Tantangan Jurnalis Perempuan: Antara Keluarga dan Berita
Memerah ASI di sela giliran wawancara atau berangkat dinas luar negeri saat perut hamil besar adalah sebagian tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan dalam upaya menyeimbangkan peran dalam profesi dan sebagai ibu.
Konon, pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan kaki. Maka, semakin jauh kaki melangkah, semakin banyak yang bisa diceritakan. Ketika langkah kaki tersendat akibat pandemi Covid-19, cerita itu tak lantas terhenti. Masa pandemi sekaligus bisa menjadi masa perenungan untuk mengenang kembali cerita perjalanan jauh yang pernah dilakukan sebagai seorang jurnalis.
Bagi wartawan harian Kompas, biasanya minimal sekali dalam setahun ada penugasan liputan yang mengharuskan diri meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang cukup lama. Penugasan ini bisa ke luar daerah ataupun melanglang buana ke negara-negara nun jauh di sana. Bagi wartawan lajang, perjalanan semacam ini rasanya bisa dijalani tanpa beban.
Tidak begitu bagi jurnalis perempuan, terutama yang berperan ganda sebagai ibu. Dilema sering kali menghinggapi ketika harus meninggalkan rumah begitu lama. Seperti yang saya alami saat harus melakukan perjalanan dinas ke Etiopia selama 12 hari. Selama periode itu, saya menapaki hampir setiap sudut Etiopia, negeri di tanduk Afrika yang dulu dikenal sebagai Abyssinia.
Diundang oleh Ethiopian Tourism Organization, perjalanan darat menjadi momen langka karena hampir semua kunjungan fam trip dilakukan dengan tujuh kali penerbangan lokal menggunakan Ethiopian Airlines sejak Kamis (25/5/2017) hingga Senin (5/6/2017). Namun, perjalanan daratnya bisa sangat menyiksa karena tidak ada toilet umum, bahkan di stasiun pengisian bahan bakar.
Bersama rombongan wartawan dan operator wisata dari Asia, Afrika, Eropa, dan Amerika, kami menjelajahi sudut-sudut Etiopia. Kami mendaki Gunung Simien yang dijuluki atap Afrika untuk melihat habitat asli monyet gelada dengan bleeding-heart-nya.
Dari Etiopia utara kami ke wilayah barat daya negeri itu untuk bertemu suku lokal Hamer atau Hamar yang masih menerapkan cara hidup warisan leluhur. Di lembah subur Sungai Omo, perempuan suku Hamar masih bertelanjang dada.
Baca juga: Mobil Listrik, dari Meragukan sampai Akhirnya Jatuh Cinta
Perjalanan itu semakin terasa lama karena waktu kunjungan bersamaan dengan kebijakan Pemerintah Etiopia mematikan internet dan jalur telepon di seantero negeri selama satu pekan. Internet dimatikan agar ujian nasional yang sedang berlangsung kala itu tidak bocor.
Etiopia juga mematikan internet apabila terjadi pemberontakan bersenjata. Hari-hari di Etiopia pun seakan berjalan begitu panjang karena selalu terbayang wajah keluarga. Tak satu pun jaringan telepon ataupun internet yang bisa diakses untuk menghubungi mereka.
Namun, petualangan ke Benua Hitam menjadi salah satu agenda liputan yang tak terlupakan. Beberapa kota di Etiopia, seperti Kota Gondar di wilayah utara yang terkenal dengan kastil-kastil kunonya, masih terasa mencekam, dengan kenangan akan lubang-lubang bekas lemparan granat di gedung-gedungnya.
Ketika bepergian malam, mobil yang kami naiki sempat dihentikan tentara untuk pemeriksaan dokumen. Pada saat kami mengunjungi Gondar, beberapa negara, seperti Amerika Serikat, masih mengeluarkan larangan perjalanan bagi warganya untuk tidak mengunjungi kota itu.
Kala hamil
Etiopia memang akan selalu lekat dalam ingatan. Namun, peliputan paling dramatis bagi saya justru terjadi di Benua Asia, yaitu ketika bertugas ke China pada 22-27 Maret 2011. Keberangkatan ke sana untuk meliput pergelaran tata rambut Haute Coiffure Francaise 2011 yang menjadi menu pembuka rangkaian kongres internasional ”Salons of the Future.”
Tantangan kali ini bukan karena hambatan jaringan komunikasi atau harus vaksinasi meningitis, demam kuning, hingga kolera seperti yang dijalani sebelum ke Etiopia, melainkan justru berasal dari kondisi fisik diri sendiri karena sedang hamil tua. Usia kandungan kala itu sudah memasuki delapan bulan.
Namun, sebagai wartawan yang baru dipindahkan dari biro daerah DI Yogyakarta ke Ibu Kota, saya tak kuasa menolak penugasan dari kantor. Editor yang menugaskan berujar: ”Ke dokter kandungan dulu saja. Kalau dokter membolehkan berangkat, ya berangkat.”
Setelah pemeriksaan rutin kandungan, dokter kala itu memberikan selembar surat izin untuk berangkat meliput ke luar negeri. Padahal, ibaratnya kandungan sudah tinggal mbrojol. Akhirnya dengan perut yang sudah membesar karena hamil tua, perjalanan dinas hingga ke negeri China pun dilakoni.
Baca juga: Dalam Ricuh, Bandung Kembali ke Zaman Batu
Berbekal surat dokter, perjalanan dengan pesawat udara tidak mengalami kendala. Teman-teman serombongan yang terdiri dari wartawan dan para penata rambut asal Indonesia segera memberi perlakuan istimewa begitu tahu salah satu rekan seperjalanannya adalah ibu hamil.
Sengaja tak membawa banyak barang berat, keindahan ibu kota China, Beijing, di peralihan musim dingin ke musim semi mampu sejenak menghilangkan rasa khawatir terhadap kondisi kandungan. Saat itu, bunga peony sedang bermekaran, termasuk di Summer Palace yang kami kunjungi, yakni istana musim panas kaisar China yang berumur lebih dari 300 tahun.
Namun, saat harus keluar malam untuk menghadiri gala dinner, embusan angin dingin di suhu minus 7 derajat celsius yang menusuk tulang kembali membawa kekhawatiran. Apalagi, janin di dalam rahim yang biasanya aktif bergerak kala malam tiba-tiba anteng tanpa tanda tendangan. Sempat mimisan akibat udara dingin, saya pun sebisa mungkin beristirahat di sela liputan.
Ketika rekan-rekan serombongan mampir berbelanja aneka oleh-oleh dalam perjalanan bus selama 1,5 jam dari Beijing menuju Tembok China, saya memilih tiduran di bangku panjang deretan belakang bus. Informasi dari pemandu wisata lokal China yang menyebut bahwa pedagang sering kali menggunakan uang palsu dalam bertransaksi juga membuat makin malas untuk turut menawar.
Baca juga: Rem Blong dan Hampir Masuk Jurang di Lereng Sinabung
Pada saat rombongan tiba di Tembok China, saya menyempatkan diri memanjat beberapa anak tangga untuk mengambil foto demi artikel tulisan tentang perjalanan. Beberapa anggota rombongan sempat berteriak kaget ketika saya nekat naik. Mereka kemudian meminta saya untuk tidak meneruskan naik tembok.
Tangga Tembok China yang dibangun tahun 550-557 pada zaman Dinasti Qi ini memang bukan untuk ibu hamil. Tangga menuju atap tembok tergolong curam karena dibangun untuk keperluan perang, bukan wisata.
Ketinggian tangga tidak sama dan sering kali terasa sangat curam karena permukaannya tidak rata. Merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat manusia, tembok ini berfungsi menahan serangan dari bangsa Mongol.
Bagi pengunjung yang tak hamil seperti saya, mereka akan memilih naik ke atas tembok yang tingginya 8 meter untuk menikmati keindahan satu dari tujuh bangunan keajaiban dunia ini. Pada awal masa pembangunannya, panjang tembok China mencapai 6.000 kilometer atau lebih panjang dari jarak Jakarta-Beijing. Kini, Tembok China atau Great Wall hanya tersisa sepanjang 2.000 kilometer.
Baca juga: Terjebak Kontak Senjata di Aceh
Berkunjung ke lokasi ini pada awal musim semi, setiap pengunjung tetap harus mengenakan jaket tebal dan tutup kepala karena tiupan angin yang kencang dan dingin.
Bangunan Tembok China mengular di bukit-bukit tinggi yang didominasi perbukitan karst. Tembok yang membentang dari tepi laut di ujung timur dan padang pasir di ujung barat ini terakhir kali direnovasi pada masa pemerintahan Dinasti Ming (1368-1644).
Dikira TKI
Setelah dari Tembok China, rombongan kami singgah satu hari di Hong Kong. Seusai mendarat di Bandara Hong Kong, Sabtu (26/3/2011), pemandu wisata membawa rombongan kami makan siang di Jumbo Kingdom di perairan Pelabuhan Aberdeen. Sebuah kapal kayu membawa kami menyeberang menuju lokasi Restoran Jumbo Kingdom.
Sejatinya, Jumbo Kingdom terdiri atas dua kapal apung besar, yaitu Jumbo Floating Restaurant dan Tai Pak Floating Restaurant. Kami makan siang di Jumbo Floating Restaurant. Kunjungan ke Hong Kong tak lengkap tanpa Jumbo Kingdom. Itu slogan untuk menarik wisatawan menikmati restoran apung terbesar di dunia yang menawarkan sensasi tempo dulu itu.
Setelah puas mencicipi menu andalan di Dragon Court, seperti shark’s fin soup atau sup sirip ikan hiu dengan lobster dan cognac yang dimasak secara tradisional Kanton, saya seorang diri sempat iseng menjajal sistem angkutan cepat di Hong Kong, MTR atau mass transit railway. Kereta saya pilih karena bisa membawa saya bepergian ke banyak titik di Hong Kong tanpa harus capek berjalan kaki.
Seorang diri di kereta api dalam kondisi hamil, serombongan perempuan yang kemudian saya tahu adalah tenaga kerja wanita asal Indonesia menyapa saya dengan bahasa Jawa: ”Kok sendirian, kamu tinggal dengan majikan siapa dan di mana? Ada yang bisa kami bantu?”
Di negeri yang jauh, persaudaraan sesama orang Indonesia seperti ini terasa membuat hangat di hati. Kami lantas berpisah ketika saya kembali ke hotel dan memilih berbaring sembari menunggu jadwal penerbangan pulang ke Tanah Air.
Tak hanya saat hamil, beban berat sebagai jurnalis perempuan juga harus dipikul ketika harus meninggalkan anak yang masih bayi untuk peliputan. Hal itu kembali saya rasakan ketika kantor menugaskan dinas luar negeri ke Los Angeles, Amerika Serikat, pada Rabu (11/1/2012) hingga Rabu (18/1/2012).
Kala itu bayi saya baru berusia sembilan bulan ketika saya harus meliput selama delapan hari bersama rombongan tujuh jurnalis dari Asia yang diundang Home Box Office (HBO).
Sebagai ibu menyusui yang memimpikan tetap bisa memberi ASI sebagai asupan terbaik bagi anak, setiap hari saya tetap memompa susu di sela peliputan.
Ketika berkelompok mewawancarai artis-artis Hollywood, seperti Dustin Hoffman atau Laura Dern, misalnya, saya menyempatkan memompa ASI sembari menunggu giliran wawancara di salah satu ruang di Hotel Four Seasons, South Doheny Drive, Beverly Hills, Los Angeles.
Angin sejuk pada akhir musim dingin yang mengembus ke kamar Hotel Four Seasons tetap tak bisa menghapus rasa rindu kepada keluarga. Pemandangan perbukitan Beverly Hills dengan deretan rumah-rumah mewah yang disinari cahaya senja tak mampu menjadi obat mujarab bagi hati yang dibekap kangen karena baru pertama kali meninggalkan anak bayi dan langsung terpisah puluhan ribu kilometer dalam waktu yang tidak sebentar.
Di sela padatnya jadwal liputan, saya sempat mencuri waktu untuk sejenak bertamasya bersama warga Indonesia yang menetap di LA, Endah D Redjeki, yang kala itu menjabat Wakil Presiden Indonesian-American Business Council.
Berkendara dengan mobil Endah, kami mengunjungi The Hollywood Walk of Fame, lalu tertawa-tawa berfoto di samping logo bintang bertulis ribuan nama artis, musisi, hingga karakter fiksi yang terpahat di sepanjang trotoar.
The Hollywood Walk of Fame telah menjadi tujuan wisata paling populer di Los Angeles dengan lebih dari 10 juta pengunjung per tahun. Dari lokasi tersebut, pengunjung juga bisa mengambil gambar dengan latar belakang Bukit Hollywood yang memiliki pahatan tulisan ”Hollywood”. Di sela jalan-jalan itu pun, tak lupa saya numpang meminjam ruangan sejenak untuk memerah ASI.
Namun, karena jarak penerbangan yang cukup jauh dengan total 22 jam perjalanan udara plus transit, kantong-kantong ASI beku yang saya simpan di dalam boks pendingin di bagasi pun sudah mencair semuanya.
Dengan berat hati, kantong-kantong ASI itu pun terpaksa harus dibuang ketika tiba di Jakarta. Padahal, untuk membekukan ASI tersebut pun butuh perjuangan. Saya harus menitipkannya kepada petugas hotel yang kemudian menyimpannya di lemari pembeku di dapur hotel.
Becermin dari pengalaman kecemasan dan kerepotan liputan luar negeri kala hamil dan menyusui anak pertama, saya memutuskan meminta dispensasi untuk tidak meliput ke luar negeri kala hamil anak ke dua.
Apalagi, anak pertama saya sempat mengalami gangguan tumbuh kembang dan didiagnosis PDD-NOS (salah satu spektrum autisme) sehingga saya harus ekstra berhati-hati menjaga kehamilan anak kedua yang berlangsung di usia saya yang tak lagi muda.
Editor memang sempat meminta saya meliput ke Jaipur, India, pada saat usia kandungan saya menginjak delapan bulan. Namun, setelah berdiskusi, editor akhirnya memperbolehkan saya untuk tidak berangkat demi menjaga kesehatan kandungan. Perjalanan memberi ASI untuk anak kedua hingga ia berusia dua tahun pun tergolong lancar. Hanya satu kali ”interupsi” berupa perjalanan dinas luar negeri ke Singapura yang berlangsung hanya tiga hari.
Kehadiran perempuan dalam praktik jurnalistik saat ini sudah bukan sesuatu yang langka. Di beberapa daerah makin banyak perempuan menapaki peran sebagai jurnalis karena mencintai pekerjaan turun ke lapangan mencari berita karena merasa itu sebagai panggilan hidupnya.
Ketika kerja jurnalistik mampu berjalan seirama dengan peran sebagai ibu, sudah seharusnya jurnalis tak lagi menjadi profesi yang identik dengan dunia yang maskulin. Sebagai ibu, jurnalis perempuan tetap bisa profesional dalam peliputan tanpa mengesampingkan peran melahirkan dan membesarkan anak. Menjalani keduanya tanpa saling mengorbankan....