Beda Cara AS-China Tangani Korona dan Efeknya bagi Ekonomi Dunia
›
Beda Cara AS-China Tangani...
Iklan
Beda Cara AS-China Tangani Korona dan Efeknya bagi Ekonomi Dunia
Beijing boleh percaya diri dengan langkahnya melawan Covid-19. Adapun di Amerika Serikat, krisis akibat Covid-19 belum juga reda. Bahkan, negara itu kini berada di tengah gelombang baru infeksi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Perbedaan cara penanganan menghadapi pandemi Covid-19 antara Amerika Serikat dan China sejauh ini memberikan hasil yang berbeda bagi keduanya. China terlihat tumbuh ekonominya, sementara AS tampak masih menghadapi tekanan. Kelindan akibat pilihan-pilihan dua negara dengan ekonomi terbesar di dunia itu dan respons setelahnya harus siap dihadapi negara-negara lain.
Beijing boleh percaya diri dengan langkahnya melawan Covid-19. Mereka yakin Covid-19 dapat ditaklukkan. Jumlah kematian yang dilaporkan di China di bawah 5.000 kasus. Itu adalah hasil dari penutupan wilayah yang dilakukan secara tegas, digelarnya jutaan tes, dan dilakukannya pelacakan kontak yang ketat.
Langkah-langkah itu secara simultan dengan upaya menggerakkan ekonomi China. Angka produk domestik bruto (PDB) resmi China pekan ini dilaporkan positif 4,9 persen pada triwulan III-2020 secara tahunan. Belanja konsumen dan aktivitas manufaktur terdata menjadi penopang sekaligus pendorong ekonomi China. Ekonomi Negeri Tirai Bambu itu sempat berada di teritori negatif pada Januari-Maret, tepat pada saat negara itu memberlakukan penutupan wilayah dalam merespons pandemi.
”Keberhasilan China dalam menahan virus korona telah memungkinkan ekonominya pulih lebih cepat, dan dengan dukungan kebijakan yang relatif lebih sedikit, dibandingkan dengan (kekuatan) ekonomi besar lainnya,” kata mantan pejabat senior Departemen Keuangan AS, Stephanie Segal. Segal adalah peneliti senior pada lembaga CSIS.
Penyakit yang disebabkan oleh virus korona tipe baru itu telah merenggut 221.000 nyawa warga AS. Itu dinilai sebagai akibat dari tertundanya sejumlah respons oleh pemerintah. Terjadi polemik tentang penggunaan masker hingga penutupan wilayah. Banyak acara publik tetap digelar, bahkan tanpa protokol kesehatan.
Angka PDB AS diperkirakan menyusut pada triwulan ini. Tingkat kesenjangan ekonomi pun dikhawatirkan bisa berlanjut dan bertahan selama bertahun-tahun dalam kondisi tekanan ekonomi.
Di sisi lain, jutaan warga AS kehilangan pekerjaan tanpa batas waktu. Angka PDB AS diperkirakan menyusut pada triwulan ini.
”Jelas sekali Pemerintah AS melakukan kesalahan,” kata Harry Broadman, mantan pejabat senior perdagangan AS dan direktur pelaksana Berkeley Research Group. Ia menilai, otoritas tunggal Partai Komunis China memang telah membantu Beijing menegakkan pelacakan kontak dan penguncian wilayah. Namun, hal itu tidak dapat menjadi acuan tunggal. Nyatanya negara-negara demokratis lainnya, termasuk Selandia Baru dan Korea Selatan, dapat menghadapi Covid-19 dengan keberhasilan layaknya China.
”Perbedaan nyata antara AS dan China adalah Washington telah memperdebatkan masalah stimulus di Capitol Hill dan itu masih terlalu sedikit dan terlambat,” kata Broadman. Ia pernah berada di jajaran pejabat tinggi AS, baik pada masa ketika presiden negara itu dipegang dari Partai Republik maupun Demokrat. ”Kondisi demikian telah menciptakan semakin banyak ketidakpastian di kalangan pelaku bisnis.”
Perbedaan
Respons yang berbeda terhadap pandemi akan berdampak pada persaingan politik dan ekonomi yang sengit antara Beijing dan Washington. Kelindan dan riak-riaknya dapat dirasakan di seluruh dunia. Kondisi itu pun mau tidak mau harus diantisipasi. ”Ekonomi China pada 2021 akan menjadi 10 persen lebih besar dari 2019, dan setiap negara ekonomi utama lainnya akan menjadi lebih kecil,” kata Nicholas Lardy, ekonom Peterson Institute for International Economics.
Itu berarti, dalam prediksi Larddy, peran China dalam ekonomi global akan terus berkembang. Tidak tertutup kemungkinan bakal ada kebijakan-kebijakan AS untuk mencegah negara lain melakukan kesepakatan dengan Beijing. Atau sebaliknya, upaya ”memisahkan” China dari perekonomian global akan menjadi lebih sulit.
Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan volume perdagangan global akan turun 10,4 persen tahun 2020. Pada saat bersamaan, pangsa pasar China secara keseluruhan dalam perdagangan global telah tumbuh. Ekspor China lebih kuat dari yang diharapkan, didongkrak oleh permintaan barang medis di luar negeri.
Beijing juga mengalami manfaat lain, yaitu di pasar keuangan. ”Kami melihat tanda-tanda keberhasilan China dalam nilai tukar dan kinerja pasar ekuitas pada saat banyak negara lain berada di bawah tekanan,” kata Segal.
Defisit fiskal China untuk tahun 2020 akan meningkat sebesar 5,6 poin persentase menjadi 11,9 persen dari PDB. Ini adalah peningkatan skala yang lebih kecil daripada stimulus besar-besaran yang diterapkan Beijing selama krisis keuangan 2008-2009. Sebaliknya, AS akan mengalami peningkatan 12 poin persentase defisit fiskal 2020 sebagai bagian dari PDB menjadi hampir 19 persen.
Uniknya, dalam situasi seperti itu, AS terus-menerus menekan China. Menjelang pemilihan presiden pada 3 November, calon petahana Presiden AS Donald Trump menyalahkan China atas penyebaran virus korona tipe baru. Ia pun menegaskan pemerintahannya telah melakukan semua hal yang bisa dilakukan untuk menahannya. Ia mengaku tidak banyak lagi hal yang akan dilakukannya.
Juru Bicara Gedung Putih Brian Morgenstern mengatakan tengah pekan ini bahwa China tidak secara akurat melaporkan hal-hal terkait dengan penanganan korona ataupun ekonominya. Ia menyebutkan, apalagi terkait data mengenai infeksi virus korona dan pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan, Trump siap membangun kembali ekonomi yang kuat dan inklusif.
Sejumlah analis pun memiliki kerisauan—dalam perspektif jangka panjang—terkait prospek ekonomi China. Salah satunya adalah tingkat utang yang tinggi dari perusahaan milik negara. ”Ketergantungan pada pertumbuhan yang dipicu investasi, yang didorong oleh ekspansi kredit, mendorong utang dan risiko lebih jauh dalam sistem keuangan yang sudah lemah. Selanjutnya, kondisi itu akan menurunkan efisiensi dan tingkat pertumbuhan yang berkelanjutan,” kata Mark Sobel, mantan pejabat senior Departemen Keuangan AS. (AP/REUTERS/BEN)