Dengan PJJ yang diduga masih akan panjang, dukungan dan penguatan kapasitas guru harus lebih besar lagi agar PJJ tidak menjadi beban psikologis bagi siswa, orangtua, maupun guru.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Seorang siswa di Gowa, Sulawesi Selatan, bunuh diri. Sebelumnya, siswa di Banten meninggal setelah dianiaya orangtuanya karena kesulitan belajar di rumah.
Meski penyebab kedua peristiwa itu bisa jadi multifaktor, harus diakui pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama masa pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tekanan psikologis pada siswa, orangtua, maupun guru. Banyak yang tidak siap dengan PJJ ini, bahkan setelah tujuh bulan berlangsung.
Para guru terus belajar dan berupaya menghadirkan pembelajaran interaktif meski tidak seideal pembelajaran tatap muka. Survei Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 8-15 Agustus 2020 menunjukkan, semakin banyak guru yang melakukan hal ini seiring meningkatnya adaptasi teknologi untuk pembelajaran.
Sejak awal PJJ, Kemendikbud juga menekankan agar guru atau sekolah tidak menargetkan penuntasan kurikulum, tetapi memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa dengan memfokuskan pada pendidikan kecakapan hidup. Panduan PJJ bagi guru dan sekolah telah diberikan, juga kurikulum kondisi darurat.
Namun, masih ada guru yang sekadar memindahkan metode pembelajaran tatap muka ke pembelajaran daring (dalam jaringan) dan menjejali siswa dengan tugas-tugas. Akibatnya, tidak hanya pembelajaran tidak efektif, tetapi menimbulkan tekanan psikologis pada siswa, orangtua, bahkan guru.
Pendekatan sekolah di rumah dalam konteks pembelajaran daring ini memang jadi tanggung jawab guru, juga orangtua dan masyarakat, termasuk pemerintah. Namun, efektivitas pembelajaran ini bergantung pada keterampilan instruksional guru, selain akses ke teknologi digital dan internet.
Dengan tingkat kompetensi guru yang rata-rata kurang dari 70, bahkan skor uji kompetensi guru di Jakarta pada 2019 hanya 54, tidak mudah berharap pada daya kreatif semua guru dalam PJJ ini.
Kompetensi dan kreativitas guru dalam mendesain pembelajaran memegang peranan penting dan ini pun menjadi diskusi panjang sejak sebelum pandemi. Dengan tingkat kompetensi guru yang rata-rata kurang dari 70, bahkan skor uji kompetensi guru di Jakarta pada 2019 hanya 54, tidak mudah berharap pada daya kreatif semua guru dalam PJJ ini.
Namun, tidak adil menimpakan ini semua kepada guru. Bagaimanapun, tingkat kompetensi guru yang rendah tidak terlepas dari pola perekrutan guru yang belum berorientasi pada kualitas (Kompas, 22/10/2020).
Laporan penelitian program Research on Improving System of Education menunjukkan, perekrutan guru bukan berdasar kebutuhan dan tidak fokus ke pemilihan tenaga didik profesional karena lebih untuk memenuhi kebutuhan aparatur sipil negara. Bisa dipahami jika pendidikan di Tanah Air ini masih bermasalah juga pada aspek kualitas, dan pandemi ini memperjelas permasalahan tersebut.
Dengan PJJ yang diduga masih akan panjang, dukungan dan penguatan kapasitas guru harus lebih besar lagi agar PJJ tidak menjadi beban psikologis bagi siswa, orangtua, maupun guru. Ke depan, keberpihakan pada pendidikan hendaknya konsisten sejak dari proses, untuk dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.