Jerat Penyalahgunaan Wewenang Petahana
Badan Pengawas Pemilu merekomendasikan diskualifikasi untuk enam paslon petahana di Pilkada 2020 tingkat Kabupaten/kota.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan diskualifikasi enam paslon petahana di Pilkada 2020 tingkat kabupaten/kota. Paslon petahana tersebut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan modus mulai dari penggantian pejabat daerah hingga ketidakwajaran penggunaan dana bansos dalam penanganan Covid-19 di daerah.
Rekomendasi diskualifikasi itu diterbitkan Bawaslu untuk enam pasangan calon (paslon) yang dinilai melanggar aturan pemilihan kepala daerah. Paslon keseluruhannya merupakan petahana yang kembali maju dalam pemilihan untuk Kabupaten Gorontalo (Gorontalo), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Halmahera Utara (Maluku Utara), Pegunungan Bintang (Papua), Banggai (Sulawesi Tengah), dan Kaur (Bengkulu).
Pelanggaran yang dilakukan petahana tersebut terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan memiliki konflik kepentingan dalam pencalonan di pilkada. Pelanggaran wewenang yang dilakukan ada yang terkait dengan mutasi pejabat di daerah hingga penyalahgunaan dana alokasi untuk penanganan Covid-19 di daerah.
Dalam hal ini, paslon-paslon petahana melanggar peraturan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Pasal 71 UU tersebut merinci secara jelas mengenai pembatasan tindakan atau keputusan oleh pejabat daerah petahana yang kembali maju pemilihan untuk menghindari konflik kepentingan.
Petahana di Gorontalo, Nelson Pomalingo, dinilai melanggar administrasi pemilihan dan penyalahgunaan program saat melakukan kegiatan penyaluran bantuan perikanan, produksi hand sanitizer, dan jelajah wisata. Atas tindakkan itu, Bupati Nelson ditengarai melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 71 Ayat (1) dan Ayat (3) UU No 10/2016.
Meskipun demikian, hasil rapat pleno tindak lanjut yang dilakukan KPU Gorontalo atas rekomendasi Bawaslu daerah tersebut memutuskan apa yang dilakukan calon petahana itu tak terbukti melanggar aturan.
Sementara kasus yang ditemukan terhadap paslon petahana di Kabupaten Pegunungan Bintang, Banggai, dan Kaur terkait dengan pelanggaran kewenangan melakukan mutasi pada sejumlah pejabat daerah. Larangan atas tindakan itu diatur dalam Pasal 71 Ayat (2) UU No 10/2016.
Pembatasan atas tindakan mutasi dan pelantikan pejabat dalam jangka waktu enam bulan sebelum penetapan dalam pemilihan ini memang dilatarbelakangi maraknya bongkar pasang jabatan yang dilakukan petahana yang bernuansa kuat untuk kepentingan politis pemenangan.
Oleh karena itu, kewenangan kepala daerah itu perlu dibatasi agar kontestasi oleh calon petahana dapat berjalan lebih adil dan terlepas dari tindakan konflik kepentingan di ranah pejabat PNS daerah.
Di Kabupaten Halmahera Utara dan Ogan Ilir, paslon petahana dinilai melanggar Pasal 71 Ayat (3) terkait larangan menggunakan kewenangan dalam kegiatan atau program kepala daerah yang menguntungkan atau merugikan salah satu paslon. Paslon petahana di Halmahera Utara diduga menyalahgunakan sejumlah program untuk kepentingan kampanye.
Petahana Bupati Frans Manery dilaporkan karena telah memolitisasi program penyerahan bantuan sosial Aspirasi Kelompok Tani berupa alat berat pertanian. Bantuan itu berasal dari APBN yang disalurkan melalui dinas pertanian daerah setempat pada awal September.
Di Ogan Ilir, kasus pelanggaran yang menyandung petahana tidak hanya terkait penyalahgunaan program. Paslon petahana Ilir Ilyas Panji Alam dan Endang PU dinilai melanggar sejumlah ketentuan, mulai dari pelantikan sejumlah pejabat di masa pemilihan, pelanggaran administrasi, hingga adanya pemanfaatan program bantuan sosial Covid-19 untuk kepentingan politik.
Sejauh ini hingga Oktober 2020, Bawaslu mencatat baru dua KPU daerah yang melakukan tindak lanjut atas rekomendasi diskualifikasi tersebut. KPU Ogan Ilir menindaklanjuti dan memutuskan mendiskualifikasi paslon petahana Ilyas-Endang dalam rapat pleno yang digelar pada 4 Oktober 2020. Pihak paslon Ilyas-Endang mengaku akan melakukan upaya hukum karena meyakini bahwa pembuktian pada pelanggaran tak kuat.
Tindak lanjut atas rekomendasi Bawaslu juga dilakukan KPU Banggai untuk mendiskualifikasi paslon petahana Herwin Yatin dan Mustar Labolo. Namun, keputusan diskualifikasi itu batal setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memenangkan gugatan calon kepala daerah itu atas keputusan diskualifikasi KPU Banggai yang dianggap telah melakukan pelanggaran administratif.
Penyalahgunaan Program
Peluang penyalahgunaan program yang dilakukan paslon petahana kepala daerah terkait jaring pengaman sosial atau dana bansos memang terbuka besar di tengah pandemi Covid-19. Maraknya politisasi bantuan sosial dalam rangka penanganan pandemi Covid-19 di daerah yang disorot Bawaslu menjadi bukti nyata bahwa celah risiko penyelewengan sangat mungkin terjadi di tengah momentum pelaksanaan pilkada.
Gelontoran dana yang besar, baik berasal dari pusat maupun APBD, ditambah ketiadaan prosedur penganggaran dan pengawasan yang ketat membuat praktik penyalahgunaan ini tak terhindarkan. Dalam hal pengalokasian anggaran penanganan Covid-19 yang dimasukkan dalam pos bantuan sosial, misalnya, tidak memiliki ketentuan besaran proporsi penganggaran untuk setiap daerah.
Meskipun kondisi di setiap daerah berbeda, ketiadaan ketetapan dalam mengalokasikan dana penanganan Covid-19 menjadi sangat berpotensi diselewengkan. Tak sedikit daerah yang menggunakan anggaran penanganan pandemi Covid-19 yang diperuntukkan bagi bantuan sosial dengan proporsi yang terlampau besar dan mengindikasikan ketidakwajaran.
Komisi Pemberantasan Korupsi terkait hal itu memetakan daerah-daerah pilkada dengan proporsi penganggaran jaring pengaman sosial yang dianggap tak wajar karena terlalu besar. Dalam catatan KPK setidaknya dari 270 daerah pilkada terdapat 58 daerah yang mengalokasikan anggaran untuk bansos hingga 40 persen. Tak kurang dari 31 daerah lainnya memiliki pos anggaran bansos mencapai 50 persen.
Dalam catatan KPK, setidaknya dari 270 daerah pilkada, terdapat 58 daerah yang mengalokasikan anggaran untuk bansos hingga 40 persen. Tak kurang dari 31 daerah lainnya memiliki pos anggaran bansos mencapai 50 persen.
Lebih dari itu, besaran proporsi anggaran mencapai 75 persen untuk bansos ditemukan di tujuh daerah. Sementara terdapat satu daerah yang bahkan menggunakan seluruh anggaran penanganan Covid-19 di daerah hanya untuk program bantuan sosial.
Potensi korupsi
Sebelumnya, dalam konteks penanganan pandemi Covid-19, pada Agustus 2020 KPK pernah mengidentifikasi potensi terjadinya korupsi dalam rangka penanganan Covid-19. Pelanggaran itu dapat terjadi beberapa lini dan tingkatan struktur dalam kerja penanggulangan bencana kesehatan tersebut.
Setidaknya identifikasi KPK memfokuskan empat potensi praktik korupsi yang dapat terjadi. Pertama, terkait dengan korupsi pengadaan barang dan jasa (PBJ). Potensi kolusi, mark up harga, kickback, konflik kepentingan, dan kecurangan lainnya begitu besar terjadi pada proses ini.
Sebagai antisipasi, secara khusus KPK menerbitkan Surat Edaran (SE) No 8/2020 tentang Penggunaan Anggaran PBJ untuk Pencegahan Korupsi dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. SE tersebut berisikan rambu-rambu pencegahan hingga mendorong keterlibatan aktif lembaga terkait yang berwenang untuk melakukan pendampingan pelaksanaan PBJ.
Potensi korupsi kedua terkait dengan penyelewengan bantuan atau sumbangan filantropi dari pihak ketiga. Pandemi Covid-19 memang telah membangkitkan kepedulian untuk saling membantu, tak ayal dana sumbangan kemanusiaan tak sedikit yang mengalir dari para filantropis.
Kerawanan dalam pencatatan penerimaan dan penyaluran perlu diantisipasi dengan proses yang benar dan transparan. Mengantisipasi hal itu, lembaga antirasuah itu juga menerbitkan Surat KPK No B/1939/GAH.00/0 1-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat. Ditujukan kepada gugus tugas dan seluruh kementerian/lembaga/pemda.
Selain itu, potensi tindak korupsi juga mungkin terjadi saat proses realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19, baik di dalam APBN maupun APBD. Terakhir, potensi kerawanan korupsi yang sangat mungkin terjadi dalam penanganan Covid-19 adalah dalam hal penyelenggaraan bantuan sosial oleh pemerintah pusat dan daerah. Koordinasi, pendataan, validasi data, distribusi, hingga pengawasan menjadi proses yang begitu penting untuk dilakukan secara benar dan akuntabel sehingga tak memberi ruang bagi praktik penyelewengan.
Pilkada di tengah Pandemi Covid-19 memang telah membuka lebar celah penyelewengan oleh paslon petahana dan siapa pun yang berkepentingan memanfaatkan momentum ini. Menjadi tanggung jawab semua pihak menutup celah perilaku korup itu dengan tidak menoleransi segala bentuk penyelewengan sebagai upaya mewujudkan panggung kontestasi pilkada yang bersih. (LITBANG KOMPAS)