Pertambangan emas tanpa izin seluas sekitar 10 hektar di Pohuwato, Gorontalo, merusak lingkungan dan meresahkan warga.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pertambangan emas tanpa izin seluas sekitar 10 hektar di wilayah Cagar Alam Panua, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, menyebabkan penggundulan hutan, pencemaran sungai, dan meresahkan warga. Penanganan masalah itu berjalan lambat karena pemerintah berupaya mengatasinya dengan cara persuasif.
Dihubungi dari Manado, Sulawesi Utara, Jumat (23/10/2020), Manajer Proyek Burung Indonesia di Marisa, Pohuwato, Amsurya Warman Amsa mengatakan, lokasi pertambangan emas tanpa izin (PETI) itu terletak di beberapa kecamatan, antara lain, Taluditi, Randangan, dan Buntulia. Galian-galian besar tambang di perbukitan bersebelahan langsung dengan hutan di sekitar Cagar Alam (CA) Panua sehingga tampak pemandangan kontras antara hijau dan coklat.
Menurut foto yang Amsurya himpun dari warga di sekitar wilayah tambang, tambang digali menggunakan ekskavator setelah hutan diratakan. Galian-galian itu pun mulai terisi dengan air keruh. Puluhan pekerja, yang adalah warga sekitar, berkumpul di satu titik untuk bekerja mengangkat material.
”Laporan dari warga, ekskavator yang digunakan jumlahnya sampai puluhan, bisa sampai 20 di satu titik, sudah seperti perusahaan tambang betulan. Material tanah digali lalu diangkat, kemudian diolah dengan alat seperti kompresor untuk diambil emasnya,” tuturnya.
Amsurya mengatakan, sejarah tambang di Pohuwato memang sudah berlangsung lama. Ada pula perusahaan tambang yang beroperasi di sana. Selama berpuluh tahun, warga juga ikut menambang, dari cara sederhana dengan mendulang hingga menggunakan kompresor dan alat berat seperti sekarang.
Perubahan alat pun mempercepat kerusakan alam. Banjir terakhir kali menerjang Pohuwato pada September lalu di empat kecamatan, yaitu Marisa, Duhiadaa, Buntulia, dan Patilanggio. Banjir itu menewaskan satu warga. Banjir pun diperkirakan selalu datang pada musim hujan karena area tambang juga telah memasuki wilayah CA Panua.
”Dampak kerusakan yang paling cepat dirasakan warga adalah sungai jadi keruh karena sedimentasi dari hulu, seperti Sungai Marisa. Warga juga sudah mulai merasakan tanah longsor dan banjir, sudah jadi agenda tahunan selama dua tahun terakhir,” kata Amsurya.
Ia juga mengkhawatirkan pencemaran merkuri. Riset Universitas Negeri Gorontalo beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya kandungan merkuri di tubuh burung. Ikan di sungai-sungai Pohuwato dan Teluk Marisa dikhawatirkan juga tercemar. Zat berbahaya itu biasa dipakai untuk pemurnian bijih emas dalam tambang-tambang dengan metode tradisional.
Amsurya pun berharap pemerintah mengambil langkah pertama dengan menurunkan alat-alat berat dan menghentikan aktivitas tambang. Ini agar habitat satwa liar, termasuk maleo dan burung-burung rangkong, tidak rusak. ”Jika alat sudah diturunkan dan kegiatan tambang dihentikan, masyarakat dan lingkungan bisa aman lebih dulu. Setelah itu, baru dicari siapa yang ada di belakang PETI itu,” ujarnya.
Kepala Bidang Penegakan Hukum dan Rehabilitasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo Hoeruddin mengatakan, keberadaan ekskavator di lokasi tambang membuktikan adanya dukungan finansial bagi warga. Pihaknya pun masih berupaya memersuasi warga untuk menurunkan alat berat dari bukit dan menghentikan penambangan di wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan III Pohuwato itu.
Pemerintah, kata dia, perlu berhati-hati dalam mengambil langkah karena Pohuwato sedang dalam masa kampanye Pilkada 2020. ”Jangan sampai tambang ilegal ini menjadi komoditas politik, jadi kami mengambil langkah persuasif dulu, tidak bisa langsung represif,” kata Hoeruddin.
Pemerintah juga sedang memikirkan solusi jangka panjang, salah satunya menetapkan wilayah pertambangan di area tersebut. Namun, penurunan alat-alat tambang tetap menjadi prioritas meski belum menuai hasil positif.
Hoeruddin mengatakan, izin usaha pertambangan (IUP) di lokasi itu sebenarnya milik sebuah perusahaan, sedangkan area di sekitarnya masuk kawasan kehutanan. ”Ini yang sedang kami pikirkan rancangannya,” ujarnya.
Kepala Seksi III Manado Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulawesi William Tengker mengatakan, pihaknya belum bisa mengambil tindakan karena suasana Pilkada 2020 dan terhambat Covid-19. Selama empat bulan terakhir, kinerja para penyidik pegawai negeri sipil terhambat pembatasan sosial.
Namun, DPRD Provinsi Gorontalo disebut sudah menyatakan dukungan untuk menghentikan kerusakan alam akibat PETI di Pohuwato. Sejumlah pihak, seperti kepolisian, TNI, dan dinas terkait, telah mengikuti audiensi bersama DPRD dan akan mengambil langkah bersama.
Kegiatan PETI ini, kata William, melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, serta UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. ”Kalau ada dukungan DPRD, akan lebih kuat bagi kami mengambil tindakan hukum di sana,” ujarnya.