Raperda Pengendalian Covid-19 Kota Bekasi Tanpa Pidana Kurungan
›
Raperda Pengendalian Covid-19 ...
Iklan
Raperda Pengendalian Covid-19 Kota Bekasi Tanpa Pidana Kurungan
Pelanggar protokol kesehatan di Kota Bekasi sesuai rancangan peraturan daerah dibagi dalam dua kluster. Individu terancam sanksi denda Rp 200.000 dan korporasi terancam sanksi denda Rp 50 juta.
Oleh
STEFANUS ATO
·4 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda Adaptasi Tatanan Hidup Baru oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bekasi dalam mengendalikan Covid-19 rampung. Draf final raperda itu sudah dikirim ke Provinsi Jawa Barat untuk dikaji lagi agar ada sinkronisasi baik dari aspek yuridis, sosiologis, maupun filosofis. Pengesahan menjadi peraturan daerah menanti hasil koreksi dan kajian provinsi.
”Kami kirim ke provinsi untuk dikaji lagi, apakah Raperda ATHB (Adaptasi Tatanan Hidup Baru) sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Mulai dari aspek yuridis, apakah ada poin-poin yang menyalahi aturan atau ketentuan di atas. Tentu juga ada pandangan sosiologis maupun aspek filosofisnya,” kata Ketua Pansus 12 DPRD Kota Bekasi Haeri Parani pada Kamis (22/10/2020) di Bekasi.
Haeri mengatakan, Raperda ATHB yang sudah rampung dibahas Pansus 12 DPRD Kota Bekasi mengatur berbagai aspek dalam mengendalikan kasus Covid-19 di Kota Bekasi. Raperda itu tak hanya memuat sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, tetapi juga merambah ke sejumlah aspek lain, mulai dari pendidikan, ekonomi, budaya, hingga pariwisata. Aspek-aspek lain ikut diatur dalam perda itu karena Covid-19 memukul berbagai sektor di Kota Bekasi.
Dari aspek ekonomi, misalnya, pengendalian Covid-19 di Kota Bekasi mempertimbangkan kelangsungan usaha ekonomi kerakyatan. Artinya, aktivitas usaha rakyat harus tetap berjalan di masa pandemi tanpa mengorbankan kesehatan publik.
Sementara itu, dari bidang pendidikan, raperda juga mengatur terkait situasi yang memungkinkan untuk pendidikan belajar tatap muka dimulai atau dihentikan. Jika level kewaspadaan Covid-19 di Kota Bekasi sewaktu-waktu membaik, pemerintah daerah bisa mengizinkan aktivitas belajar tatap muka di sekolah.
”Jadi kami menghubungkan semua aspek terkait dengan pandemi Covid-19. Kalau di daerah lain, dari perbandingan kami, hanya membahas soal penegakan hukum atau sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. Jadi, kami mengatur secara keseluruhan yang akan menjadi rujukan bagi kepala daerah dalam melaksanakan edukasi pada masyarakat,” ucap Haeri.
Pengesahan raperda pengendalian Covid-19 Kota Bekasi tinggal menunggu hasil koreksi dan kajian Biro Hukum Provinsi Jawa Barat. Setelah selesai dikoreksi, Raperda itu akan diparipurnakan dan disahkan DPRD Kota Bekasi menjadi Perda ATHB.
Sanksi denda
Haeri menambahkan, terkait sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan, raperda itu hanya mengatur tentang sanksi denda bagi pelanggar protokol kesehatan. Raperda itu dibagi dua kluster, yaitu perorangan dan korporasi. Perorangan yang melanggar protokol kesehatan diancam sanksi denda maksimal Rp 200.000. Sementara jika korporasi yang melanggar protokol kesehatan, besaran denda maksimalnya Rp 50 juta.
”Sanksinya tidak serta-merta diberlakukan. Sanksi baru diberlakukan bila apabila masyarakat atau individu sudah diingatkan berulang, tetapi masih melanggar. Jadi, ada tahapan-tahapan,” kata politisi Partai Demokrat tersebut.
Pemerintah Kota Bekasi juga diminta untuk mengutamakan edukasi kepada masyarakat agar patuh pada protokol kesehatan. Sebab, roh yang menjiwai pembentukan raperda itu bukan untuk menambah pendapat asli daerah dari sanksi, melainkan meningkatkan kesadaran masyarakat agar patuh pada protokol kesehatan. Jika tingkat kepatuhan warga membaik, kasus Covid-19 di Kota Bekasi mampu dikendalikan.
Pengajar ilmu sosial dari Institute Bisnis Muhammadiyah Bekasi, Hamluddin, dihubungi secara terpisah, mengatakan, Raperda Kota Bekasi dari segi substansi sebenarnya tidak jauh berbeda dengan berbagai peraturan wali kota yang diterbitkan pemerintah daerah dalam mengendalikan Covid-19. Perbedaannya, perda bisa digunakan dalam jangka waktu yang lebih lama dan memiliki kepastian hukum yang mengikat.
”Jadi agar perda ini efektif, pertama tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Kedua, harus sesuai dengan karakteristik masyarakat. Artinya, perda itu harus menjawab masalah sosial di masyarakat,” katanya.
Oleh karena itu, agar Perda pengendalian Covid-19 di Kota Bekasi efektif, menurut Hamluddin, pemerintah daerah harus memperkuat edukasi saat Raperda ATHB itu disahkan menjadi Perda ATHB. Sosialisasi sangat penting dilakukan karena ada kecenderungan masyarakat mulai abai dalam mematuhi protokol kesehatan demi menenuhi kebutuhan ekonomi yang terpukul akibat dampak pandemi Covid-19.
”Orang melanggar protokol kesehatan itu karena banyak faktor, dan yang paling dominan itu faktor ekonomi. Jadi, perda ini harus mengatur agar kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup bisa berjalan tanpa mengabaikan protokol kesehatan,” katanya.