RUU Cipta Kerja memberikan keluwesan pada pertambangan bahan galian nuklir yang kini dapat dikomersialkan karena dikelola oleh badan usaha milik negara dan swasta.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui Presiden dan DPR untuk disahkan telah menghapus dan mengubah sejumlah ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pertambangan bahan galian nuklir kini dapat dikomersialkan karena dikelola oleh badan usaha milik negara dan swasta.
Berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja versi 812 halaman, ketentuan tentang ketenaganukliran tertuang dalam Paragraf 6 Pasal 43. Pasal ini mengubah beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Tujuan pengubahan adalah untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha, dalam mendapatkan perizinan berusaha dari sektor ketenaganukliran.
RUU Cipta Kerja ini menyisipkan Pasal 2A dalam UU Ketenaganukliran. Pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah pusat berwenang memberikan perizinan berusaha terkait ketenaganukliran.
Ketentuan lain yang diubah adalah Pasal 9 yang menyebutkan bahwa bahan galian nuklir dikuasai oleh negara. Pemerintah pusat kemudian menetapkan wilayah usaha pertambangan bahan galian nuklir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 juga disisipkan satu pasal, yakni Pasal 9A. Pasal ini menerangkan, pemerintah pusat dapat menetapkan badan usaha yang melakukan kegiatan pertambangan bahan galian nuklir. Pelaksanaannya dapat dilakukan badan usaha milik negara (BUMN) yang bekerja sama dengan badan usaha milik swasta. Bahan galian nuklir ini termasuk pertambangan yang menghasilkan mineral ikutan radioaktif.
Selain itu, ketentuan Pasal 17 UU Ketenaganukliran juga diubah. Dalam UU Ketenaganukliran hanya disebutkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir serta pembangunan, pengoperasian, dan decommissioning reaktor nuklir wajib memiliki izin. Namun, dalam RUU Cipta Kerja, frasa memiliki izin diubah menjadi memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.
Secara umum, perubahan paling signifikan dalam RUU Cipta Kerja adalah disebutkannya istilah perizinan berusaha, yang sebelumnya tidak tertuang dalam UU Ketenaganukliran. Perubahan ini membuka peluang bagi sejumlah pihak untuk melakukan bisnis terkait bahan baku nuklir atau mineral ikutan radioaktif. Sementara aturan sebelumnya menyatakan bahwa kegiatan galian bahan baku nuklir bersifat nonkomersial.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Anhar Riza Antariksawan mengatakan, perubahan utama UU Ketenaganukliran dalam RUU Cipta Kerja adalah ketentuan tentang bahan galian nuklir dan mineral ikutan radioaktif. Ketentuan dalam RUU Cipta Kerja saat ini menyebutkan bahwa bahan galian nuklir ataupun mineral ikutan radioaktif, seperti uranium atau torium, dikuasai negara dan bisa dikelola oleh BUMN.
”Bahan galian nuklir dulunya hanya kewenangan badan pelaksana, yakni Batan, tetapi sekarang BUMN juga memiliki kewenangan. Artinya, peluang pengusahaan bahan galian nuklir tidak hanya ada di Batan karena kami sejauh ini hanya mengeksplorasi dan tidak sampai eksploitasi. Ke depan, eksplorasi dapat dilakukan BUMN,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (22/10/2020).
Bertentangan
Dihubungi terpisah, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Satrio Swandiko Prilianto memandang bahwa tidak ada urgensi Indonesia untuk membangun tenaga nuklir, bahkan sampai diatur penambangannya. Aturan RUU Cipta Kerja yang turut mendorong pengusahaan nuklir ini dinilai bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyatakan bahwa nuklir adalah pilihan terakhir.
”Greenpeace tidak melihat adanya urgensi dalam sektor energi hingga harus menggunakan nuklir. Di kala pandemi, dengan kondisi demand listrik turun, kelebihan kapasitas di jaringan Jawa-Bali, hingga masih banyaknya proyek pembangkit yang dalam pipeline, rasanya penggunaan nuklir hanya akan jadi pemborosan pada masa seperti ini,” ujarnya.
Menurut Satrio, pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dengan jangka waktu panjang dan biaya tinggi bukan solusi terbaik untuk pemulihan ekonomi. Pembangunan proyek energi terbarukan dinilai lebih cocok diterapkan karena faktor keamanan dan waktu pembangunan serta biaya yang lebih rendah untuk diaplikasikan di daerah-daerah yang memang belum tersentuh jaringan listrik.
Selain itu, sejumlah ketentuan lain dalam RUU Cipta Kerja yang dianggap pemborosan ialah pembentukan badan pengawas untuk menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi serta pembangunan pembuangan lestari limbah nuklir. ”Tidak jelas apakah ini memanfaatkan Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir) yang memang sudah ada atau membuat entitas baru yang lagi-lagi dibutuhkan dana untuk pembentukannya,” lanjutnya.