RUU Cipta Kerja Dinilai Menjauhkan dari Kedaulatan Pangan
›
RUU Cipta Kerja Dinilai...
Iklan
RUU Cipta Kerja Dinilai Menjauhkan dari Kedaulatan Pangan
Sejumlah pihak menilai, kehadiran RUU Cipat Kerja akan menjauhkan Tanah Air dari kemandirian pangan. Kemudahan impor serta penguasaan lahan oleh korporasi serta sejumlah pasal yang merugikan petani menjadi alasannya.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disetujui untuk disahkan bersama antara DPR dan Presiden dikhawatirkan bakal menjauhkan Indonesia dari kedaulatan pangan. Selain memberi peluang terhadap lebih leluasanya impor pangan, undang-undang ini juga menghapuskan sejumlah pasal yang selama ini bisa melindungi lingkungan hidup dan petani, termasuk perempuan.
”Undang-Undang Cipta Kerja ini merupakan bentuk integrasi total sistem pangan Indonesia dengan sistem pangan dunia,” kata Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa dalam diskusi daring yang diselenggarakan Sawit Watch, Rabu (21/10/2020).
Menurut Andreas, sistem pangan dunia saat ini lebih mengutamakan ketahanan pangan dengan tidak memedulikan proses pemenuhannya. Negara yang 90 persen pangannya ditopang impor, seperti Singapura, berada di urutan pertama dalam Indeks Ketahanan Pangan Global tahun 2019. Sementara Indonesia saat ini berada di urutan ke-62 dari 115 negara.
Seolah-olah membenarkan impor sebagi solusi meningkatkan ketahanan pangan.
”Saat ini impor pangan kita semakin lama semakin tinggi. Sebaliknya, ekspor pangan tidak signifikan. Tahun 2014, impor delapan komoditas utama mencapai 21,9 juta ton. Tahun 2018 menjadi 27,6 juta ton. Namun, ketahanan pangan kita naik dari peringkat ke-75 menjadi peringkat ke-62. Seolah-olah membenarkan impor sebagi solusi meningkatkan ketahanan pangan,” ujarnya.
Andreas mengatakan, logika pemenuhan pangan melalui impor ini menjadi dasar bagi Undang-Undang Cipta Kerja menghapus sejumlah pasal dari berbagai undang-undang sebelumnya, yang mengamatkan pentingnya perlindungan terhadap produk dalam negeri.
Misalnya, UU No 18/2012 tentang Pangan, Pasal 36 menyebutkan, impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tak mencukupi dan atau tak dapat diproduksi di dalam negeri. Namun, ini diubah di Pasal 36 UU Cipta Kerja dengan menyebutkan, impor pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”Ini tidak lagi memperhatikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi atau tidak,” kata Dwi.
Hal serupa terjadi dengan produk peternakan dan hortikultura. Pasal 34 UU Cipta Kerja menyebutkan, impor dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dengan memperhatikan kepentingan peternak. ”Jadi, tidak harus meninjau apakah produksi dalam negeri mencukupi atau tidak, sebagaimana diwajibkan dalam UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan,” ujarnya.
Kemunduran perjuangan
Henry Saragih dari Serikat Petani Indonesia mengatakan, Undang-Undang Cipta Kerja ini justru memundurkan perjuangan para petani untuk mencapai kedaulatan pangan. ”Perjuangan panjang untuk mengubah UU Pangan tahun 1996 hingga lahirnya UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 menjadi sia-sia. Impor pangan menjadi gampang sekali,” ujarnya.
Selain itu, Henry mengatakan, UU Cipta kerja ini juga tidak memiliki visi perkebunan rakyat dan menjauhkan dari upaya mengatasi ketimpangan sosial yang diperjuangkan dalam UU Agraria dan cita-cita mencapai kedaulatan pangan. ”Semangat UU Cipta Kerja ini menjauh dari Pasal 33 UU 1945,” katanya.
Sebaliknya, menurut Henry, UU Cipta Kerja cenderung berpihak terhadap perusahaan besar, termasuk dengan mengabaikan kemungkinan dampak lingkungan dan sosial yang harus ditanggung petani. Misalnya, terkait kemudahan penggunaan benih dari rekayasa genetika dan juga pelonggaran terhadap kewajiban mengendalikan risiko kebakaran hutan dan lahan bagi perusahaan.
Padahal, menurut Robani, petani pangan dari Kecamatan Lebak Belanti, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, saat ini banyak kegiatan pertanian yang terganggu operasional perusahaan sawit, tetapi tidak ada sanksi. Apalagi, jika UU Cipta Kerja yang lebih berpihak kepada perusahaan diterapkan. ”Desa kami yang dulu jadi lumbung beras di OKI, sejak 12 tahun terakhir sulit tanam karena kebutuhan air terganggu sekat kanal perkebunan sawit,” katanya.
Sementara Rayhana Anwarie dari Bina Desa mengatakan, UU Cipta Kerja ini yang bakal memerosotkan kehidupan petani dan pada akhirnya akan berdampak besar bagi perempuan tani. Mengacu catatan Konsorsium Pembaruan Agraria, tanpa adanya UU Cipta Kerja tercatat dalam 10 tahun, yakni mulai 2003 sampai 2013, konversi tanah pertanian ke fungsi nonpertanian per menitnya 0,25 hektar dan satu rumah tangga petani keluar ke sektor nonpertanian. UU Cipta Kerja akan mempercepat proses ini.
Terkait dengan penilaian akan RUU Cipta Kerja tersebut, beberapa waktu lalu, dalam Kompas.id tanggal 17 Oktober 2020, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga mengatakan, kebijakan pangan di Indonesia tetap mengacu pada Pasal 3 UU Pangan yang tidak diubah oleh RUU Cipta Kerja. Pasal itu berbunyi, penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.
Menurut dia, urutan kata pada pasal itu menunjukkan prioritas pemerintah. Artinya, pemerintah tetap mengutamakan produksi pangan dalam negeri sebagai sumber pemenuhan kebutuhan.
Boga menambahkan, kepentingan petani berkaitan dengan harga jual dan kesejahteraan. ”Contohnya, saat panen raya, tentu pemerintah tidak akan impor karena melihat ada kepentingan petani terhadap harga jual produknya yang harus tetap stabil. Dengan demikian, mereka bisa mendapatkan harga jual yang layak serta pendapatan yang memadai sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani,” kata Boga melalui keterangan tertulis.