi baru pencegahan korupsi ke depan. Partisipasi masyarakat sipil diperlukan untuk mendorong dan meyakinkan berbagai elemen negara bahwa reformasi sektor politik suatu keniscayaan dalam upaya pencegahan korupsi.
Syamsuddin Haris, Profesor Riset LIPI.