Rancangan Perpres Tarif Listrik Berikan Harapan kepada Pengembang
›
Rancangan Perpres Tarif...
Iklan
Rancangan Perpres Tarif Listrik Berikan Harapan kepada Pengembang
Kebijakan harga tenaga listrik dari energi terbarukan yang kerap berubah menyebabkan ketidakpastian berusaha bagi pengembang. Investor membutuhkan kebijakan yang konsisten dan pro terhadap energi terbarukan di Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan peraturan presiden tentang tarif listrik dari energi terbarukan yang sedang disiapkan pemerintah menjadi harapan bagi pengembang, khususnya di sektor swasta. Pemerintah menjamin bahwa peraturan yang dijadwalkan segera terbit ini akan berpihak kepada pengembang. Kebijakan pemerintah yang berubah-ubah mengenai tarif listrik dari sumber energi terbarukan dianggap sebagai salah satu kendala pengembangan.
Menurut Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris Yahya, ada perubahan yang cukup signifikan terkait harga listrik energi terbarukan. Dalam rancangan peraturan presiden tersebut diatur bahwa tarif listrik dari pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas maksimal 5 megawatt (MW) ditetapkan dengan skema feed in tariff. Feed in tariff adalah patokan pembelian harga energi yang ditentukan berdasarkan komponen biaya produksi.
”Harga listrik energi terbarukan juga berbasis lokasi. Artinya, harga listrik tenaga mikrohidro di Jawa, misalnya, tentu tidak sama dengan yang di Papua. Selain itu, pengadaan pembangkit listrik energi terbarukan dengan kapasitas maksimal 5 MW bisa dilakukan dengan penunjukan langsung tanpa lelang,” kata Harris dalam webinar tentang pengembangan energi baru dan terbarukan, Kamis (22/10/2020).
Dalam aturan sebelumnya, harga jual tenaga listrik dari energi terbarukan menggunakan patokan biaya pokok penyediaan (BPP) listrik PLN di daerah di mana pembangkit tersebut dibangun. Pemerintah mematok batas tertinggi harga tenaga listrik energi terbarukan adalah 85 persen dari BPP setempat. Aturan inilah yang dianggap tidak pro pada pengembangan energi terbarukan lantaran faktor keekonomiannya tak terpenuhi.
Dalam rancangan peraturan presiden diatur bahwa tarif listrik dari pembangkit energi terbarukan dengan kapasitas maksimal 5 MW ditetapkan dengan skema feed in tariff.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berharap rancangan peraturan presiden tersebut memberikan keadilan bagi pengembangan dari sektor swasta. Selama ini, harga tenaga listrik energi terbarukan disamakan untuk semua jenis teknologinya, baik yang bersumber dari tenaga panas bumi atau hidro. Padahal, setiap teknologi atau jenis energi pembangkitnya memiliki harga jual yang berbeda-beda.
”Begitu pula untuk pembangkit berkapasitas besar, tentu harga jualnya lebih murah ketimbang pembangkit dengan kapasitas yang lebih kecil. Demikian pula klasifikasi harga berdasarkan lokasi juga sudah diatur. Ini sudah bagus dan menjadi harapan bagi pengembang swasta untuk berpartisipasi turut mengembangkan sumber energi terbarukan di Indonesia,” kata Surya.
Surya menambahkan, hal yang menjadi keluhan pengembang energi terbarukan di Indonesia adalah kebijakan yang berubah-ubah. Dalam setiap pergantian menteri, hampir selalu ada perubahan kebijakan sehingga membingungkan pengembang. Terkadang, aturan yang diterbitkan bersifat pro terhadap pengembangan energi terbarukan dan kadang sebaliknya.
Menteri BUMN Erick Thohir, yang menyampaikan pesan lewat tayangan video pada webinar tersebut, menyatakan bahwa ketahanan energi di Indonesia merupakan tiga pilar ketahanan selain ketahanan pangan dan ketahanan kesehatan. Ia berharap pembuat kebijakan tidak mengeluarkan kebijakan yang menghambat tranformasi energi nasional.
Dalam setiap pergantian menteri hampir selalu ada perubahan kebijakan yang membingungkan pengembang.
”Kami telah menugaskan BUMN kluster energi, yaitu PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Bukit Asam Tbk, dan MIND ID, untuk terus berinvestasi di sektor energi di masa depan. Transformasi energi terus berjalan, seperti penggunaan biodiesel (B-30), gasifikasi batubara menjadi dimetil eter dan metanol, serta pembangunan PLTS berkapasitas besar,” kata Erick.
Terkait pengembangan energi terbarukan, menurut dia, pemerintah akan memprioritaskan daerah-daerah terpencil (yang tidak terhubung dengan jaringan listrik PLN) untuk pengembangan potensi sumber energi terbarukan di wilayah tersebut. Pemerintah juga berkomitmen mengembangkan kendaraan listrik dan membangun kilang yang terintegrasi dengan produk petrokimia.
Untuk potensi energi terbarukan di Indonesia, data dari Kementerian ESDM menyebutkan, total potensinya mencapai 417.800 MW. Potensi terbesar ada di tenaga surya yang mencapai 207.800 MW peak (MWp), lalu tenaga bayu 60.600 MW, bioenergi 32.600 MW, panas bumi 23.900 MW, dan gelombang laut 17.900 MW. Dari total potensi tersebut, yang termanfaatkan baru sebanyak 10.400 MW atau sekitar 2,4 persen saja.
Dalam Kebijakan Energi Nasional, Indonesia berkomitmen menaikkan peran energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi sedikitnya 23 persen pada 2025. Peran tersebut ditingkatknya hingga menjadi sedikitnya 31 persen pada 2050. Saat ini, kontribusi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi nasional masih kurang dari 10 persen.