Sensasi menonton di bioskop tidak bisa sepenuhnya digantikan oleh kehadiran aplikasi tayangan film di gawai. Kedua medium ini punya tempat di hati penggemar film.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun film kini bisa hadir dalam genggaman, bukan berarti bioskop ditinggalkan sama sekali. Kedua medium itu dinilai punya kelebihan yang berbeda di mata penggemar film.
Karyawan swasta, Lorenzo Anugrah Mahardhika (26), berlangganan Netflix sejak 2018. Namun, di saat tertentu, dia masih melipir ke bioskop.
”Perbedaan menonton di bioskop dengan Netflix lebih soal suasana. Nonton di bioskop dan Netflix jelas beda vibe-nya. Dengan Netflix, aku bisa menonton dari mana saja. Jadi, lumayan kalau lagi bosan atau senggang. Kalau bioskop, kan, kudu ke mal,” ujarnya, Jumat (23/10/2020).
Dj Jakarta, pelonggaran pembatasan sosial mengizinkan bioskop kembali beroperasi dengan protokol kesehatan ketat. Bioskop di bawah jaringan CGV, misalnya, sudah memutar film sejak Rabu (21/10/2020) dengan membatasi penonton maksimal 25 persen dari kapasitas.
Public Relations CGV Hariman Chalid menjelaskan, bioskop menawarkan pengalaman sinematik, seperti layar lebar dan audiovisual dengan teknologi terkini. Ada pula pilihan auditorium spesial, seperti 3Dm, 4DX, ScreenX, dan Gold Class Velvet.
”Menonton di bioskop juga bisa menjadi aktivitas rekreasi keluarga. Tentu ini tidak bisa didapatkan dari layanan aplikasi on demand,” jelasnya.
Antusiasme penonton, lanjutnya, mulai terlihat ketika bioskop dibuka meskipun jatah bangku penonton maksimal 25 persen itu belum terisi penuh. Paling tidak, pembukaan bioskop bisa menggairahkan lagi aktivitas di rumah produksi. Sektor industri kreatif pun kembali menggeliat.
”Masyarakat bisa kembali menonton di bioskop dengan aman dan nyaman dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat,” tambahnya.
Menurut Rangga Eka Sakti (26), peneliti di salah satu media nasional, yang tak tergantikan dari bioskop adalah aktivitas sosialnya. Di bioskop, orang tak sekadar menikmati film. Interaksi bersama teman yang diajak nonton pun tak kalah penting.
Rangga berlangganan aplikasi videoon demand sejak kuliah. Selain Netflix, dia pernah berlangganan Amazon Prime. Namun, toh, dia tetap juga sekali waktu ke bioskop.
Andini Nafsika (29), guru Bahasa Indonesia di Padang Panjang, Sumatera Barat, rela menempuh perjalanan sekitar 90 kilometer menuju Kota Padang untuk menonton film di bioskop. Di Sumatera Barat, bioskop hanya ada di Padang, ibu kota provinsi itu. Dia selalu mampir ke bioskop apabila ada pemutaran film dari sutradara idolanya, seperti film dari Joko Anwar, Riri Riza, dan Mira Lesmana.
Sejak Padang berstatus wilayah merah Covid-19, dua bioskop andalan di Padang, yakni XXI dan CGV, tutup. Andini pun menjadi lebih intens menggunakan layanan aplikasi videoon demand.
Menurut Andini, kedua medium itu punya keunggulan masing-masing. Layanan video on demand lebih praktis dan murah. Harga satu tiket film bioskop setara dengan sebulan langganan Netflix untuk satu layar. ”Kalau di bioskop, Rp 50.000 cuma buat satu film,” ujarnya.
Di sisi lain, bioskop memunculkan euforia karena nonton bareng. Ada respons dari orang sekitar yang terlihat langsung. Ini membuat pikiran segar. Ke bioskop sekaligus menjadi ajang untuk jalan-jalan. ”Kalau enggak mager dan enggak Covid-19, aku suka ke bioskop,” tambahnya.
Hasil sigi Saiful Mujani Research and Consulting bertajuk ”Siapa Menonton Film di Bioskop” menemukan, lebih dari separuh dari 1.000 responden menonton film di bioskop. Survei dilakukan 10-20 Desember 2019. Responden dengan rentang usia 15-38 tahun itu tersebar di 16 ibu kota provinsi.
Di saat bersamaan, pelanggan aplikasi video on demand pun terus tumbuh di Indonesia. Mengutip data dari Nakano.com, ada 95.000 pelanggan Netflix di Indonesia pada 2017. Jumlah tersebut meningkat menjadi 237.300 pelanggan pada 2018. Tahun 2019, jumlah pelanggan Netflix diperkirakan mencapai 482.000. Angka tersebut diprediksi meningkat hingga 907.000 pelanggan tahun ini (Kompas, 14/1/2020).