Pada 12 Oktober 2020, tepatnya peringatan Hari Masyarakat Adat di AS, sebanyak 28 penulis dari suku Indian dan masyarakat adat menulis surat terbuka kepada Hollywood.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Hollywood harus terus berbenah diri dalam mengatasi isu rasismenya yang sistematis dan berkelanjutan. Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang mendorong agar Hollywood menjadi lebih inklusif sehingga tidak berorientasi pada orang kulit putih semata.
Isu rasialisme telah menjadi masalah lama sejak zaman keemasan Hollywood. Problem yang sering muncul adalah minimnya representasi orang kulit berwarna (person of color) di depan layar. Kalaupun ada, representasi itu tidak tepat atau mendorong stereotip tertentu.
Hollywood berusaha memperbaiki masalah ini. Meskipun demikian, penyakit lama Hollywood terkadang masih kambuh, seperti ketika Scarlett Johansson yang berkulit putih memerankan Motoko Kusanagi dalam film Ghost in the Shell, sebuah anime Jepang pada 2017.
Kampanye inklusivitas dalam Hollywood biasanya membahas isu orang kulit hitam, Asia, dan etnis minoritas. Hollywood semakin sadar untuk berbenah diri ketika Gerakan Black Lives Matter kembali bergelora di Amerika Serikat, bahkan global, pada tahun ini. Gerakan ini kembali mencuat setelah seorang warga kulit hitam AS, George Floyd, mati akibat polisi berkulit putih pada 25 Mei 2020.
Akan tetapi, ada satu isu yang jarang mendapat perhatian, yakni isu representasi masyarakat pribumi di Hollywood.
Pada 12 Oktober 2020, tepatnya peringatan Hari Masyarakat Adat di AS, sebanyak 28 penulis dari suku Indian dan masyarakat adat menulis surat terbuka kepada Hollywood. Mereka menyerukan agar Hollywood berkomitmen untuk menghentikan narasi yang tidak akurat dan memperbaiki representasi suku Indian serta masyarakat adat.
Surat itu ditandatangani oleh anggota Komite Penulis Indian Amerika dan Masyarakat Adat dari Writers Guild of America West. Beberapa tokoh yang menandatanganinya, antara lain penulis Deputy (2020) Anthony Florez, penulis Final Space (2018) Kelly Lynne D\'Angelo serta penyair dan penulis Tommy Pico.
”Narasi tentang Indian dan penduduk pribumi sering dikecualikan dari janji keragaman industri dan dimasukkan ke dalam akronim BIPOC (orang kulit hitam, pribumi, dan kulit berwarna) tanpa pengakuan bahwa orang Indian dan pribumi memiliki suara yang spesifik serta diperlukan di negara ini,” bunyi surat itu.
Suku Indian dan masyarakat adat dalam film dan televisi sering diceritakan dari sudut pandang orang luar sehingga identik sebagai makhluk mitos, pemandu roh, atau korban trauma. Ditambah lagi, banyak pemeran non-pribumi yang memerankan mereka.
Surat itu menjelaskan, konsekuensi lain dari kurangnya representasi pribumi adalah berlanjutnya kesalahpahaman mengenai hak-hak hukum suku Indian. Hal ini turut berkontribusi pada kerugian bagi perempuan Indian dan pribumi.
”Orang-orang kreatif Indian kadang hanya dipekerjakan sebagai konsultan budaya, bukan sebagai kontributor utama proyek. Kami ingin Anda mendorong naskah yang ditulis oleh penulis pribumi, acara TV yang dijalankan oleh pribumi, difilmkan oleh sutradara pribumi, dan diperankan oleh aktor pribumi agar kami memiliki kesempatan untuk menggambarkan komunitas kami,” tulis mereka.
Banyak kasus kontroversi muncul dalam film Hollywood mengenai suku Indian atau masyarakat adat Amerika. Akurasi sejarah film Disney, Pocahontas (1995), menjadi pertanyaan mengenai Pocahontas dan sejarah penjajahan kulit putih dalam film itu. Publik keberatan ketika Johnny Depp, yang keturunan Indian-nya dipertanyakan, memerankan seorang Comanche dalam The Lone Ranger (2013).
Dalam Hollywood Diversity Report 2020: Part 1 oleh University of California Los Angeles (UCLA) Social Sciences, suku Indian dan masyarakat adat hanya mendapatkan 0,3 persen peran dari semua film box office pada 2018 dan 0,5 persen peran pada 2019. Tidak ada perempuan pribumi yang mendapatkan peran dan sutradara pribumi menyutradarai salah satu film terkenal selama 2018-2019.
Menurut Laporan Inklusi dari Writers Guild of America West 2020, penulis televisi pribumi hanya sebesar 1,1 persen. Sementara itu, penulis skenario pribumi hanya terdiri dari 0,8 persen dari jumlah penulis skenario yang dipekerjakan.
Mulai membaik
Harapan baru terbit ketika mulai terbit ketika sutradara Taika Waititi memenangkan Oscar dalam nominasi Skenario Adaptasi Terbaik untuk Jojo Rabbit (2019) pada perhelatan Academy Awards ke-92, Februari lalu. Waititi adalah keturunan suku Maori asal Selandia Baru.
Meskipun bukan seorang penduduk pribumi Amerika, pemberian penghargaan itu menunjukkan masyarakat adat dapat berkontribusi dalam industri perfilman.
”Saya mendedikasikan penghargaan ini untuk semua anak-anak pribumi di dunia yang ingin melakukan seni, menari, menulis cerita. Kita adalah pendongeng asli dan kita bisa sampai di sini juga,” kata Waititi dalam pidato kemenangannya.
Secara umum, Hollywood Diversity Report 2020: Part 1 oleh UCLA Social Sciences melaporkan, keterlibatan perempuan dan orang kulit berwarna dalam industri perfilman belakangan mulai membaik, tetapi tetap kurang terwakili. Hasil studi ini diperoleh dari analisis 200 film terbaik selama 2018-2019 berdasarkan peringkat box office global.
Perempuan dan orang kulit berwarna telah membuat kemajuan dalam lima sektor pekerjaan utama film, yakni pemeran utama, sutradara, penulis, aktor, dan kepala studio. Namun, di sektor itu, mereka masih menjadi minoritas. Padahal, orang kulit berwarna mencakup sekitar 40 persen populasi di AS.
UCLA melaporkan, masih sedikit orang kulit berwarna bekerja sebagai sutradara (14,4 persen), penulis (13,9 persen), dan kepala studio (9 persen). Selain itu, jumlah pemeran film belum proporsional sebab hanya 27,6 persen menjadi pemeran utama dan 32,7 persen menjadi aktor.
Melihat dari sisi penonton film, orang-orang kulit berwarna membeli sebagian besar tiket di box office domestik untuk enam dari 10 film teratas pada 2018 dan delapan dari 10 film teratas pada 2019. Penonton dari kalangan minoritas bertanggung jawab atas sebagian besar pendapatan industri film.
Pada 2018, film dengan pemeran 21-30 persen adalah orang kulit berwarna meraih median penerimaan box office global tertinggi. Pada tahun berikutnya, keberhasilan itu diraih oleh film dengan pemeran 41-50 persen adalah orang kulit berwarna. Dari situ terlihat, inklusivitas ternyata adalah elemen yang menjual dalam industri film global. (THE HOLLYWOOD REPORTER/THE GUARDIAN)