Politisasi Bansos Saat Kampanye Masih Berpotensi Muncul
›
Politisasi Bansos Saat...
Iklan
Politisasi Bansos Saat Kampanye Masih Berpotensi Muncul
Ada tiga calon kepala daerah di Pilkada 2020 yang direkomendasikan didiskualifikasi karena diduga melakukan politisasi bansos Covid-19. Di tengah kampanye, bansos rentan dipolitisasi, terutama oleh calon petahana.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Politisasi bantuan sosial penanganan Covid-19 dimanfaatkan oleh sebagian pasangan calon kepala daerah, terutama petahana, untuk menarik dukungan pemilih. Kementerian Sosial mendorong agar segala bentuk tindak penyalahgunaan bansos ditindak.
Menteri Sosial Juliari Peter Batubara saat dihubungi, Jumat (23/10/2020), mengatakan, pihaknya telah mengimbau semua kepala daerah, terutama yang menyelenggarakan pilkada, agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk keperluan kampanye.
”Kemensos sangat mendukung adanya penegakan hukum dari institusi-institusi yang berwenang dalam menegakkan aturan terkait pilkada,” katanya.
Pada pelaksanaan Pilkada Serentak 2020, kata Ketua Badan Pengawas Pemilu Abhan, ada tiga calon kepala daerah yang direkomendasikan untuk didiskualifikasi karena dinilai melakukan pelanggaran berupa politisasi bansos penanganan Covid-19. Ketiganya adalah pasangan calon di Ogan Ilir (Sumsel), Halmahera Utara (Maluku Utara), dan Gorontalo.
Tiga pasangan calon tersebut dinilai melanggar Pasal 71 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Ayat tersebut berbunyi, ”Gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati dan wali kota dan wakil wali kota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.
Kajian yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum terhadap pasangan calon di Halmahera Utara dan Gorontalo menyatakan hal itu tidak seperti yang disangkakan Bawaslu. Sementara untuk kasus pada pasangan calon di Ogan Ilir, sangkaan itu terbukti sehingga KPU telah menetapkan pasangan calon petahana itu didiskualifikasi. Namun, petahana mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung yang putusannya hingga kini belum keluar.
Menurut anggota Bawaslu, Mochammad Afifuddin, modus politisasi bansos biasanya dilakukan dengan membuat seakan-akan bantuan berasal dari pasangan calon atau petahana dan memasangnya dengan gambar mereka. Bansos itu diberikan saat kampanye atau dibagikan melalui program dari organisasi perangkat daerah setempat.
”Kami telah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mencegah politisasi bansos dimanfaatkan oleh petahana,” katanya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini, mengatakan, temuan Bawaslu menunjukkan dana bansos sangat rentan dipolitisasi untuk kepentingan pilkada. Bahkan, kerentanan itu cenderung meningkat karena pemerintah daerah melakukan realokasi anggaran untuk penanganan Covid-19. Sebagian dana tersebut dialokasikan untuk bansos guna menyelamatkan ekonomi masyarakat yang tertekan akibat pandemi.
Data yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan, 58 dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada menganggarkan dana jaring pengaman sosial di atas 40 persen dari total anggaran penanganan Covid-19. Bahkan, di 31 daerah yang petahananya mencalonkan diri di pilkada, anggaran jaring pengaman sosial di atas 50 persen.
Data juga menunjukkan 6 daerah yang ada petahana mengalokasikan jaring pengaman sosial di atas 75 persen. Satu daerah di antaranya mengalokasikan seluruh anggaran penanganan Covid-19 untuk dana jaring pengaman sosial.
Meskipun petahana sudah mengajukan cuti selama masa kampanye, menurut Titi, potensi politisasi bansos tetap bisa dilakukan melalui aparatur sipil negara. Termasuk untuk daerah yang petahana tidak maju dalam kontestasi pilkada, kepala daerah tersebut berpotensi memanfaatkan bansos untuk keluarga atau orang yang didukung untuk menggantikannya.
”Situasi pandemi Covid-19 membuat posisi masyarakat lebih lemah karena mereka membutuhkan dukungan finansial akibat terdampak pandemi sehingga bansos mudah diterima masyarakat,” ujarnya.
Kondisi pandemi, lanjut Titi, mengakibatkan pengawasan terhadap politisasi bantuan sosial cenderung melemah. Pengawasan yang dilakukan Bawaslu bisa jadi masih kurang karena keterbatasan personel dan aktivitas yang dibatasi.
”Institusi pengawasan daerah, seperti inspektorat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu dimaksimalkan untuk mengawasi pelaksanaan program bansos agar tidak dimanfaatkan kandidat yang bertarung dalam pilkada,” tutur Titi.