Tak Semua Bisa Menjadi Profesional
Kontrak dari klub kepada pemain dibutuhkan untuk menjamin hak-hak pemain muda sebagai anak dan juga pelajar terpenuhi.
Berkarier sebagai pesepak bola profesional dan bermain untuk klub idola mendorong Seno (16), pelajar SMA di Jawa Barat, meninggalkan sekolah sementara waktu demi mengikuti pemusatan latihan di Akademi Persib selama Agustus-Desember 2019. Selama di Persib, ia berlatih untuk membela tim Persib U-17 di Piala Soeratin tanpa ikatan kontrak.
”Ikut ujian (sekolah) susulan. Enggak (bolak balik) sekolah, karena latihannya tiap hari, pagi sama sore. Setiap latihan 2-3 jam, pagi dan sore. Liburnya sehari, tapi enggak menentu, sih,” tuturnya.
Total honor yang diperoleh Seno Rp 500.000 dan diterima setelah tim yang dibelanya kalah di semifinal melawan Bandung United saat memperebutkan posisi wakil provinsi. Meski demikian, ia tetap bangga bisa bermain untuk Persib. ”Bangga sih gabung Persib. Sekaligus cari pengalaman, ikut kompetisi,” tuturnya.
Sekretaris Umum Diklat Persib Ridwan Firdaus mengatakan, pemain muda di Akademi Persib baik untuk Piala Soeratin maupun tim Elite Pro Academy (EPA) tidak wajib dikontrak. Persib, lanjutnya, hanya mengontrak pemain muda yang punya bakat dan potensi besar di kemudian hari.
”Untuk pemain yang memperkuat Piala Soeratin kami berikan uang pulsa dan uang makan. Tapi, sebenarnya uang makan juga kami kasih. Kami berikan saat kompetisi,” ujar Ridwan.
Aturan terkait dukungan fasilitas dari klub kepada pemain muda di Indonesia belum seragam. Regulasi PSSI untuk EPA Liga 1 U-16 mewajibkan klub mengontrak pemain muda dan klub wajib memberi beasiswa ke pemain. Sementara di dalam Regulasi Piala Soeratin U-15 dan U-17 tak ditemukan kewajiban klub mengontrak pemain dan memberikan beasiswa.
Baca juga: Eksploitasi di Balik Gemerlap Kompetisi
Padahal, untuk mengikuti kompetisi, pemain harus mengikuti pemusatan latihan yang diadakan klub selama beberapa bulan. Kontrak dari klub kepada pemain pun dibutuhkan untuk menjamin hak-hak pemain muda sebagai anak dan juga pelajar—karena umumnya di bawah 18 tahun—ini terpenuhi.
Utamakan sekolah
Apa yang dilakukan Sekolah Sepak Bola (SSB) Intan Cipta Cendikia dari asrama Sekolah Cipta Cendikia, Bogor, mungkin bisa menjadi contoh dalam melindungi para pemain muda. SSB Intan Cipta Cendekia menaruh perhatian khusus terhadap kontrak untuk menjamin hak-hak siswa mereka terpenuhi.
Tahun lalu, setidaknya ada empat pemain dari SSB ini yang bergabung di PS Barito Putera, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yakni Raka S Rahadi (17, asal Depok), Rafi Hamdani (17, asal Depok), Kaka Irawan (16, asal Medan), dan Muhammad Adlin (16, asal Medan).
Setelah lolos seleksi pada awal 2019 lalu, keempatnya menandatangani kontrak sebagai pemain selama setahun pada April 2019 dengan PS Barito Putera, termasuk fasilitas yang berhak mereka peroleh dari klub. Salah satunya beasiswa, masing-masing sebesar Rp 1,7 juta untuk Kaka dan Adlin, dan Rp 2 juta untuk Raka dan Rafi.
Untuk sekolah, mereka memilih pembelajaran jarak jauh yang diberikan oleh guru di Sekolah Cipta Cendikia dengan waktu belajar menyesuaikan waktu latihan di klub. Sekolah Cipta Cendikia yang merupakan sekolah asrama ini meyakini bahwa pendidikan formal siswanya tidak boleh ditinggalkan meski mereka ingin berkarier sebagai atlet sepak bola profesional.
”Saya ingin kuliah nantinya karena saya tidak tahu umur saya bisa bermain sepak bola sampai berapa tahun,” kata Kaka.
Baca juga: Tak Semua Bisa Menjadi Profesional
Namun, sejak Desember tahun lalu, menurut Adlin, ia dan ketiga temannya belum kembali lagi ke PS Barito Putera. Pada Desember itu, mereka kembali ke Bogor untuk menjalani masa liburan. Namun, karena pandemi Covid-19, mereka tidak bisa kembali lagi ke PS Barito Putera hingga saat ini.
Meski belum bisa kembali ke klub, menurut Adlin, ia dan teman-temannya memperoleh jaminan dari PS Barito Putera bahwa mereka akan tetap dikontrak klub setelah pandemi berakhir. ”Kemungkinan besar kami akan balik bermain jika kompetisi sudah ada lagi,” kata Adlin.
Manajer PS Barito Putera Mundari Karya tak membantah pihak klub memulangkan para pemain, salah satunya karena selama pandemi Covid-19 tidak ada kompetisi. Selain itu, pandemi turut memukul keuangan klub-klub sepak bola nasional, termasuk Barito Putera. Namun, ia menjamin pemain yunior saat ini akan diprioritaskan sebagai pemain senior. ”Nanti, kalau kompetisi sudah ada kepastian jalan lagi, mereka akan kami panggil lagi,” ucapnya.
Pelatih sepak bola asrama Sekolah Cipta Cendekia, Dede Supriyadi, mengatakan, sejak awal pelatih telah membina dan memberikan pendampingan agar pemain muda benar-benar direkrut oleh klub yang dapat memenuhi pendidikan dan kesejahteraan mereka. Bagi pemain, pihak sekolah pun menanamkan bahwa pendidikan formal tetap harus yang utama.
Baca juga: Pemain Inti Meniti Proses Sedari Dini
”Di sini (Sekolah Cipta Cendikia) yang diutamakan itu sekolahnya, bukannya main bola. Mereka juga dilatih displin sehingga dapat fokus belajar dan berlatih,” ucapnya.
Tak buru-buru
Bergabung ke klub sepak bola profesional adalah mimpi terbesar Roni (17), bukan nama sebenarnya. Namun, ia memutuskan untuk tak buru-buru bergabung ke klub yang meminatinya.
Sejak lulus sekolah menengah pertama di Jawa Barat pada 2018, setidaknya ada empat pelatih dan perantara pemain yang membujuk Roni bergabung ke klub PS Tira Persikabo dan PS Barito Putera.
Tawaran itu tentu menggoda karena dengan bergabung ke klub, ia punya kesempatan ikut kompetisi EPA U-16 yang didambakan. Namun, Roni mengesampingkan tawaran itu karena sejak lulus SMP, ia menempuh pendidikan di Pusat Pembinaan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) di Jawa Barat.
Di sana seluruh biaya pendidikan, pelatihan olahraga, dan uang saku ditanggung oleh pemerintah daerah. Roni diwajibkan menyelesaikan sekolah menengah atas di pusat pembinaan itu hingga tuntas. Jika mengundurkan diri, ia akan dikenai denda Rp 70 juta.
Jaminan
Menurut Roni, hal lain yang membuatnya tak mengambil keputusan terburu-buru bergabung ke klub sepak bola profesional ialah ia tak memperoleh informasi jaminan fasilitas pendidikan dan honor yang akan ia terima dari klub-klub yang sempat menawarinya bergabung itu.
Ayah Roni, TD, juga menyarankan anaknya tetap menyelesaikan pendidikan formal. ”Sekarang pertimbangan saya, sekolah dulu. Yang penting sekolah dia selesai. Kalau mau kuliah atau kerja, kan, harus ada ijazah SMA,” ujarnya.
Roni menyadari mimpinya untuk menjadi pemain sepak bola profesional tak selalu berujung indah. Ia menyaksikan kawannya, Soni (18), bukan nama sebenarnya, sempat telantar setelah tak lagi direkrut di sebuah klub di Kalimantan.
”Dia (Soni) sampai tinggal di Kalimantan. Udah main bola doang tuh. Enggak digaji. Setahun dia di sana. Kemudian dia pulang (karena tak lagi direkrut), dan katanya bakal dikabarin lagi kalau Elite Pro (Elite Pro Academy Liga 1 U-16) dimulai. Akhirnya, sampai sekarang enggak pernah dikabarin,” tutur Roni.
Soni sempat direkrut sebagai pemain di Borneo FC, Samarinda, Kalimantan Timur, pada 2017 saat ia masih 15 tahun. Selama di sana Soni tak pernah mendapat kontrak resmi dari Borneo FC. Sampai akhirnya nasib Soni telantar karena cedera dan tak direkrut lagi untuk bermain di tim Borneo FC U-16.
Praktisi sepak bola Universitas Negeri Jakarta, Asep Padian, mengatakan, pemain muda harus tetap menjalani pendidikan formal. Sebab, pada kenyataannya, tidak semua pemain muda bisa menjadi pemain profesional. Menjadi pemain sepak bola profesional pun tetap membutuhkan bekal pendidikan dan sikap disiplin, bukan sekadar keterampilan bermain sepak bola.