Selain menjadi sumber pangan, sagu juga berpotensi diolah menjadi berbagai produk turunan. Pemerintah mendorong pengembangan industri hilir berbasis sagu guna meningkatkan nilai tambah dan pendapatan daerah.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sagu dinilai menjadi sumber potensial untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Selain menjadi bahan pangan pokok, sagu juga bisa diolah menjadi aneka produk turunan. Oleh karena itu, pemerintah mendorong penghiliran industri berbahan baku sagu.
Hilirisasi sagu mengemuka dalam Pekan Sagu Nusantara 2020 yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan melibatkan 13 provinsi penghasil sagu. Ke-13 provinsi itu ialah Papua, Papua Barat, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Bangka Belitung, dan Aceh.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, sejumlah negara tetangga Indonesia memproduksi sagu, seperti Malaysia, Papua Niugini, dan Filipina. ”Hal ini menggelitik saya. Jangan sampai pengembangan industri hilir sagu di negara-negara itu lebih maju dari Indonesia,” katanya saat pembukaan Pekan Sagu Nusantara 2020, Selasa (20/10/2020).
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, luas lahan sagu di Indonesia mencapai 5,5 juta hektar. Dari luas itu, yang dimanfaatkan berkisar 5,79 persen atau setara dengan 314.000 hektar. Sebanyak 96 persen dari lahan yang dimanfaatkan merupakan perkebunan rakyat.
Diharapkan, proporsi pemanfaatan lahan itu dapat meningkat jadi 15 persen. Di hilir, sagu mesti menopang ketahanan pangan nasional berbasis kearifan lokal. ”Saat ini posisi pangan Indonesia masih bergantung pada ketersediaan beras. Namun, kondisi di masa mendatang, sekitar tahun 2050, kelangkaan bisa saja terjadi bila tidak dikembangkan pangan lain sebagai sumber nasional,” ujarnya.
Tak hanya untuk pangan, hilirisasi sagu juga dapat dimanfaatkan oleh industri lain. Misalnya, pati dari sagu dapat diolah menjadi etanol sebagai bahan pengganti bahan bakar fosil, fruktosa untuk industri makanan-minuman, serta glukosa yang diolah menjadi asam organik untuk industri kimia dan farmasi, serta energi.
Pandemi Covid-19 membuat usaha pengolahan sagu menjadi tumpuan kegiatan ekonomi daerah. Hasilnya, antara lain, berupa tepung sagu, beras analog sagu, dan beragam kue dari sagu. Pemerintah berharap, industri melihat dan memanfaatkan sagu sehingga nilai keekonomiannya meningkat.
Agar dapat memasyarakatkan sagu, Wakil Rektor Bidang Inovasi, Bisnis, dan Kewirausahan IPB University Erika Budiarti Laconi menilai, Indonesia harus menempatkannya sejajar dengan beras. Produk pangan berbasis sagu mesti dipasarkan di gerai-gerai skala menengah ke atas hingga kantin-kantin yang bisa diakses konsumen.
Dalam kesempatan yang sama, Perum Bulog meluncurkan Sago Mee, produk mi instan berbahan baku sagu. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyatakan, produk ini termasuk dalam lini bisnis komersial.
Pengakuan negara
Melalui video yang telah direkam, Gubernur Papua Lukas Enembe berharap, Pekan Sagu Nusantara tak sekadar acara seremonial. ”Lebih dari itu, acara ini merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan negara terhadap sagu yang merupakan identitas orang Papua dan bagian dari sosial budayanya,” katanya.
Luas lahan sagu potensial di Papua mencapai 4,7 juta hektar dan mendominasi area nasional. Potensi produksi pati dari sagu mencapai sekitar 13,6 juta ton per tahun.
Dia mengimbau masyarakat yang terlibat dalam pengembangannya agar dapat menjaga hutan sagu secara berkelanjutan dan memperhatikan kelestariannya. ”Usaha mikro, kecil, dan menengah yang mengolah sagu diharapkan membuat produk dengan cita rasa yang diminati konsumen sehingga sagu dapat menjadi ikon kemandirian pangan lokal dan menggantikan beras,” tuturnya.