Perjelas Desain Penegakan Hukum
Desain penegakan hukum dalam setahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Amin dinilai belum terlihat jelas. ”Politik hukumnya belum ada, sebenarnya hukum mau dibawa ke mana tidak tahu,” kata Zainal Arifin Mochtar.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dinilai perlu untuk kembali memikirkan arah penegakan hukum melalui dokumen cetak biru yang terkonstruksi dengan baik. Dengan begitu, politik hukum dalam penegakan hukum itu lebih dapat diimplementasikan sesuai arah yang dimaksud oleh negara.
Jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas, 14-16 Oktober 2020, terhadap 529 responden, menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang relatif rendah terhadap pemerintahan Jokowi-Amin di bidang penegakan hukum. Sebanyak 46,1 persen responden tidak yakin. Adapun 44,6 persen responden mengaku yakin.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, yang dihubungi, Rabu (21/10/2020), mengatakan, persepsi publik yang cenderung tidak yakin terhadap pemerintahan Jokowi-Amin dalam penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya ialah karena makin terbukanya akses informasi dan tumbuhnya kalangan muda terdidik yang semakin cerdas dalam menyikapi kebijakan dan proses bernegara, termasuk dalam penegakan hukum dan pembentukan UU.
”Negara idealnya merespons hal ini dengan meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan tidak hanya melalui justifikasi atau jargon. Publik, misalnya, masih mengingat bagaimana kebijakan melahirkan revisi UU KPK yang akhirnya melemahkan KPK. Hal semacam ini tentu tidak dilupakan oleh publik, dan tidak bisa dilepaskan dari latar belakang mereka ketika merespons penegakan hukum yang dilakukan Jokowi-Amin,” kata Zainal.
Selain itu, arah atau desain penegakan hukum dalam setahun pemerintahan Jokowi-Amin belum terlihat jelas. Bahkan, sejak periode Jokowi-Kalla, menurut Zainal, pemerintah belum cukup memberikan perhatian terhadap desain penegakan hukum yang jelas.
Baca juga: Tahun Pertama Jokowi-Amin yang Tak Mudah
”Politik hukumnya belum ada, sebenarnya hukum mau dibawa ke mana tidak tahu. Jadi, hukum dalam pengertian yang meliputi pemberantasan korupsi, HAM, itu diusulkan agar ada cetak birunya. Dulu yang mengusulkan ini adalah Pak Mahfud (sekarang Menko Polhukam),” katanya.
Cetak biru penegakan hukum, menurut Zainal, merupakan usulan yang baik, karena dengan adanya dokumen itu arah penegakan hukum menjadi lebih terang. Dia mencontohkan, soal perlindungan terhadap perempuan, kenapa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tidak dibahas.
”Selain itu, pemberantasan korupsi mau ke mana arahnya, dan apa yang mesti dilakukan. Kenapa yang dipilih adalah revisi UU KPK, bukan revisi UU Tipikor. Lalu, soal pidana umum, mengapa sampai sekarang revisi UU KUHP masih terlunta-lunta, dan KUHAP juga tidak diubah. Kalau ada cetak biru yang menjadi pedoman bagi pemeritah, agenda politik hukum dalam bidang penegakan hukum itu akan lebih jelas dan terukur,” ungkapnya.
Di samping arah penegakan hukum, hal lain yang perlu diperbaiki ialah penegakan hukum itu sendiri. Pemerintah Jokowi-Amin antara lain dikritik karena tidak menerapkan penegakan hukum dengan adil dan berimbang terhadap pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah.
”Terasa betul ada pilah-pilah. Yang pro ditangani dengan cepat, dan yang kontra ditangani dengan lebih lambat,” ujar Zainal.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara wilayah Jakarta Bivitri Susanti mengatakan, rendahnya keyakinan publik terhadap penegakan hukum dapat dipahami jika menilik pada realita yang saat ini berkembang dan menjadi sorotan publik.
Selain isu pelemahan KPK, yang dengan revisi UU KPK, menjadi kehilangan daya dobraknya dalam penindakan korupsi, ada banyak pertanyaan terkait dengan kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan, penyidik senior KPK. Persepsi publik terbentuk dari beberapa fakta yang mereka rasakan saat ini.
Di sisi lain, menurut Bivitri, penegak hukum kini dikhawatirkan menjadi sarana atau alat kekuasaan semata. Sebab, demokratisasi juga dinilai meredup lantaran sejumlah tindakan aparat keamanan yang dinilai represif terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang bertentangan dengan pemerintah.
”Hukum memang instrumen penguasa yang sah. Sebab, jika tidak menurut, akan dikenai sanksi atau hukuman. Sayangnya, ketika tujuan penguasa itu mengarah kepada pembangunan berlebihan yang meminggirkan HAM, isu kesejahteraan rakyat kecil, menguntungkan oligarki, maka pembangunan itu hanya dimaknai sebagai developmentalism yang dilambangkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, statistik di permukaan, tetapi kesejahteraan rakyat sejatinya tidak terperhatikan,” ujarnya.
Penggunaan sejumlah pasal karet di dalam UU, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), menurut Bivitri, berpotensi membuat instrumen hukum tergelincir menjadi alat penguasa semata. Sebab, mirip dengan pasal karet di UU Subversi yang pasalnya juga karet di era Orde Baru, penerapan UU ITE yang tidak disertai dengan kesadaran penegak hukum atas nilai-nilai demokrasi dikhawatirkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat.
Ancaman terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat itu, menurut Bivitri, rupanya selaras dengan penegakan hukum yang cenderung diskriminatif. Dia mencontohkan, ada nelayan di Makassar yang menolak amplop, lalu merobek amplop itu, ternyata dikenai pasal perusakan uang.
”Ini, kan, terlihat hukum dapat dimainkan dan ini diskriminatif. Ada pula contoh terkait dengan kelompok aktivis tertentu yang sifatnya politis, sekalipun tindakan itu juga tidak kami dukung, tetapi penanganan terhadap mereka juga harus sesuai dengan rule of law. Tidak bisa status WA dijadikan bukti, dan dikatakan sebagai bukti permulaan yang cukup. Di sisi lain, ada ketua masyarakat adat yang memertahankan hutan adatnya lalu penanganannya seperti menghadapi teroris,” ujarnya.
Evaluasi penegakan hukum
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding mengatakan, persepsi masyarakat terhadap satu tahun Jokowi-Amin yang terekam dalam jajak pendapat Kompas mengenai penegakan hukum dinilai menggambarkan realita yang ada. Sudding mengakui ada pandangan umum belum optimalnya penanganan bidang penegakan hukum, terutama jika saat ini dikaitkan dengan kecenderungan turunnya kebebasan berekspresi dan berpendapat.
”Jangan sampai ruang-ruang demokrasi yang sudah terbuka ini kembali seperti zaman sebelumnya,” katanya.
Persamaan perlakuan di depan hukum, menurut Sudding, belum terwujud karena ada persepsi yang berkembang di masyarakat adanya perbedaan perlakuan antara laporan yang masuk dari pihak yang propemerintah, dan pihak yang kontra pemerintah.
”Saya sendiri merasakan kekhawatiran itu. Dulu tidak pernah takut, atau bebas saja menyampaikan pandangan dan pendapat. Saya kira itu suatu hal yang baik untuk membangun konteks demokratisasi,” ucapnya.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Hinca Panjaitan, mengatakan, dalam satu tahun pertama pemerintahan Jokowi-Amin terjadi penurunan kualitas penegakan dan penghormatan terhadap penegakan hukum. Salah satu penyebabnya ialah penerapan UU ITE yang dinilai melampaui niat baik UU itu dulu dirumuskan.
”Seingat kami dulu selaku penyusun, UU ITE itu awalnya difokuskan untuk mencegah transaksi elektronik ilegal yang dimanfaatkan teroris dan aktor kejahatan lainnya. Namun, dalam perkembangannya, ada penambahan kata-kata ’informasi’ transaksi elektronik, yang mengaburkan makna dan maksud UU itu. Sekarang yang lebih dominan dipakai ialah aturan tentang penyebaran informasinya, padahal titik berat UU itu ada pada transaksi elektronik,” ujarnya.
Menurut Hinca, pemerintahan Jokowi-Amin harus mengevaluasi penegakan hukum yang berpotensi mematikan demokrasi dan kebebasan berpendapat di tengah-tengah publik. Tidak semata UU yang diutak-atik atau disalahkan, lebih dari itu, menurut Hinca, penegak hukum harus memiliki kesadaran dalam memahami demokrasi yang dipilih Indonesia sebagai jalan bernegara.
”Mau diubah seribu kali UU atau pasalnya, kalau dia (penegak hukum) memakai pasal-pasal yang dia inginkan sendiri, itu pasti repot. Tentu penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, perlu diingatkan untuk tidak serampangan dan memastikan ikut bertanggung jawab menjaga ruang demokrasi,” ujarnya.
Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, ketidakpuasan publik itu dapat dimaklumi karena dalam proses pembuatan regulasi kerap dipersepsikan tidak cermat. Selain itu, di pengadilan, juga kerap ada ketidakpuasan karena hukuman dianggap tidak adil.
Dengan demikian, menurut Mahfud, wajar jika penegakan hukum dianggap jelek. Padahal, di pemerintahan, yang berwenang melaksanakan hukum dan administrasinya, sedang mencoba bangkit dari keterpurukan.
Pemerintah, kata Mahfud, selama setahun terakhir ini, sudah menangkap buronan yang belasan tahun melarikan diri seperti buronan pembobol kas Bank BNI Maria Pauline Lumowa, hingga Joko S Tjandra. Kasus Joko Tjandra misalnya yang melibatkan pejabat tinggi Polri, jaksa, diadili secara terbuka. Kemudian, kasus yang melibatkan badan usaha milik negara (BUMN), seperti kasus korupsi Jiwasraya dan Garuda Indonesia, juga ditangani.
”Dulu, orang sulit membayangkan pemerintah bisa memotong tangannya sendiri. Tapi kini, kasus Jiwasraya kami tangani, Garuda Indonesia juga. Saya tidak katakan berhasil, tetapi kami berusaha dan kerjakan bersama,” kata Mahfud MD.