Pandemi membuat sebagian besar pengguna angkutan umum menahan kerinduannya bepergian. Jumlah penumpang angkutan umum merosot tajam. Akankah angkutan umum punya masa depan?
Oleh
Agnes Rita Sulistyawaty
·5 menit baca
Angkutan umum pada masa pandemi ini dicintai sekaligus dikhawatirkan penggunanya. Mereka kerap dibayang-bayangi rasa cemas saat hendak menuntaskan rasa rindu bepergian.
Sejak Maret 2020, Nurul tak lagi memakai kereta rel listrik (KRL) commuter line. Warga Tambun, Bekasi, ini menyimpan rindu di antara kecemasan berangkutan umum. ”Aduh, saya tuh kangen banget naik KRL lagi. Kepengen, sih, nyoba naik KRL. Tapi, kalau pas ada antrean panjang penumpang, gimana ya. Jadi mikir-mikir lagi,” ujar Nurul, Rabu (21/10/2020).
KRL adalah angkutan yang kerap digunakan Nurul sebelum pandemi. Perempuan yang akrab disapa Nurul Miracle di kalangan grup pengguna angkutan umum ini terbiasa dengan kereta yang sesak penumpang. Akan tetapi, saat menjaga jarak satu sama lain menjadi salah satu protokol kesehatan saat ini, rasa khawatir pun menyusup di benaknya.
Keraguan ini membuat Nurul memutuskan nebeng teman atau dijemput keluarga selama pandemi yang sudah berlangsung sekitar delapan bulan terakhir. Akan tetapi, perempuan yang memiliki usaha sendiri ini enggan bergantung kepada orang lain.
”Mudah-mudahan dalam waktu dekat ini saya bisa kembali memakai angkutan umum. Saya lagi mengumpulkan keberanian juga,” ucapnya.
Selain menjaga jarak, protokol kesehatan lain sebenarnya sudah dilakukan Nurul sejak sebelum pandemi. Masker, misalnya, selalu dikenakannya saat di luar rumah. Hanya saja, dulu ia terbiasa memakai masker buff lantaran praktis dinaik-turunkan sesuai kebutuhan. Kini, ia harus mengganti dengan masker yang dianjurkan.
Hand sanitizer selalu menjadi penghuni tasnya. ”Setiap tasku ada hand sanitizer. Biar enggak lupa,” katanya. Kekhawatiran Nurul kemungkinan besar dirasakan juga ribuan komuter Jabodetabek. Ini, antara lain, tecermin dari merosotnya jumlah pengguna angkutan umum.
Berdasarkan survei sosial demografi dampak Covid-19 yang dilakukan Badan Pusat Statistik, 82,52 persen responden selalu menghindari transportasi umum, termasuk transportasi daring, pada masa pandemi Covid-19. Sebaliknya, hanya 12,73 persen yang masih memakai angkutan umum dan 4,75 persen lainnya sesekali saja mengakses angkutan umum.
Dari mereka yang masih memakai angkutan umum, sejumlah 29,73 persen belum memberlakukan jarak aman 2 meter di tempat umum. Adapun 38,11 persen yang sudah melakukan social distancing serta 32,16 persen yang sesekali melakukan pembatasan jarak.
Mobilitas ini masih penting lantaran 19,06 persen responden mengaku pekerjaan mereka tidak mungkin dilakukan secara daring dan 7,07 persen lainnya yang masih masuk kantor seperti biasa. Di luar itu, sejumlah 34,76 persen responden masih memiliki jadwal masuk kantor walaupun tidak saban hari.
Rata-rata jumlah pengguna angkutan umum merosot jauh pada masa pandemi ini dibenarkan operator angkutan umum. Data PT Kereta Commuter Indonesia, pada periode 1-20 Oktober 2020, rata-rata 315.418 penumpang KRL per hari. Angka tertinggi rata-rata pengguna KRL adalah 351.940 penumpang per hari pada Juli 2020. Penumpang pada masa pandemi ini merosot sekitar 70 persen. Adapun tahun 2019, rata-rata 900.000-1 juta penumpang KRL sehari.
Menurut pendapat Nurul, angkutan umum pascapandemi mesti bertarung dengan sepeda motor. Selain isu kesehatan, angkutan umum masih berhadapan dengan setumpuk pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, bahkan sebelum pandemi menghantam.
Sebaliknya, sepeda motor kini mudah diperoleh lantaran harga yang relatif murah dan bisa dicicil. Biaya operasionalnya pun bisa jadi lebih murah ketimbang biaya menggunakan angkutan umum.
”Di Bekasi, angkot seperti tidak ada perbaikan. Armadanya sudah tua. Sering ngetem. Tarifnya pun bisa dinaikkan sopir seenaknya sendiri. Belum lagi ada daerah-daerah yang tidak terlayani angkutan umum. Jalur-jalur protokol Bekasi tampaknya sudah perlu bus yang lebih besar ketimbang angkot,” ujar Nurul.
Pembenahan sistem angkutan umum ini mendesak dan harus dilakukan secara keseluruhan untuk melayani komuter.
Kebutuhan untuk membenahi angkutan lingkungan itu juga dibenarkan pengguna pengamat transportasi yang juga pengguna angkutan umum, Aully Grashinta. Sekretaris Dewan Transportasi Kota Jakarta periode 2017-2020 ini mengatakan, angkutan kota harus masuk dalam sistem angkutan umum agar bisa ditata. Tanpa itu, kita masih menjumpai angkot ngetem, tarif tidak terpantau, atau sopir tembak.
”Orang masih butuh angkutan umum. Orang Bogor, misalnya, apa iya setiap hari naik motor ke Jakarta. Kalau ada angkutan yang nyaman dan memperhatikan aspek kesehatan, mereka akan pindah ke angkutan umum,” tuturnya.
Aully juga meminta operator angkutan umum mengakomodasi kemungkinan penumpang membawa sepeda sebagai angkutan pengumpan. Pembenahan jalur sepeda juga bisa dikerjakan pemerintah sekarang agar apabila tiba saatnya orang bisa bermobilitas normal, sepeda bisa menjadi alternatifnya.
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta Haris Muhammadun optimistis masih ada orang yang membutuhkan angkutan umum untuk mobilitas mereka. ”Dengan pandemi ini, ada degradasi level pendapatan orang. Mereka butuh bangkit. Untuk itu, perlu bergerak. Mereka akan memilih angkutan umum yang efisien, efektif, dan murah. Yang bisa murah ini adalah angkutan umum di dalam sistem pemerintahan, seperti KRL, MRT, LRT, Transjakarta, Jaklingko,” paparnya.
Orang masih butuh angkutan umum. Orang Bogor, misalnya, apa iya setiap hari naik motor ke Jakarta. Kalau ada angkutan yang nyaman dan memperhatikan aspek kesehatan, mereka akan pindah ke angkutan umum.
Dari simulasinya, memakai angkutan umum bersubsidi masih lebih murah ketimbang sepeda motor. Ia menyebutkan, komuter di jalur Serpong menghabiskan Rp 240.000 sebulan untuk transportasi. Jika memakai sepeda motor, biaya transportasi bisa di atas Rp 300.000.
Haris menggarisbawahi perlunya aspek kesehatan dan keselamatan dalam angkutan umum. Jaminan kedua aspek itu akan menarik orang memakai angkutan umum lagi.
Di tengah merebaknya pandemi, ada asa angkutan umum bisa kembali melayani mobilitas warga secara lebih luas lagi. Tentu, tidak mudah. Akan tetapi, apabila terwujud, saat itulah rindu para pengguna bisa dituntaskan.