Sistem resi gudang untuk garam tidak berjalan optimal. Harga garam yang terus anjlok dinilai tidak memberikan kepastian dan jaminan bagi perbankan untuk menerbitkan resi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini / Agnes Theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem resi gudang yang diharapkan membantu petambak garam mendapatkan harga jual yang layak tidak berjalan optimal. Dari 24 gudang garam nasional yang ada, baru tujuh yang memiliki sistem resi gudang, tetapi sistem tidak berjalan optimal karena ketidakpastian harga jual.
Ketujuh gudang nasional yang memiliki sistem resi gudang tersebar di Indramayu, Cirebon (Jawa Barat), Pati, Rembang (Jawa Tengah), Tuban, Pamekasan (Jawa Timur), dan Pangkep (Sulawesi Selatan). Namun, saat ini semua gudang tersebut dengan sistem itu tidak beroperasi.
Resi gudang adalah surat atau dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang yang dikelola oleh pengelola yang mendapat izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Sistem resi gudang diharapkan meningkatkan pendapatan petani/petambak karena mereka bisa menjual hasil panen ketika harganya tinggi.
Menurut Direktur Jasa Kelautan Kementerian Kelautan dan Perikanan Miftahul Huda, sistem resi tersendat karena perbankan tidak mau menerbitkan resi. Harga garam yang terus anjlok dinilai tidak memberikan kepastian dan jaminan bagi perbankan untuk menerbitkan resi.
Harga jual garam pada panen tahun ini anjlok di kisaran Rp 200-Rp 350 per kilogram di tingkat petambak, jauh di bawah harga tahun lalu yang sekitar Rp 1.600 per kg. Anjloknya harga terjadi di tengah kecenderungan turunnya produksi garam rakyat tahun ini.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, gudang garam nasional yang telah beroperasi mencapai 27 gudang. Dari jumlah itu, 24 gudang memiliki kapasitas masing-masing 2.000 ton, sementara 3 gudang masing-masing berkapasitas 1.000 ton. Dari jumlah itu, baru tujuh gudang garam nasional yang memiliki sistem resi gudang. Namun, kini seluruh sistem resi gudang tidak bisa operasional.
Menurut Miftahul Huda, optimalisasi peran gudang garam nasional untuk penyerapan garam rakyat dengan harga layak memerlukan sistem resi gudang. Akan tetapi, sistem resi gudang saat ini tersendat karena perbankan tidak mau menerbitkan resi.
”Harus ada resi gudang agar peran gudang garam nasional jalan. Akan tetapi, saat ini perbankan cenderung enggan menerbitkan resi gudang karena tidak ada jaminan harga garam,” katanya, Rabu (21/10/2020).
Anjloknya harga garam rakyat berlangsung di tengah hasil panen yang merosot tahun ini. Kementerian Kelautan dan Perikanan bahkan telah merevisi target produksi garam nasional tahun 2020, yakni dari 2,5 juta ton menjadi 1,5 juta ton. Namun, produksi garam nasional yang berkurang tetap tidak mampu mengerek harga garam, antara lain karena stok garam sisa tahun lalu belum terserap pasar.
Huda berharap industri pengguna garam merealisasikan komitmen penyerapan garam sejumlah 1,5 juta ton periode Agustus 2020-Juli 2021. Tanpa dorongan penyerapan dari industri, dipastikan stok garam terus menumpuk dan harga semakin jatuh.
Per 16 Oktober 2020, sisa stok garam nasional mencapai 702.870 ton. Produksi garam rakyat tercatat 510.625 ton, sementara produksi PT Garam (Persero) mencapai 118.876 ton. ”Komitmen industri untuk penyerapan 1,5 juta ton harus dilaksanakan,” ujarnya.
Butuh intervensi
Ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam (HMPG) Jawa Timur Muhammad Hasan berpendapat, pengendalian dan pengawasan distribusi garam nasional dan garam impor membutuhkan intervensi pemerintah. Diharapkan, garam produksi petambak bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan nasional, baik untuk konsumsi maupun industri.
Di sisi lain, pembenahan tata niaga garam mendesak dilakukan untuk stabilisasi harga dan perlindungan petambak garam. Selama ini, harga garam mengacu mekanisme pasar yang dikuasai oleh pabrikan atau industri sehingga nasib petambak garam lokal selalu terombang-ambing.
Pihaknya berharap pemerintah mendorong regulasi agar komoditas garam segera dimasukkan sebagai barang pokok dan penting agar bisa menjadi landasan pemerintah dalam menentukan harga pokok pembelian (HPP) garam.
Secara terpisah, Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Safri Burhanuddin mengemukakan, salah satu persoalan rendahnya serapan garam rakyat adalah karena garam belum memenuhi standar industri, baik kualitas maupun kuantitas. Produksi garam tiap tahun rata-rata 2 juta ton, sedangkan kebutuhan garam nasional 4,2-4,5 juta ton.
Salah satu upaya meningkatkan kualitas garam rakyat adalah dengan menerapkan proses pemurnian di pabrik pencucian (washing plant). Pembuatan pabrik pencucian garam, antara lain, dilakukan PT Garam (Persero) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. ”Dengan pabrik pencucian ini, garam (rakyat) sudah bisa dimasukkan ke beberapa industri,” katanya.
Di sisi lain, pemerintah akan mengendalikan impor garam dengan menyelesaikan rancangan peraturan pemerintah (RPP) terkait pengendalian impor gula dan garam. Penyusunan RPP, antara lain, untuk mencegah kebocoran garam industri impor ke pasar. ”Kita batasi (impor garam) agar industri jangan sampai berlebihan memesan, padahal tidak terlalu butuh sehingga tidak menyerap garam lokal,” kata Safri.
Tekan impor
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Didi Sumedi mengatakan, pengendalian impor garam tetap dilakukan pemerintah. Kuota dikontrol agar arus impor tidak berlebihan dan mengancam penyerapan garam petambak lokal.
Tahun ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menaikkan alokasi kuota impor garam untuk kebutuhan industri menjadi 2,9 juta ton, naik dibandingkan tahun 2019 sebesar 2,7 juta ton.
Menurut Didi, kuota impor disesuaikan dengan mempertimbangkan kebutuhan industri pengguna serta keterbatasan pasokan dari dalam negeri. Untuk itu, pemerintah akan mendata dan memetakan kebutuhan garam industri.
”Impor garam tetap kita kendalikan. Kuota impor akan tetap dibatasi sesuai kebutuhan riil industri supaya pergaraman nasional kita juga tetap bisa berkembang,” kata Didi.
Ia mengatakan, impor garam selama ini dilakukan karena masih ada perbedaan karakteristik yang cukup signifikan antara garam lokal dan garam impor. Industri membutuhkan garam dengan kadar Natrium Chlorida (NaCl) di atas 97 persen. Sementara garam lokal belum bisa memenuhi kebutuhan itu.
Oleh karena itu, upaya pengendalian impor harus diimbangi dengan pengembangan industri pergaraman nasional. ”Makanya, kebutuhan garam impor itu sampai sekarang masih ada. Kuncinya kita harus memperbaiki teknologi pergaraman petambak garam kita,” katanya.