Pembelajaran jarak jauh dianggap guru sebagai solusi utama agar anak tetap memperoleh hak pendidikannya selama pandemi Covid-19. Oleh karena itu, guru berharap mereka didukung dengan pelatihan keterampilan digital.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai menyebabkan guru khawatir kembali untuk menyelenggarakan kegiatan belajar-mengajar di sekolah. Mereka sepakat pembelajaran jarak jauh dilanjutkan.
Berdasarkan hasil survei ”Suara Guru di Masa Pandemi Covid-19”, sebesar 76 persen guru merasa khawatir dan ragu kembali ke sekolah selama masa pandemi Covid-19. Kekhawatiran terbesar berturut-turut, yaitu penularan Covid-19 pada peserta didik (44 persen), pada diri sendiri (37 persen), tidak bisa melakukan proses belajar mengajar dengan nyaman (29 persen), tidak dapat menjalankan pembelajaran tatap muka dengan efektif (24 persen), dan keluarga di rumah tertular (23 persen). Survei itu dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia dan Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),
Survei dijalankan pada 18 Agustus-5 September 2020 dengan jumlah responden 27.046 guru dan tenaga kependidikan di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Sebanyak 95 persen responden berada di daerah bukan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) dan 5 persen di daerah 3T. Sebanyak 74 persen responden berasal dari satuan pendidikan umum dan 26 persen dari satuan pendidikan khusus atau sekolah luar biasa.
Sekitar 95 persen dari total responden setuju pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau kombinasi. Sekitar 45 persen sebagian besar guru berpendapat, strategi yang paling baik dilakukan gabungan antara PJJ dan tatap muka, 38 persen responden memilih melakukan PJJ metode daring, 12 persen memilih PJJ metode luring, dan hanya 5 persen memilih tatap muka semuanya.
Education Team Leader Wahana Visi Indonesia Mega Indrawati, Kamis (22/10/2020), di Jakarta, mengatakan, sebagian besar responden mengaku membutuhkan dukungan alat pelindung diri (APD) dan fasilitas cuci tangan pakai sabun. Responden juga memerlukan insentif atau akses untuk membeli kuota data internet.
Sekitar 31 persen responden guru dan tenaga kependidikan menyebut pentingnya pemantauan dan pengawasan rutin terkait perkembangan Covid-19 dari sejumlah pihak. Misalnya, dinas kesehatan, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pengawas sekolah, Palang Merah Indonesia, dan lembaga swadaya masyarakat.
Temuan riset menunjukkan bahwa guru membutuhkan materi edukasi Covid-19 yang inklusif atau mudah dipahami semua kalangan. Selain itu, responden merasa layanan psikososial bagi siswa berkebutuhan khusus dan orangtua perlu ada.
”Temuan riset menunjukkan bahwa guru membutuhkan materi edukasi Covid-19 yang inklusif atau mudah dipahami semua kalangan. Selain itu, responden merasa layanan psikososial bagi siswa berkebutuhan khusus dan orangtua perlu ada,” katanya.
Karena mendukung PJJ ataupun kombinasi tetap dilanjutkan, survei menemukan sekitar 62 persen responden mengaku membutuhkan pelatihan digital tingkat lanjut. Sekitar 35 persen responden membutuhkan pelatihan keterampilan digital tingkat dasar.
Memperkuat
Direktur Pendidikan Profesi dan Pembinaan Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Praptono menyampaikan, panduan membuka sekolah telah tertuang jelas dalam revisi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Panduan Pembelajaran Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19. Pembukaan kembali sekolah di zona merah, oranye, dan hitam Covid-19 sangat tidak direkomendasikan.
”Pembukaan kembali sekolah di zona hijau dan kuning Covid-19 memiliki syarat ketat. Hasil penelitian yang Wahana Visi lakukan memperkuat substansi SKB,” katanya.
Menurut Praptono, SKB itu telah memuat protokol kesehatan yang harus dipenuhi satuan pendidikan. Sekolah pun diminta patuh memenuhi kebutuhan perlengkapan penunjang. Pemerintah memprioritaskan kesehatan dan keselamatan guru ataupun siswa.
Dia mengklaim berbagai upaya membantu kebutuhan guru telah dikeluarkan pemerintah. Sebagai contoh, bantuan kuota data internet, webinar sebulan penuh tentang penanganan dampak psikososial selama PJJ, dan portal Guru Belajar.
Secara terpisah, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menceritakan, sejumlah guru anggota perhimpunan yang, antara lain, tersebar di Kabupaten Belitung, Berau, dan Bojonegoro mengaku menyelenggarakan pembelajaran metode campuran. Artinya, ada jadwal kelas tatap muka fisik di sekolah dan ada pula kelas tatap muka secara daring. Realitas ini didorong oleh desakan orangtua yang ingin anaknya kembali belajar di kelas fisik.
”Buka tutup kelas tatap muka di sejumlah sekolah lumrah terjadi mengikuti dinamika perkembangan penyebaran Covid-19. Kondisi ini malah membuat pembelajaran kepada anak tidak efektif,” ujarnya.
Satriwan menyampaikan, sejumlah orangtua di daerah 3T dan kelas menengah bawah cenderung menyerahkan keputusan pembelajaran anak kepada sekolah. Orangtua tersebut umumnya memilih anak belajar di sekolah dibandingkan dengan di rumah karena mereka tidak mengerti pembelajaran anak. Ditambah lagi, keluarga seperti itu belum mampu mengakses gawai ataupun layanan telekomunikasi seluler.
Lamban
Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim menambahkan, pemerintah melalui Kemendikbud lamban mengantisipasi segala hal dampak Covid-19 terhadap pendidikan, misalnya penyesuaian kompetensi isi dan kompetensi dasar Kurikulum 2013. Kemendikbud melalui Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 018/H/KR/2020 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah pada Agustus 2020. Sementara pembelajaran tahun ajaran 2020/2021 sudah mulai sejak Juli 2020.
Contoh lain adalah peningkatan kompetensi guru untuk mengajar selama PJJ. Dia mengklaim, beberapa organisasi guru mulai memberikan pelatihan sejak awal pandemi Covid-19.
”Sebelum pandemi Covid-19, kualitas kapasitas sejumlah guru masih rendah. Dengan kondisi itu, mereka keteteran menghadapi PJJ,” kata Ramli.
Dari sisi kepemimpinan, dia memandang konsep Merdeka Belajar tidak merinci penjelasan kepada satuan pendidikan. Akibatnya, kepala sekolah umumnya gamang menerapkan konsep itu selama pandemi Covid-19. Ini terlihat dari masih adanya kepala sekolah meminta guru memberikan beban tugas berlebih agar siswa menuntaskan capaian kurikulum.