Penegakan Perda Covid-19 DKI Didorong Lebih Koersif
›
Penegakan Perda Covid-19 DKI...
Iklan
Penegakan Perda Covid-19 DKI Didorong Lebih Koersif
Hasil riset Lembaga Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menunjukkan, tanpa diawasi pun, 85 persen warga menjalankan protokol kesehatan agar terhindar dari wabah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar & Aguido Adri
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tujuh bulan pandemi Covid-19 berlangsung belum membuahkan hasil penanganan yang signifikan. Berbagai kendala menghantui proses mengatasi wabah virus korona baru ini, mulai dari belum tercapainya kapasitas laboratorium, proses analisis sampel tes reaksi berantai polimerasi dan pelacakan kontak pasien positif yang masih di atas 48 jam, hingga koordinasi antarwilayah yang belum maksimal. Ketegasan target dari atas ke bawah ataupun antarwilayah harus diumumkan.
Pada tataran pusat, baru disahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Khusus di DKI Jakarta, telah disahkan Peraturan Daerah Penanggulangan Covid-19. Secara formal, dua langkah ini adalah preseden yang baik. Akan tetapi, secara praktik, masih banyak hal yang perlu dipertanyakan dan ditelusuri.
”Aturan tanpa penegakan tidak akan bergigi. Setiap kali bicara soal penegakan, akan muncul alasan klise terbatasnya sumber daya aparat penegak hukum yang sehingga pengawasan kedisiplinan masyarakat menerapkan protokol kesehatan secara maksimal sukar dicapai. Demikian pula dengan peningkatan kapasitas berbagai fasilitas kesehatan dan penunjangnya untuk mengatasai penularan Covid-19 sehingga praktik yang maksimal sukar tercapai,” tutur pakar kebijakan publik Universitas Paramadina, Khoirul Umam, di Jakarta, Rabu (21/10/2020).
Ekonomi memang terpaksa harus melambat agar pendekatan kesehatan massal efektif dilakukan.
Penanganan pandemi harus berlandaskan kemauan politik para pemimpin, mulai dari gubernur hingga pengurus rukun warga dan rukun tetangga. Di balik semua aturan yang disahkan sebagai payung hukum, Umam yang juga Direktur Eksekutif Romeo-Strategic Research and Consulting ini melihat prioritas yang diambil di pusat ataupun daerah tetap ekonomi. Otomatis, pendekatan kesehatan masyarakat menjadi nomor dua. Hal ini karena ketika berhadapan dengan pandemi kesehatan dan ekonomi tidak bisa berjalan bersama secara alami.
Ekonomi memang terpaksa harus melambat agar pendekatan kesehatan massal efektif dilakukan. Dalam kondisi ini bantuan sosial yang tepat guna dan tepat sasaran menjadi kunci. Ketika pandemi sudah terkendali, baru roda ekonomi bisa mulai berputar untuk kembali bangkit dan perlahan bantuan sosial bisa dikurangi bagi individu dan perusahaan yang bertahap bisa berdiri lagi.
Lembaga Biostatistik Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia menghitung bahwa pengendalian pandemi diindikasikan oleh tiga hal. Pertama, kepatuhan masyarakat untuk memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan menggunakan sabun serta air mengalir mencapai 85 persen. Artinya, tanpa diawasi oleh aparat pun masyarakat sadar akan keselamatan masing-masing.
Kedua, lama pengetesan reaksi berantai polimerase (PCR), analisis hasil tes, dan penelusuran kontak apabila individu itu dibuktikan positif Covid-19 harus dalam waktu 48 jam. Kenyataannya, kapasitas laboratorium di Ibu Kota menangani sampel tidak bisa bekerja dengan cepat karena orang dan alat terbatas. Sampel tes PCR mengantre, pemberitahuan ke pasien memakan waktu dua hingga tiga hari, penelusuran kontak pun lebih lama lagi. Terutama jika satu pasien positif wajib ditelusuri minimal 10 kontak erat.
Di Jakarta sendiri, dengan disahkannya perda penanganan Covid-19 membuat satuan polisi pamong praja kekuatan hukum untuk menindak para pelanggar protokol kesehatan.
Ganjaran tidak memakai masker adalah denda minimal Rp 250.000 dan sanksi sosial. Orang-orang yang menolak ketika diminta mengikuti tes cepat ataupun PCR akan didenda Rp 5 juta, demikian pula dengan anggota keluarga yang memaksa mengambil jenazah pasien positif ataupun terduga Covid-19 dari fasilitas kesehatan. Untuk rumah makan dan kantor-kantor bisa dikenai pencabutan izin operasional. Sejauh ini tidak ada sanksi berupa hukuman kurungan bagi individu yang melanggar.
”Implementasi akan menentukan persepsi pemerintah terhadap pandemi. Jika memang tegas dan konsisten menindak semua pelanggar, tandanya kesehatan masyarakat memang diutamakan. Namun, perilaku ini tidak bisa hanya di Jakarta saja. Dari tataran pusat juga harus ada ketegasan yang sama. Kalau satu wilayah sudah mau memprioritaskan penanganan pandemi, tetapi wilayah sekitar memprioritaskan ekonomi, percuma,” kata Umam.
DI tingkat pusat, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penganggulangan Bencana Dody Ruswandi mengatakan akan membantu menambah tenaga teknis serta alat untuk puskesmas-puskesmas. Tujuannya agar kapasitas puskesmas mengambil sampel dan melakukan pelacakan kontak pasien positif bisa ditingkatkan dengan target 20 hingga 30 orang per pasien.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Jakarta Dwi Oktavia Tatri Lestari Handayani mengumumkan per tanggal 21 Oktober sudah 97.217 orang tertular Covid-19. Sebanyak 82.178 orang sembuh, 2.105 orang meninggal, dan 12.934 orang masih menjalani perawatan ataupun isolasi di fasilits kesehatan rujukan. Persentase kasus positif masih 10 persen, dua kali lipat dari batas aman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Artinya, risiko Covid-19 di Jakarta belum turun.
Dari sisi warga, banyak yang main kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum. Misalnya hanya memakai masker ketika melewati titik-titik razia atau menghapal jadwal patroli Satpol PP beserta petugas kelurahan, RW, dan RT. Setelah itu, masker dikantongi atau sekadar dikalungkan. Ketika ditanya, umumnya warga optimistis mereka tidak akan tertular Covid-19 karena merasa tidak ada tanda-tanda sakit (Kompas.id, 20 Oktober 2020).