Yudi Latif dan Kegelisahannya terhadap Sistem Pendidikan
›
Yudi Latif dan Kegelisahannya ...
Iklan
Yudi Latif dan Kegelisahannya terhadap Sistem Pendidikan
Cendekiawan Yudi Latif mengeluarkan buku terbarunya berjudul ”Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif”. Buku ini berisi kegelisahannya terhadap praktik pendidikan.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
Dalam buku terbaru Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif, Yudi Latif, pengurus Aliansi Kebangsaan, gamblang mengungkapkan kegundahannya terhadap pembangunan dan kaitannya dengan pendidikan.
Yudi beberapa kali mengutip pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara. Misalnya, Ki Hadjar Dewantara pernah mengingatkan sistem pendidikan pada zamannya terlalu berat ke intelektualisme, kurang memperhatikan keluhuran budi.
Ketika ditarik ke konteks Indonesia sekarang, Ketua Yayasan Cahaya Guru Henny Supolo menilai, Yudi melalui bukunya ingin mengatakan bahwa pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih relevan. Dalam konteks saat ini, menurut Yudi, selain kurang memperhatikan keluhuran budi, sistem pendidikan Indonesia saat ini malah kurang mampu mengembangkan intelektualitas anak.
Penghormatan kepada martabat dan derajat manusia, kegigihan berjuang, kekeluargaan dalam pergaulan, serta hidup saling mengasihi. (Henny Supolo)
”Penghormatan kepada martabat dan derajat manusia, kegigihan berjuang, kekeluargaan dalam pergaulan, serta hidup saling mengasihi,” ujar Henny saat menghadiri bedah buku yang berlangsung di akun Youtube Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Rabu (21/10/2020).
Menurut Henny, layanan pendidikan semestinya mengajak anak selalu membiasakan mengenali potensi diri dan lingkungan. Lalu, kedua potensi itu digunakan untuk menghasilkan kebaikan bersama.
Siswa SMA Kolese Kanisius, Albertus Rakayuda, menggambarkan buku tersebut bak peta konsep karena berisi sejarah dan pengaruhnya terhadap kondisi pendidikan kekinian.
Dalam buku Pendidikan yang Berkebudayaan, Yudi mengisahkan Ki Hadjar Dewantara yang melihat temannya tidak bisa bersekolah karena bukan berasal dari golongan kelas bawah. Menurut Rakayuda, melalui kisah itu, Yudi ingin menyampaikan saat ini pun masih ada anak miskin tidak bisa bersekolah.
”Pengklasifikasian masyarakat pernah terjadi, bahkan dilegalkan secara hukum. Praktik seperti itu dihapus, tetapi masyarakat masih suka tidak menghargai perbedaan latar belakang kultur,” kata Rakayuda.
Rakayuda mengaku menjadi salah satu pengurus organisasi Ragamuda. Organisasi ini digagas Kolese Kanisius dan Al-Izhar Pondok Labu sejak 2017. Tujuannya adalah menggaungkan semangat persatuan dan kesatuan bangsa kepada anak muda. Salah satu kegiatan organisasi adalah menyebarkan konten pluralisme.
Siswi SMA Islam Al-Izhar, Pondok Labu, Jakarta Selatan, Faisa Syahla Sabila, mengatakan, ada salah satu kegelisahan Yudi yang dia tangkap dalam buku menyoal keluaran pendidikan, yaitu tentang keluaran pendidikan semestinya ibarat pohon. Batang pohon yang tinggi menjulang adalah simbol wawasan pengetahuan. Buah ranum dan bernas merupakan tanda berkebudayaan, berkemakmuran, dan berkemandirian.
”Visi pendidikan yang penting adalah membangun karakter anak,” kata Faisa.
Aprilia Pentury, guru Bahasa Inggris di SMP Negeri Satu Atap Mangge-Mangge, Seram Bagian Barat, Maluku, mengatakan, pendidikan lebih dari sekadar pengajaran. Pemahaman ini berasal dari Ki Hadjar Dewantara yang diingatkan kembali oleh Yudi melalui buku Pendidikan yang Berkebudayaan.
Pengajaran berarti guru sebatas memberikan materi pengetahuan kepada siswa. Guru hanya akan menuntut murid memahami pemikirannya. Guru tidak mau peduli keragaman kondisi ekonomi dan sosial peserta didiknya. Hal tersebut tidak tepat.
Berdasarkan pengalaman Aprilia, dia harus naik kapal cepat (speed boat) selama dua jam untuk mengajar di SMP Negeri Satu Atap Mangge-Mangge. Jika jalur darat, dia biasa menempuh perjalanan hampir empat jam. Sekolah tempatnya bekerja belum ada jaringan internet. Gedung masih memakai dinding kayu.
Kebanyakan peserta didiknya belum pandai berhitung ataupun berbahasa Indonesia dengan lancar. Kondisi itu semakin menyulitkan pekerjaan Aprilia.
”Namun, sejak memutuskan menjadi guru, saya ingin bertumbuh bersama anak-anak. Mereka belajar Bahasa Inggris dari saya, sebaliknya, saya belajar kehidupan dari anak-anak itu,” ujar Aprilia.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menyampaikan, buku Pendidikan yang Berkebudayaan penuh kritik kepada pemerintah, tetapi semuanya disampaikan dalam kalimat-kalimat sopan. Buku itu sebagai pengingat untuk pembuat kebijakan agar menengok sejarah dan memiliki imajinasi pendidikan masa depan.
Totok menyatakan memiliki kegelisahan terhadap implementasi kebijakan pendidikan di masyarakat, misalnya kasus penyalahgunaan hasil ujian nasional beberapa waktu lalu.
Pembangunan fisik
Menurut Yudi, sejak zaman Orde Baru hingga sekarang, masyarakat sudah akrab dengan jargon pembangunan. Namun, pembangunan yang dimaksud masih sebatas upaya membangun infrastruktur fisik.
Padahal, pembangunan suatu negara sejatinya membangun peningkatan kualitas hidup manusia. Kata kuncinya adalah kapabilitas. Jantung kapabilitas adalah pendidikan.
”Pembangunan suatu negara berhasil kalau pendidikan berhasil,” ujar anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini.
Salah satu kekhawatiran Yudi saat ini adalah masih adanya residu masa lalu yang mewarnai pendidikan Indonesia, seperti segregasi kelompok masyarakat. Hal itu terlihat dari sektor pendidikan yang masih menyumbang ketimpangan paling nyata.
Yudi sendiri berasal dari keluarga guru. Kakek dan ayahnya adalah guru. Dia menyerap pengalaman-pengalaman dari keduanya dan mengimbanginya dengan membaca berbagai buku.