Kalau mau masuk dan ikut ambil bagian dalam memperbaiki peringkat dan skor LPI, mungkin sebaiknya Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi berfokus pada penanganan kecamuk konflik kepentingan dan ego sektoral.
Oleh
DEDI HARYADI
·5 menit baca
Negara-negara yang memiliki manajemen logistik yang baik biasanya juga mempunyai manajemen anti-korupsi yang baik, atau sebaliknya. Indikasinya bisa dilihat dari Logistic Performance Index (LPI) berskala 1-5 dan Corruption Perception Index (CPI) yang berskala 0-100.
Pada 2018, negara yang peringkat dan skor LPI-nya masuk 10 terbaik dari 167 negara yang disurvei ialah Jerman (4,20), Swedia (4,05), Belgia (4,04), Austria (4,03), Jepang (4,03), Belanda (4,07), Singapura (4,00), Denmark (3,99), Inggris (3,99), dan Finlandia (3,97). Untuk peringkat dan skor CPI, kesepuluh negara itu juga masuk 20 teratas. Jerman peringkat ke-11, Singapura ketiga.
Relasi CPI dan LGI ini menunjukkan upaya mengendalikan risiko dan prevalensi korupsi di pelabuhan dapat meningkatkan LPI suatu negara. Dengan demikian bisa meningkatkan daya saing ekonomi negara. Selama periode 2016-2018, peringkat dan skor LPI Indonesia meningkat dari 63 dengan skor 2,98 menjadi peringkat ke- 46 dengan skor 3,15. Sementara peringkat dan skor CPI juga meningkat, dari 90 dengan skor 37 jadi ke-89 dengan skor 38.
Testimoni para pengusaha (eksportir/importir) menunjukkan peningkatan LPI itu nyata. Sejak 2015, 40 persen responden mengaku ada perbaikan dalam tata kelola perlogistikan di Tanah Air, seperti prosedur/izin kepabeanan, infrastruktur perdagangan dan transportasi, infrastruktur telekomunikasi dan teknologi informasi, regulasi terkait logistik, dan layanan logistik swasta.
Presiden Joko Widodo menginginkan LPI kita berada di peringkat ke-40 dengan skor 3,17-3,22. Diukur dari skor pemeringkatan eksisting, berarti harus menaikkan skor LPI dari 3,15 menjadi 3,17 atau 3,22. Dalam jangka panjang, mungkin kita harus meraih peringkat top 20 dengan skor 3,70-3,74.
LPI ini terdiri dari enam komponen/dimensi: efisiensi kepabeanan (kecepatan, kemudahan dan keandalan perizinan ekspor/impor); infrastruktur (pelabuhan, jalan, rel lintasan kereta, teknologi informasi); pengiriman internasional; kompetensi dan kualitas layanan logistik; keterlacakan/ketelusuran barang; ketepatan waktu pengiriman ke tempat tujuan.
Keenam komponen menunjukkan kemudahan dan efisiensi pergerakan barang di dalam dan luar negeri. Bank Dunia mengembangkan dan memublikasikan laporan indeks ini secara teratur dua tahun sekali.
Skor LPI kita 3,15, disumbang oleh skor tiap komponen: efisiensi kepabeanan (2,67); infrastruktur (2,89), pengiriman internasional (3,23), kompetensi dan kualitas layanan logistik (3,10), ketelusuran/keterlacakan barang (3,30), dan ketepatan waktu (3,67). Bandingkan dengan Singapura, di peringkat ke-7, dengan skor (4,00).
Skor LPI Singapura tersebut disumbang oleh efisiensi kepabeanan (3,89), infrastruktur (4,06), pengiriman internasional (3,58), kompetensi dan kualitas layanan logistik (4,10), ketelusuran/keterlacakan barang (4,08), dan ketepatan waktu (4,32). Perbedaaan cukup mencolok dengan Singapura ada di komponen efisiensi kepabeanan dan kualitas infrastruktur.
Dengan peringkat dan skor LPI seperti itu, dapat dipastikan risiko dan prevalensi korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tinggi dalam manajemen logistik nasional. Hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap PT Pelindo II, misalnya, menunjukkan gejala demikian.
Negara dirugikan lebih dari Rp 6 triliun dalam berbagai kasus, seperti pembangunan pelabuhan New Kalibaru, pengelolaan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja, perpanjangan kontrak Jakarta International Container Terminal (JICT) dan Global Bond Pelindo II.
Isu strategis
Apa yang harus dilakukan untuk kembali meningkatkan peringkat dan skor LPI ke level yang dimaui Presiden? Sekurangnya ada empat peluang sekaligus jadi tantangan besar bagi insan perlogistikan, khususnya otoritas pelabuhan (OP), Ditjen Bea dan Cukai, badan usaha pelabuhan (BUP), serta aparat penegak hukum (APH) perairan/maritim dan aktor lain, untuk meningkatkan peringkat dan skor LPI.
Pertama, menurunkan biaya dan pungutan yang masih dirasakan tinggi oleh eksportir/importir, termasuk menghilangkan berbagai pungutan liar di sejumlah titik dari seluruh rantai pasokan.
Kedua, meningkatkan kualitas infrastruktur pelabuhan laut, udara, jalan raya, jalur kereta, gudang/peti kemas/bongkar muat, telekomunikasi dan teknologi informasi. Digititalisasi pelayanan pelabuhan termasuk di dalamnya meningkatkan kerahasiaan dan keamanan siber menjadi sangat penting.
Seiring meningkatnya digitalisasi layanan pelabuhan, para pengusaha juga mencemaskan aspek keamanan siber. Dalam aspek ini, PT Pelindo II sudah meresponnya dengan mengembangkan aplikasi Marine Operation System (MOS). Inovasi digitalisasi pelabuhan ini didesain untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan pemanduan dan penundaan kapal.
Dengan MOS, ada kepastian pelayanan otomatis melalui sistem, semua data terlacak dan termonitor lebih mudah, memangkas waktu pelayanan, dan tidak memerlukan koreksi nota. Sukses mengurangi waktu tunggu dan inefisiensi. Inovasi seperti ini harus terus dikembangkan untuk jenis layanan lain.
Ketiga, meningkatkan mutu tata kelola perlogistikan yang baik, yakni menerapkan prinsip-prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan dalam tata kelola perlogistikan. Ada banyak isu yang muncul di sini, misalnya bagaimana meningkatkan kemampuan OP mengorkestrasikan tata kelola ini.
Contohnya dalam penerapan prinsip transparansi, bagaimana memastikan tak ada suap, gratifikasi, kolusi, dan nepotisme dalam penerbitan izin dan konsesi kepada BUP. Peluang dan tantangan ini sudah diusahakan dijawab, di antaranya, oleh Ditjen Bea dan Cukai dengan mengembangkan Zona Integritas. Namun, ini masih perlu disempurnakan.
Keempat, memperkuat kontrol publik. Kontrol internal dan penegakan hukum oleh APH jelas tak memadai. Apalagi kalau aparat pengawasan dan APH mempunyai risiko tinggi terlibat malapraktik pengawasan dan penegakan hukum.
Di sini perlu mendorong organisasi masyarakat sipil (OMS), seperti Transparansi Internasional Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Kemitraan, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Pusat Telaah dan Informasi Regional (Pattiro), Auriga, dan Perkumpulan Inisiatif, untuk terlibat aktif memantau tata kelola logistik nasional.
Keterlibatan OMS dalam tata kelola anggaran dan pelayanan publik sudah sangat kuat, tetapi untuk urusan logistik ini sangat lemah, bahkan tidak ada. Karena itu, urgensi pelibatan OMS sangat tinggi. OMS ini nantinya perlu mengembangkan jejaring kerja dengan sejumlah institusi, media, ataupun Maritime Anti- Corruption Network (MACN), misalnya, sehingga lebih kuat, efektif, dan stabil dalam mengadvokasikan tata kelola logistik yang baik.
Kalau keempat isu strategis ditangani dengan baik, tata kelola logistik akan membaik; peringkat dan skor LPI akan meningkat. Yang tersulit ialah mengatasi konflik kepentingan dan ego sektoral yang persisten di antara pemangku kepentingan dalam tata kelola perlogistikan.
Kalau mau masuk dan ikut ambil bagian dalam memperbaiki peringkat dan skor LPI, mungkin sebaiknya Sekretariat Nasional Pencegahan Korupsi berfokus pada penanganan kecamuk konflik kepentingan dan ego sektoral ini.
Dedi Haryadi, Ketua Beyond Anti Corruption; Anggota Pengurus Bumi Alumni, Unpad.