Wakil Gubernur DKI: Naturalisasi dan Normalisasi Satu Konsep untuk Kendalikan Banjir
›
Wakil Gubernur DKI:...
Iklan
Wakil Gubernur DKI: Naturalisasi dan Normalisasi Satu Konsep untuk Kendalikan Banjir
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza. menilai konsep naturalisasi dan normalisasi bisa berkesesuaian untuk pengendalian banjir. Tidak perlu membanding-bandingkan serta mempersoalkan kedua konsep itu.
Oleh
Helena F Nababan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menilai, konsep naturalisasi ataupun normalisasi, keduanya bisa diterapkan untuk penanggulangan banjir di DKI Jakarta. Ia meminta kedua konsep itu tidak dibanding-bandingkan.
”Normalisasi itu satu program yang dibuat pemerintah pusat karena 13 sungai di bawah pemerintah pusat. Kami di Pemprov DKI memiliki program naturalisasi. Dua-duanya bisa diterapkan dengan melihat situasi dan kondisi mana sungai yang bisa kita lakukan dengan normalisasi dan mana yang naturalisasi,” kata Ahmad Riza di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (20/10/2020).
Ahmad Riza menilai, karena kedua konsep itu memiliki tujuan baik untuk pengendalian banjir, ia meminta untuk tidak membanding-bandingkan kedua konsep itu. Dalam pelaksanaannya, tinggal dipastikan, titik mana yang tepat dengan normalisasi dan titik mana yang tepat dengan naturalisasi.
Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Firdaus Ali yang ditemui, Senin (19/10/2020), di DPRD DKI Jakarta seusai rapat Panitia Khusus (Pansus) Banjir DPRD DKI Jakarta, ia menilai, karena kondisi kali-kali di Jakarta saat ini sudah tidak normal, kali-kali di Jakarta harus dinormalisasi. Konsep naturalisasi, menurut dia, lebih ke penataan estetika sungai.
Dengan normalisasi, artinya, kali-kali yang ada saat ini lebarnya sudah menyempit karena okupansi lahan. Dengan demikian, warga yang tinggal di kanan dan kiri kali mesti dipindahkan dan lahan dibebaskan supaya lebar kali bisa dikembalikan ke lebar semula, dinding kali diperkuat dengan dinding beton, dan kemudian kali dikeruk untuk membuat lebih dalam.
Firdaus Ali kembali mengingatkan Pemprov DKI Jakarta, hal itu sudah sesuai dengan kesepakatan antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta pada 2015. Kesepakatan tersebut ialah pemerintah pusat menjamin proses fisik konstruksi untuk normalisasi kali. Namun, untuk memindahkan warga, membebaskan lahan, sudah disepakati itu menjadi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta.
Seperti diketahui, program normalisasi kali itu menyentuh sejumlah kali, yaitu Kali Ciliwung, Pesanggarahan, Angke, dan Sunter. Untuk Kali Ciliwung, dari luas lahan 46,67 hektar, yang sudah dibebaskan 16 hektar.
Normalisasi di Kali Ciliwung tercatat sudah berhenti sejak 2017, yaitu sejak tidak ada lagi lahan di sekitar kali yang dibebaskan. Itu membuat Kementerian PUPR tidak lagi mengalokasikan anggaran normalisasi sampai tahun ini.
”Lahannya tidak dibebaskan, masa kita anggarkan? Kasihan yang lain. lebih baik kita pindahkan ke daerah lain,” kata Firdaus.
Padahal, lanjut Firdaus, Kementerian PUPR sangat berkomitmen untuk menuntaskan normalisasi itu. Karena, dengan normalisasi, kapasitas tampung Kali Ciliwung yang saat ini 250 meter kubik per detik ditingkatkan menjadi 570 meter kubik per detik. Artinya, upaya mengendalikan banjir dilakukan.
Sayangnya, kesepakatan itu tidak dilanjutkan DKI. ”Ketika berganti pimpinan karena pimpinan merasa tidak perlu membebaskan lahan, ya, kami dari pemerintah pusat tidak bisa memaksa. Karena, ya, memang tidak mungkin kami membangun, tetapi kemudian berhadapan dengan masyarakat. Itu tanggung jawabnya DKI,” kata Firdaus.
Untuk itu, supaya normalisasi bisa kembali dilakukan, Kementerian PUPR meminta Pemprov DKI kembali melanjutkan pembebasan lahan di sekitar bantaran kali.
Bendungan pengendali banjir
Terkait dengan komitmen pemerintah pusat menanggulangi banjir di Jakarta, Firdaus Ali menyebutkan, saat ini dua bendungan yang sedang dibangun Kementerian PUPR terus diupayakan selesai. Kedua bendungan itu adalah Bendungan Sukamahi dan Ciawi di Bogor.
Kedua bendungan yang tergolong sebagai dry dam atau bendungan yang kering pada musim kemarau dan terisi pada musim hujan diperkirakan selesai pengerjaannya pada 2021 atau selambatnya tahun 2022. Dengan adanya kedua bendung itu, saat hujan di puncak terjadi, air akan ditampung dan ditahan sehingga air tidak langsung mengalir ke Jakarta (muara).
”Kita fokus menyelesaikan keduanya. Karena itu sangat membantu sekali, setidaknya bisa menahan air beberapa jam, air tidak langsung menggelontor ke Jakarta sehingga mengurangi jumlah wilayah tergenang,” katanya.
Meski begitu, pengendalian banjir juga tidak hanya dengan pembangunan bendung, tetapi di Jakarta juga harus dilakukan pelebaran sungai dan pembangunan tanggul pantai.