Pejabat Israel Kunjungi Sudan guna Percepat Normalisasi Hubungan Bilateral
›
Pejabat Israel Kunjungi Sudan ...
Iklan
Pejabat Israel Kunjungi Sudan guna Percepat Normalisasi Hubungan Bilateral
Sudan mengonfirmasi bahwa pejabat Israel telah berkunjung ke negara itu sebagai bagian dari upaya normalisasi hubungan antara Sudan dan Israel.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
KHARTOUM, JUMAT — Setelah sebelumnya berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Uni Emirat Arab dan Bahrain, Israel kini juga hendak menormalisasi hubungan dengan Sudan. Delegasi Israel berkunjung ke Sudan untuk membahas niatan itu, Rabu lalu. Ada spekulasi Israel akan bisa mencapai kesepakatan perdamaian dengan Sudan. Kedua negara secara teknis masih dalam status perang.
”Delegasi Amerika Serikat dan Israel datang ke Khartoum kemarin dan bertemu Presiden Majelis Berdaulat Jenderal Abdel Fattah al-Burhan untuk membicarakan normalisasi hubungan antara Sudan dan Israel,” kata sumber di pemerintahan Sudan, Kamis (22/10/2020).
Pada hari yang sama di Washington DC, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berharap Sudan mau segera mengakui Israel. Departemen Luar Negeri AS juga menyebutkan Pompeo telah berbicara dengan Perdana Menteri Sudan Abdalla Hamdok dan memuji upaya Hamdok memperbaiki hubungan Sudan dengan Israel.
Pompeo menghubungi Hamdok setelah Presiden AS Donald Trump berjanji mencoret Sudan dari daftar hitam negara-negara pendukung terorisme. Masuknya Sudan dalam daftar AS sebagai negara pendukung teroris merupakan warisan Sudan semasa kekuasaan diktator Omar al-Bashir.
Harian Israel, Yedioth Ahronoth, menyebutkan, pemerintahan baru yang merupakan gabungan antara militer dan sipil di Sudan sudah sepakat secara internal untuk menormalisasi hubungan dengan Israel. Kemungkinan Trump akan mengumumkan perkembangan ini beberapa hari mendatang dari Washington bersama PM Israel Benjamin Netanyahu dan Burhan melalui video telekonferensi.
Menteri Intelijen Israel Eli Cohen juga mengungkapkan, hubungan Israel dan Sudan dalam waktu sangat dekat sudah akan terjalin secara normal.
Mantan pemimpin partai oposisi Sudan, Partai Umat Nasional, Sadiq al-Mahdi, tidak setuju dengan rencana normalisasi hubungan itu. Ia menolak upaya apa pun ke arah itu. Rencana itu dianggapnya sebagai bentuk pengkhianatan dan melanggar hukum. Ia akan mendorong partainya untuk mengajukan tuntutan hukum melawan pemerintah dan tidak akan mendukung pemerintah lagi.
Persetujuan parlemen
Hamdok pada dasarnya siap menormalisasi hubungan dengan Israel, tetapi setelah parlemen transisi menyetujui langkah itu. Masalahnya, parlemen transisi itu pun belum terbentuk. Ini berarti rencana normalisasi hubungan kedua negara tidak bisa terwujud dalam waktu dekat karena parlemen masih harus dibentuk terlebih dahulu. Itu pun harus melalui kesepakatan pemerintahan bersama antara militer dan sipil di negara itu.
Niatan normalisasi hubungan dengan Israel ini juga sebenarnya masih menjadi pro dan kontra di internal Sudan. Pemerintahan Hamdok masih belum setuju dengan rencana normalisasi itu. Sebaliknya, tokoh-tokoh militer Sudan yang terlibat dalam transisi politik justru terbuka pada ide itu. Kelompok-kelompok sipil, termasuk politikus sayap kiri dan Islamis, juga masih belum bisa terima. Ini karena isu Israel termasuk sensitif di Sudan.
Perubahan sejarah
Pada tahun lalu, Sudan mengalami perubahan bersejarah. Bashir terguling, April lalu, setelah didera gelombang unjuk rasa yang digerakkan anak-anak muda. Kini, Sudan berusaha melakukan berbagai upaya reformasi, mengadili Bashir, dengan bekerja sama dengan Pengadilan Kejahatan Internasional untuk mengadili Bashir terkait krisis Darfur.
Sudan merupakan salah satu dari empat negara yang dilabeli negara pendukung terorisme oleh AS. Selain Sudan, negara pendukung terorisme yang lain adalah Iran, Korea Utara, dan Suriah. Karena masuk dalam daftar hitam itu, keempat negara itu kesulitan keuangan. Akibat sanksi yang dijatuhkan itu, mereka tidak bisa mendapatkan bantuan, investasi, maupun keringanan utang dari komunitas internasional.
Trump akan mencoret Sudan dari daftar hitam itu setelah Sudan sepakat memberikan paket kompensasi 335 juta dollar AS kepada warga AS yang menjadi korban serangan dan kekerasan dalam pengeboman kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania. Tawaran normalisasi hubungan dengan Israel itu dulu ditentang keras oleh Hamdok yang menyatakan pemerintahan transisi tidak memiliki otoritas untuk melakukan itu.
Namun, karena semakin tertekan oleh kesulitan ekonomi dan berbagai bencana alam, tampaknya Sudan mulai berubah. ”Sudan sudah tidak sanggup lagi menangani banyak persoalan sekaligus. Ada banjir, inflasi, dan kekurangan listrik. Negara itu sudah tersungkur dan pemerintah tidak berdaya,” kata Marc Lavergne, pakar Sudan di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Perancis.
Lembaga kajian di Washington, The Brookings Institute, memperingatkan, perdebatan mengenai hubungan dengan Israel ini justru telah mengabaikan proses transisi politik Sudan yang rentan. Lembaga itu memperingatkan, jika normalisasi hubungan itu dilihat sebagai akibat dari eksploitasi ekonomi Sudan dan keputusasaan kemanusiaan, hal itu akan lebih cepat membentuk polarisasi di publik dan mengurangi dukungan untuk transisi. (REUTERS/AFP/AP)