Warga Khawatir Menjadi Percobaan Vaksin yang Belum Teruji
›
Warga Khawatir Menjadi...
Iklan
Warga Khawatir Menjadi Percobaan Vaksin yang Belum Teruji
Belum rampungnya uji klinis vaksin Covid-19 memunculkan keraguan di kalangan publik. Warga khawatir pemberian vaksin itu cenderung menjadikan mereka sebagai bahan percobaan.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah warga meragukan efektivitas vaksin Covid-19 karena kabar terkait tahap uji klinis yang belum sempurna. Mereka khawatir menjadi bahan percobaan dari vaksin yang belum teruji itu.
Respons publik terhadap vaksin muncul setelah pemerintah berencana mendatangkan sekitar 3 juta dosis vaksin dari China pada November 2020. Pemetaan daerah prioritas vaksinasi pun semakin menjadi perbincangan warga pada Kamis (22/10/2020).
Fery Andrian (25), warga Kota Depok, Jawa Barat, tahu dari riuhnya kabar bahwa Depok akan mendapat prioritas vaksinasi Covid-19. Namun, dia juga mendengar polemik bahwa vaksin yang didatangkan dari China itu masih dalam uji klinis untuk manusia.
Fery sendiri menilai, informasi terkait efektivitas vaksin itu kurang dia ketahui. Sementara di televisi, dia kerap mendengar penolakan oleh kalangan ahli kesehatan soal vaksin yang belum teruji klinik. Dia cemas kalau vaksin itu justru membawa efek samping yang tidak diketahui.
”Kalau saya dan orangtua mungkin masih wait and see (tunggu dan lihat) dulu soal vaksin itu. Keluarga juga takut kalau ikut vaksinasi justru malah berdampak yang enggak-enggak, mau sehat malah jadi sakit,” ucap Fery saat ditemui di Stasiun Cikini, Jakarta Pusat.
Ketakutan serupa disampaikan Nindya (36). Warga Pancoran, Jakarta Selatan, ini takut beberapa vaksin yang belum rampung saat ini sebagai proses pengujian kepada manusia. Perempuan ini akan menghindari permintaan vaksinasi Covid-19 dari pemerintah apabila publik hanya menjadi bahan percobaan.
Terlepas dari itu, Nindya skeptis terhadap vaksin itu karena terpaan berbagai kabar yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Salah satu kabar itu, antara lain, soal vaksin yang didatangkan dari China masih dianggap berbahaya. ”Ada yang bilang bahwa vaksin dari China itu masih berbahaya. Daripada infonya simpang-siur, lebih baik menghindari risikonya,” tuturnya.
Prima Zahara Ghafar (28), warga Kabupaten Bogor, Jawa Barat, juga cenderung meragukan vaksin Covid-19 karena informasinya masih minim. Dia kurang memercayai efektivitas vaksin yang akan datang dari China pada November, tetapi masih memantau perkembangan kabar uji klinik yang sedang berjalan. ”Kalau saya tahunya ada beberapa vaksin yang sedang dalam proses uji klinik. Saya cenderung melihat perkembangan uji kliniknya, enggak langsung percaya dengan klaim-klaim dari pemerintah,” ujarnya.
Keraguan sejumlah warga sejalan dengan sejumlah riset terkait vaksin Covid-19. Survei oleh Laporcovid19, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), dan Forum Perguruan Tinggi untuk Pengurangan Risiko Bencana menemukan penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia cenderung rendah.
Dari 2.109 responden di seluruh provinsi, 31 persen mau menerima vaksin Biofarma-Sinovac dan 69 persen responden ragu-ragu hingga tak bersedia. Untuk vaksin Merah Putih, 44 persen responden bersedia dan 56 persen responden ragu-ragu hingga tak mau menerima. Meski mewakili keseluruhan provinsi, sebagian besar jumlah responden berasal dari Jakarta dan Jawa Barat.
Irma Hidayana, peneliti kesehatan publik dari Laporcovid19, menuturkan, 67,6 persen responden mengaku pernah mendengar tentang vaksin Sinovac-Biofarma. Sementara responden yang mengaku pernah mendengar tentang vaksin Merah Putih hanya 47,8 persen.
Ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono, menyatakan, keraguan publik muncul karena ketergesa-gesaan pemerintah dalam penyediaan vaksin. Padahal, calon vaksin Covid-19 masih membutuhkan tahap pengujian yang panjang, bahkan belum terbukti efektif dan aman.
Pandu juga menyayangkan kurangnya pelibatan akademisi dan ahli kesehatan dalam keputusan vaksin. Dia menekankan, pemerintah sebaiknya tidak buru-buru membeli dan memberikan vaksin kepada masyarakat sebelum pengujian secara ilmiah rampung.
Menurut dia, pengendalian pandemi tidak bisa hanya mengandalkan vaksin. Upaya seperti tes, pelacakan, dan isolasi, serta penerapan protokol kesehatan, harus terus berjalan. Jangan hanya karena alasan kedaruratan, vaksin yang belum selesai uji klinis langsung digunakan. ”Belajar dari upaya mengatasi berbagai penyakit lain, seperti TBC, sekalipun vaksin telah ada, tetap tidak bisa mengakhiri penyakit tersebut," ucapnya.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sally A Nasution mengingatkan, vaksin Covid-19 yang digunakan mesti terbukti secara efektivitas, keamanan, dan imunogenitas. "Ini tak perlu tergesa-gesa, sambil mengingatkan warga menerapkan protokol kesehatan," katanya, Rabu (21/10/2020).
Dari survei tersebut, diketahui pula bahwa mayoritas responden khawatir dan percaya bahwa pandemi Covid-19 berdampak buruk bagi kesehatan. Namun, responden ragu-ragu menerima vaksin dan obat Covid-19. Dicky Pelupessy, pengajar Fakultas Psikologi UI, mengatakan, hal itu terlihat dari banyak responden yang tidak mengonsumsi hasil obat riset Universitas Airlangga (Kompas.id, 13/10/2020).