Pemberian vaksin tidak serta-merta menghindarkan dari reinfeksi. Upaya penyediaan vaksin agar tidak hanya dari impor, tetapi juga agar berupaya mencukupinya dari dalam negeri.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bukti-bukti terbaru menunjukkan, kekebalan terhadap infeksi Covid-19 bersifat sementara sehingga pemberian vaksin kemungkinan harus diulang. Hal ini berdampak pada besarnya kebutuhan vaksin sehingga penting bagi Indonesia untuk membuat sendiri dan tidak tergantung dari impor.
”Vaksin dari mana pun tidak bisa menjaga imun seumur hidup. Kita tetap harus punya kemampuan untuk menghadirkan atau menyediakan vaksin yang dibuat di dalam negeri,” kata Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang PS Brodjonegoro secara daring, Selasa (20/10/2020).
Menurut Bambang, upaya untuk membeli vaksin dari luar negeri hanya menjadi opsi jangka pendek. ”Kita memang ada beli (vaksin) langsung, tetapi diutamakan yang ada alih teknologi. Bukan hanya dengan China, tetapi dengan Korea Selatan dan Turki,” katanya.
Sementara untuk menjawab kebutuhan jangka menengah dan panjang, menurut Bambang, saat ini tengah disiapkan calon vaksin merah putih oleh enam lembaga, yaitu Lembaga Eijkman, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga, dan Universitas Gadjah Mada. ”Semoga keenamnya berhasil membuat vaksin dengan memenuhi kriteria keamanan dan efikasi,” ujarnya.
Di antara enam lembaga ini, menurut Bambang, kandidat vaksin dari Eijkman dan Universitas Indonesia akan segera diujikan pada hewan. ”Dua vaksin ini yang nantinya akan diserahkan ke Biofarma. Kalau semua lancar, Januari 2021 atau paling lambat Februari 2021 bibit vaksin akan diserahkan,” katanya.
Untuk mendukung pembuatan vaksin ini, sejauh ini Indonesia telah mengirim 114 whole genome sequencing (WGS) atau total genom dari virus SARS-CoV-2 yang dianalisis dari spesimen pasien positif Covid-di Indonesia ke GISAID atau bank data virus dunia.
540 juta
Bambang mengatakan, untuk mencapai kekebalan komunitas, vaksin minimal harus diberikan kepada 75 persen populasi atau 180 juta penduduk. Jika pemberiannya diulang dua kali, minimal dibutuhkan 360 juta dosis. Sementara jika harus diberikan kepada semua penduduk, kebutuhan vaksin untuk dua kali pemberian mencapai 540 juta dosis.
Karena kebutuhan vaksin sangat besar, menurut Bambang, Biofarma kemungkinan tidak bisa melakukannya sendiri. Karena itu, akan diupayakan kerja sama dengan beberapa perusahana lain, seperti Kalbe Farma, PT Sanbe Farma, PT Daewoong Pharmaceutical Company Indonesia, PT Biotis, dan Tempo Scan. ”Beberapa dari mereka sudah berinvestasi dan sudah mengurus izin ke BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), sebagian lagi sedang mempersiapkan rencana investasi dan izin tersebut,” katanya.
Berdasarkan data covid-19vaccinetracker, saat ini terdapat 213 vaksin yang tengah dikembangkan dan 36 di antaranya tengah menjalani uji klinis. Sebelas vaksin tengah menjalani uji klinis fase tiga dan belum satu pun yang selesai. Namun, enam di antaranya telah mendapatkan persetujuan untuk digunakan dalam kondisi darurat (emergency use authorization/EUA) di Rusia dan China.
Vaksin dari Indonesia sejauh ini belum terdaftar. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio menyatakan akan mendaftarkan vaksin yang dibuat setelah dilakukan uji pada hewan, yang diperkirakan dilakukan akhir bulan ini.
Sesuai dengan ketentuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), EUA bisa digunakan untuk produk medis guna mendiagnosis, mengobati, atau mencegah penyakit atau kondisi mengancam jiwa yang disebabkan oleh wabah, seperti Covid-19, ketika tidak ada alternatif yang memadai, disetujui, dan tersedia. Meski demikian, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat menyatakan, untuk mengeluarkan EUA, harus dipastikan bahwa manfaat yang diketahui dan potensial dari suatu produk lebih besar daripada risiko yang diketahui. Penentuan manfaat-risiko tidak dapat diterapkan untuk vaksin yang hanya memiliki manfaat kecil atau yang tidak memiliki cukup data untuk dianalisis profil keamanan.
Infeksi ulang
Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet Infectious Diseases, secara daring 12 Oktober 2020, menyebutkan adanya kasus infeksi ulang Covid-19 pertama yang dikonfirmasi di Amerika Serikat. Temuan ini menunjukkan bahwa paparan virus mungkin tidak menjamin kekebalan pada masa depan.
Pasien yang mengalami infeksi ulang ini adalah pria Nevada berusia 25 tahun, yang dipastikan terinfeksi dengan dua varian SARS-CoV-2 berbeda dalam jangka waktu 48 hari. Infeksi kedua lebih parah daripada yang pertama, mengakibatkan pasien dirawat di rumah sakit dengan bantuan oksigen.
Kajian yang ditulis oleh Richard L Tillert dari Nevada Institute of Personalized Medicine, University of Nevada, dan tim ini menyebutkan adanya empat kasus infeksi ulang lainnya yang dikonfirmasi secara global, dengan masing-masing satu pasien di Belgia, Belanda, Hong Kong, dan Ekuador. Para peneliti ini mengatakan, kemungkinan infeksi ulang dapat berdampak besar pada upaya pembuatan vaksin.
”Kemungkinan infeksi ulang dapat memiliki implikasi yang signifikan bagi pemahaman kita tentang kekebalan Covid-19, terutama jika tidak ada vaksin yang efektif,” kata Mark Pandori, anggota tim peneliti dari University of Nevada.